PROBLEMATIKA MADRASAH DAN
ALTERNATIF SOLUSINYA
Oleh M Ihsan Dachofany
1. PENDAHALUAN
UU No 20/2003 menyiratkan peluang yang sama kepada
madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk
mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskriminasikan. Namun,
ditingkat implementasi pengelolaan, penyelenggaraan madrasah, apakah
terjadi yang sedemikian atau sebaliknya ? Apakah tidak muncul tarik
menarik terkait dengan kewenangan pengelolaan secara sentralisasi atau
desentralisasi? mencuat pandangan dominan bahwa ketertinggalan
pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi
pemerintah. Benarkah demikian ?
Di era persaingan global ini, trend pendidikan mengalami pergeseran
orientasi yang menempatkan pembangunan manusia seutuhnya melalui
pendidikan dan latihan dengan beragam jenis, jenjang, sifat dan
bentuknya. Pendidikan manusia Indonesia seutuhnya diidealisasikan
menjadi titik puncak tercapainya pendidikan nasional yang sampai saat
ini menjadi dambaan bangsa Indonesia. Sosok pribadi yang diidolakan
belum juga dihasilkan, maka lembaga pendidikan dijadikan ekspektasi
alternatif, sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan pemanusiaan,
yaitu menghargai dan memberi kebebasan untuk berpendapat dan
berekspresi. Penghargaan yang demikian adalah benih yang mulai tumbuh,
dan sebagai sebuah proses kebebasan terus-menerus diperjuangkan.
Bagaimana mungkin bisa menjadi manusia yang sesungguhnya, kalau dalam
realitasnya memang pendidikan Islam sebagai subsistem dinilai masih
kering dari aspek pedagogis, dan lebih mekanistik dalam menjalankan
fungsinya sehingga terkesan hanya akan melahirkan peserta didik yang
”kerdil” karena tidak memiliki dunianya sendiri. Menurut Ma’arif, konsep
pendidikan telah dipaksa untuk menuruti konsep development-kapitalis
yang terelaborasi sedemikian rupa, demi memenuhi kebutuhan
industrialisasi, sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi media
pemberdayaan malah menjadi sarana pembodohan yang sistematis, penciptaan
robot-robot intelektual yang terprogram secara maraton dan monoton.
Pendidikan dalam Islam pada hakekatnya adalah untuk semua (education for
all), sebagai hak individu warga negara dan juga warga dunia memiliki
hak memperoleh pendidikan secara adil. Ternyata, hal yang semestinya
merupakan hak tersebut kini tergantikan oleh pendidikan sebagai barang
dagangan. Pendidikan menjadi ritus masyarakat yang membodohkan karena
mereka yang tidak sekolah dianggap bodoh. Bahkan pendidikan menjadi
penyebab terjadinya ketidakadilan, karena masyarakat yang mampu sekolah
adalah golongan elite yang kaya sedangkan mereka yang tidak mampu
sekolah adalah masyarakat miskin.
Di sisi lain, menurut Fadjar dalam Rahardjo menyatakan bahwa kurang
tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam
sebenarnya bukan kerena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan
keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga
pendidikan Islam yang ada kurang menjanjikan masa depan dan kurang
responsif terhadap tuntutan dan permintaan saat ini maupun mendatang.
Padahal, paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat
dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial dan
cita-cita.
11. LATAR BELAKANG
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia,
muncul dan berkembang seiring masuk dan berkembangnya Islam di negeri
ini. Madrasah mengalami sejarah panjang pasang surut perkembangan
seirama perkembangan Bangsa Indonesia. Baik sejak masa kesultanan,
penjajahan hingga kemerdekaan. Perkembangan ini mengubah pendidikan dari
bentuk awal seperti pengajian di rumah, mushalla dan masjid menjadi
lembaga formal sekolah berbentuk madrasah yang dikenal saat ini.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah
dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Faktor
penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah adalah karena adanya
pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional
dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Dan
adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda
yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk
menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian
memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan
madrasah.
Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan
ini kemudian diupayakan untuk dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang
dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum
pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran agama.
Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan
di madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA)
untuk memproduksi guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah.
Awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia
mengembangkan dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum dan
keagamaan. Dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk dari masa
kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar
politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada
perkembangannya, Pemerintah Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu
ideologi Pancasila.
Awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal
yang dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34
Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang
mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama.
Tanggapan yang muncul di kalangan muslim sangat beragam
dan cenderung keras. Kebijakan itu dinilai sebagai usaha sekulerisme
dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia. Merespon
reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama
antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri
(Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah
Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah
ditentukan pemerintah.
111. PERMASALAHAN
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem
pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Madrasah, juga pendidikan Islam lainnya, terus menghadapi
pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan
duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan
pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan
kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat
keduniawian.
Demikian pula dari materi pendidikannya, Semula hanya
belajar mengaji Alquran dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah
materi pelajaran mengalami perluasan seperti tauhid, hadits, dan
balaghoh. Dalam perkembangannya kemudian, madrasah juga mengadopsi
pelajaran umum seperti di sekolah di bawah Dikbud. Dengan begitu, selain
terjadi integrasi ilmu agama dan umum, madrasah memberikan program
pendidikan yang setara dengan pendidikan yang diberikan Depdikbud.
Melalui proses panjang dan sering melibatkan ketegangan politik antara
eksponen yang berbeda pandangan, kecenderungan untuk menyintesiskan dua
kutub pendidikan ‘nasional’ dan pendidikan Islam tampaknya semakin
terbukti. Perkembangan ini tecermin dalam UU No 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SPN).
Perubahan kurikulum madrasah itu lebih didasari
kebutuhan masyarakat pengguna jasa madrasah, karena tuntutan zaman.
Munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
telah memberi legitimasi teologis perubahan kurikulum madrasah. Dari
sini mulai berkembang gagasan integrasi ilmu agama dan iptek yang selama
ini dikelompokkan ke dalam ilmu umum atau ilmu sekuler. Muncul kemudian
berbagai model madrasah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan
ilmu agama ke dalam satuan kurikulum madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dikelola
Depag sejak awal kehadiran departemen ini. Namun dengan disahkannya UU
No 22/1999 tentang Pemda dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, muncul dilema mengenai status
madrasah. Ketentuan UU No 22/1999 menyatakan, kewenangan daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan. Pertanyaannya apakah
madrasah termasuk dalam bidang pendidikan atau agama? .
Sebagai bagian dari system pendidikan di Indonesia,
perhatian pemerintah pada pendidikan di madrasah sangat diperlukan.
Apalagi, pendidikan madrasah menyumbang 20 persen dari total siswa yang
ada di sekolah. Di tingkat SLTP atau madrasah tsanawiyah jumlahnya
mencapai sekitar 35 persen dari total siswa. Jumlah ini tentu saja
sangat signifikan untuk mendukung penuntasan program wajib belajar 9
tahun.
Jika melihat Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bisa dikatakan bahwa agama menjadi salah satu jiwa dan tujuan
pendidikan. Pendidikan, sebagaimana klausul pada Bab II adalah bertujuan
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi: Manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berakhlak mulia; Sehat;
Berilmu; Cakap; Kreatif; Mandiri; Menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Arah pengembangan madrasah adalah memperkuat dan memberi
makna terhadap pengakuan, madrasah adalah sekolah umum berciri khas
Islam. Guna memberikan ciri khas itu, tidak cukup hanya ciri formal
dalam kurikulum. Karena itu, ditetapkan tiga program utama yaitu iptek
bernuansa Islam; pelajaran agama bernuansa iptek; penciptaan suasana
keagamaan di madrasah.
Menghadapi abad ke 21, pembenahan madrasah harus
diawali dengan tekad untuk mewujudkannya sekolah unggulan yang mampu
memadukan kekuatan iptek. Salah satu ciri Umat Islam Indonesia adalah
menyiapkan anak didik yang dapat memadukan iptek dan imtak. Nilai plus
madrasah terletak pada pendidikan keimanan yang menekankan kepekaan hati
dan ketajaman akal. Dengan nilai plus ini diharapkan madrasah tampil
sebagai pioneer proyek reintegrasi ilmu Islam.
Dalam realitasnya, entah karena beban berat yang
disandangkan dalam kurikulum madrasah, secara makro, atau karena
kurangnya perhatian pemerintah (tidak sebagaimana pada pendidikan /
sekolah umum), terjadi kesenjangan prestasi antara madrasah dan sekolah
umum, hingga tak sedikit sejumlah pihak menyarankan agar pemerintah
mengembalikan madrasah ke bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas). Mereka menilai, di bawah naungan Depag, keberadaan madrasah
justru semakin termarginalkan, karena tanggung jawab Depag yang tidak
pendidikan ansich. Namun, Departemen Agama (Depag) menilai, pengembalian
ini justru akan mematikan sebagian besar madrasah, yang umumnya
berstatus swasta, dengan sejarah panjang yang menyertai tumbuh
kembangnya masyarakat.
IV.PEMBAHASAN
Pengakuan keberadaan madrasah yang demikian (sampai saat
ini), akan membuka peluang kebhinekaan lembaga pendidikan keagamaan,
namun dalam status diakui sebagai bagian dari sisdiknas. Dengan demikian
sebagian berpendapat, tidak diperlukan lagi aktivitas ujian ekstra,
ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum
untuk mengikuti kurikulum sekolah.
Mencuatnya pandangan dominan bahwa ketertinggalan
pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi
pemerintah, berdasarkan pemetaan, terpapar sbb : Perhatian pemerintah
terhadap madrasah sangat minim dibandingkan perhatian mereka pada
sekolah umum, misalnya dalam mengadakan sarana dan prasarana pendidikan
bagi madrasah. Akibatnya, madrasah beroperasi dengan sarana dan
prasarana yang serba terbatas dan kurang. Ironisnya, pemerintah lebih
banyak melakukan intervensi terhadap kekhasan pendidikan madrasah,
selain intervensi mereka terhadap kurikulum.
Dalam menetapkan anggaran pendidikan, Madrasah sebagai sebuah lembaga
pendidikan formal yang lebih menitikberatkan visi dan misi kepada model
pendidikan agama, selama ini, hanya dijadikan salah satu sektor saja,
karena dikategorikan sebagai lembaga keagamaan, unit cost madrasah jauh
di bawah sekolah umum, demikian juga halnya dalam hal subsidi dan
lain-lain. Apakah perlakuan ini merupakan bias dari pandangan dualistik
dalam pendidikan, yang sebenarnya merupakan warisan dari pemerintahan
kolonial Belanda? Bantuan dana pendidikan bagi siswa madrasah negeri
ternyata jauh lebih kecil dibandingkan siswa sekolah umum di semua
tingkatan. Bahkan guru honorer di lingkungan madrasah negeri pun dan
guru swasta sama sekali tidak mendapat bantuan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
Beberapa pendapat bahwa akibat dari perbedaan perlakuan
tersebut berimplikasi pada kredibilitas lembaga pendidikan agama itu
sendiri. Akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan
pendidikan umum di tanah air ini, lembaga pendidikan madrasah menjadi
semakin marginal dan cenderung tidak berdaya. Padahal, kalau kita mau
jujur melihat, lembaga pendidikan yang disebut madrasah itu telah banyak
memberikan kontribusi nyata untuk meningkatkan kualitas bangsa ini
dalam sebuah paradigma pendidikan yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai moralitas beragama dan berbangsa.
Padahal, diakui atau tidak, Madrasah adalah lembaga
pendidikan yang menjalankan fungsi filterisasi terhadap pengaruh yang
dibawa oleh arus globalisasi. keberadaan madrasah adalah sebuah wujud
partisipasi masyarakat yang menyadari betapa pentingnya madrasah untuk
mempersiapkan peserta didik yang siap menantang tantangan perubahan
zaman yang berimplikasi pada perubahan sikap dan tingkah laku yang
semakin global.
Masalah krusial lain yang dihadapi madrasah, berkaitan dengan
kompetensi mengajar dari para guru yang masih kurang relevan. Demikian
pula dengan tingkat pendidikan para guru madrasah, masih harus
ditingkatkan. Apalagi UU Guru dan Dosen mewajibkan guru minimal
berpendidikan S-1 (Untungnya, saat ini Depag telah memberikan solusinya
dengan memberikan bea siswa)
Masalah lainnya adalah kesenjangan kesejahteraan guru
madrasah dan sekolah umum pun belum terselesaikan. Guru yang berada di
bawah Depag tidak mendapat bantuan seperti guru sekolah umum lain,
terutama guru madrasah swasta. Guru-guru madrasah negeri juga tidak
sedikit mengalami masalah karena banyak yang belum naik kepangkatannya,
meski sudah puluhan tahun mengabdi.
Terjadinya ketidakseimbangan dalam proses menjalankan
kebijakan di bidang pendidikan menyebabkan jurang kesenjangan dan
ketimpangan antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah terus
terbuka. Bahkan, bentuk-bentuk kesenjangan masih terus terjadi hingga
hari ini. termasuk adanya anggapan madrasah hanya sebuah lembaga
pendidikan kelas dua alias tidak memiliki kesesuaian standar kualitas
mutu pendidikan.
Padahal, madrasah adalah institusi pendidikan yang
juga memberi pencerahan kepada anak bangsa melalui proses
penyelenggaraan pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Karena sistem pendidikan madrasah merupakan subsistem dari sisdiknas,
seharusnya penjenjangan pendidikan madrasah sama dengan sistem
persekolahan nasional. Rentetan ini membuat keberadaan madrasah semakin
terjepit di tengah berbagai bentuk keprihatinan dan ketidakberdayaan dan
tuntutan yang selama ini menimpanya.
Sebenarnya, dalam konteks otonomisasi pendidikan,
pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya
sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan
pengendali. Sehingga, pemeran utama pembelajaran adalah guru sebagai
pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik
hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan
pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya
Dalam upaya menghadapi permasalahan itu, ada beberapa
alternatif yang mungkin dilakukan beserta segala konsekuensi antara lain
:
1. Pemikiran yang paling simple ditingkat kebijakan, namun bisa
bervariasi ditingkat implementasi, yakni menginginkan pendidikan
madrasah tetap di bawah Depag secara struktural. Namun, pengelolaan di
tingkat daerah diotonomikan sejalan diberlakukannya UU tersebut.
2. Kalau sentralisasi tetap sebagai pilihan maka Depag masih secara
langsung menyelenggarakan pembinaan madrasah seperti selama ini. Pilihan
ini mengandung makna, Depag memandang madrasah berada dalam kategori
sektor agama sebagaimana tertuang dalam UU NO. 22/1999. Sumber dana yang
diberikan untuk melakukan pembinaan dapat langsung dikelola Depag.
Kekuranganya: anggaran berasal dari sektor agama yang relatif kecil;
pemda merasa tidak bertanggung jawab terhadap madrasah; masyarakat
kurang terlibat dalam pendidikan; dan tentunya birokrasi berbelit-belit.
3. Melakukan lobi. tinggal bagaimana political will antara
pemerintah, DPR, Depdiknas dan Depag serta masyarakat. Pemda setempat
memberikan perhatian cukup besar, termasuk anggaran terhadap madrasah
dan pesantren. Hal ini secara kalkulasi politik tentu saja akan
menguntungkan pembangunan daerah.
4. Menyerahkan pembinaan madrasah ke Pemda tingkat II sehingga satu
atap dalam penyelenggaraan. Kelebihannya, antara lain pengakuan madrasah
sebagai bagian dari sisdiknas semakin kuat sehingga memperoleh
perlakuan sejajar dan tidak ada diskriminasi termasuk dalam masalah
anggaran. Kekurangannya; dikhawatirkan Depdiknas kurang memiliki SDM
yang mengerti spirit madrasah, sehingga ciri khas Islam berkurang bahkan
hilang. Apalagi bila masyarakat sudah cuci tangan dalam pengelolaan
sekolah.
Dari beberapa catatan kecil tersebut, perlu disampaikan beberapa
pokok pikiran yang harus segera direspons secara terbuka dan dicarikan
solusi konkret terhadap permasalahan yang mengemuka.
• Pertama, bagaimana semua pihak yang terkait dengan proses
penyelenggaraan pendidikan ini secara serius memperhatikan sarana
penunjang pendidikan yang dibutuhkan anak didik di madrasah. Di
antaranya, rasio kebutuhan buku paket/buku pegangan siswa, laboratorium,
dan sarana pendukung lainnya seperti perpustakaan yang selama ini
sangat minim dibanding lembaga pendidikan umum.
• Kedua, merancang pola rekrutmen guru dalam rangka menyediakan
tenaga guru yang memenuhi standardisasi, kualifikasi, dan kompetensi di
bidang pendidikan, serta berdedikasi tinggi.
• Ketiga, tampaknya perlu mulai dipikirkan subsidi silang,
’’swastanisasi” terhadap sekolah-sekolah negeri (umum) yang sudah mapan
dalam penyelenggaraan pendidikannya. Sehingga, berbagai bentuk subsidi
dapat dialokasikan secara seimbang kepada sekolah-sekolah yang masih
terpinggirkan, khususnya kepada madrasah yang selama ini lebih banyak
bergantung kepada swadaya masyarakat.
• Keempat, tidak ada lagi dikotomi antara lembaga pendidikan umum
dengan madrasah. Sebab, itu akan menimbulkan kekeliruan pemahaman di
kalangan masyarakat luas, yang pada akhirnya menghambat proses
penyelenggaraan pendidikan nasional yang sama-sama bertujuan
mencerdaskan anak bangsa.
• Dan kelima, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk memosisikan diri, peran, serta partisipasinya dalam
penyelenggaraan pendidikan secara utuh, sebagaimana pada awal-awal
keberadaan madrasah, apalagi bila mampu menyediakan orang tua asuh bagi
siswa yang kurang mampu.
Dengan mengurai berbagai permasalahan pendidikan keagamaan di
Indonesia, kita menjadi lebih cermat, peduli dan nampaknya, hal penting
lain perlu diingat pula sbb : Sebenarnya, pemerintahan mana pun tak
ingin terjadi adanya ketimpangan sosial dikarenakan kecemburuan
pengelola dan pemerhati madrasah di Indonesia. Karena itu, perlu dibuat
klausul dalam peraturan pemerintah tentang persentase dana anggaran
pendidikan agama. Jika madrasah tetap berada di bawah binaan Depag,
dalam hal ini Menteri Agama, pemerintah pusat perlu memikirkan sumber
tambahan anggaran untuk meningkatkan pembinaannya sehingga kesan
marjinalisasi madrasah bisa terhapuskan. Saat ini permasalahan yang
cukup mendasar pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah potensi mutual
throwing, dikarenakan beda penerjemahan tentang otoritas kebijakan
pemerintah pusat dan daerah. Hal ini harus disikapi melalui peraturan
daerah sebagai penegasan atas pembagian tugas masing-masing pemegang
kebijakan. Kemudian juga desain sentralisasi pembinaan madrasah saat ini
apakah masih efektif untuk mencapai dan menjaga visi, misi, dan tujuan
pendidikan nasional? Jika dianggap masih bisa, maka Depag perlu
melakukan upaya optimalisasi koordinasi dengan Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah, di samping meningkatkan akuntabilitas lembaganya.
Apa pun kebijakan yang diambil dalam menentukan nasib
madrasah (termasuk pesantren) di era otda ini, setidaknya perlu
memperhatikan beberapa hal:
1. Tidak merugikan ciri khas Agama Islam baik jangka pendek maupun
panjang. Misalnya, adanya perubahan sosial politik, pergantian decision
maker, dsb.
2. Tidak ada lagi diskriminasi perlakuan antara madrasah dan sekolah
umum. Termasuk misalnya diskriminasi dalam anggaran. Pengaturan dana
antara pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag hanya masalah teknis
prosedural yang diharapkan bisa diatur. Misalnya, melalui Panitia Kerja
Anggaran Bersama untuk menentukan kebijakan yang adil dan proporsional
antara anggaran pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag.
3. Perlunya perhatian pemerintah daerah yang cukup, meskipun selama
ini madrasah berada langsung di bawah pusat. Sebab bagaimanapun,
persoalan pendidikan adalah persoalan universal, dan merupakan investasi
jangka panjang .
V. ASPEK YANG PERLU DIKEMBANGKAN DI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM (MADRASAH)
Ada beberapa aspek yang perlu dikembangkan dalam lingkup lembaga
pendidikan Islam pada umumnya, dan Madrasah pada khususnya untuk
menumbuhkan kualitas SDM yang berwawasan global paling tidak harus
asanya pengelolaan yang baik aspek-aspek dibawah ini, yaitu:
1. Aspek pendidikan (pedagogis). Sebagai lembaga yang bergerak dalam
dunia pendidikan, lembaga pendidikan Islam berperan penting dalam
peningkatan SDM yang berkualitas dan melahirkan kader-kader pemimpin
bangsa dan agama yang memiliki wawasan keislaman dan nasionalisme yang
tinggi serta mempunyai pandangan yang luas tentang dunia luar. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa reformasi dan pembaharuan dalam Islam
haurus dimulai dari pendidikan.
2. Aspek Moral-Spiritual. Pendidikan Islam bertujuan membina peserta
didik menjadi seseorang yang mencapai derajat ulul albab yakni
intelektual muslim yang tangguh, yang tidak hanya memiliki ketajaman
analisis obyektif, tetapi juga subyektif. Lembaga pendidikan Islam
berupaya memberikan penguatan dan dasar pemahaman keagaamaan secara
baik. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kerendahan hati, kesederhanaan
dan nilai-nilai keluruhan kemanusiaan. Nilai keluhuran itulah yang
mengantarkan peserta didik mendapat penilaian yang baik di sisi
masyarakat dan di mata Tuhan-Nya.
3. Aspek sosio-kultural. Tidak dapat dipungkiri lembaga pendidikan Islam
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak karekter masyarakat.
Merespons persoalan-persoalan masyarakat seperti memelihara tali
persaudaraan, menciptakan kehidupan yang sehat dan sebagainya. Lembaga
pendidikan dalam aspek ini memberikan penanaman akan pentingnya
makna-makna etis dalam dialog keagamaan, khususnya istitusi pendidikan
Islam.
4. Aspek Sistem pendidikan. Sistem pendidikan di lembaga pendidikan
Islam yang tumbuh dan berkembang dapat berbentuk isolatif tradisional,
serta bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.
5. Aspek Sarana dan prasarana. Pengadaan sarana yang sentralistik
menjadikan perlakuan yang sama, pukul rata, semua mendapatkan yang sama,
tanpa memperhitungkan kesiapan lembaga pendidikan Islam khususnya
Madrasah yang menjadi obyek bantuan. Seringkali pemberian bantuan sarana
mengindahkan ketersediaan pengelola, keberlangsungan sarana tersebut,
biaya maintenance-nya, kesesuaian dengan kebutuhan (needs assesment),
sebab kondisi Madrasah di satu lokasi dengan yang lainnya sangat
berbeda, dengan kata lain, belum tentu sarana yang diberikan dibutuhkan,
tetapi di tempat lain sangat dibutuhkan. Di sisi lain, lokal yang dapat
digunakan untuk mendukung pemanfaatan yang optimal dari sarana tersebut
Madrasah kita masih belum mampu menyediakan secara khusus, karena
konsekwensinya adalah sumberdana masyarakat.
VI. PERLUNYA MADRASAH MENINGKATKAN SUMBERDAYA INSANI.
Kita ketahui bersama bahwa Pendidikan Islam merupakan upaya sadar,
terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk
manusia yang berkualitas antara lain :
1. Berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan
seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang
fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang
berpijak pada akidah Islam . ada tiga langkah yang harus ditempuh,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
a. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai
dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah
yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
b. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah
memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada
di atas pondasi akidah yang diyakininya.
c. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang
dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi
pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada
Allah SWT.
2. Menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk
menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali,
ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib
dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari
konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw.,
Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
b. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya
ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu
terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian,
teknik, dll.
3. Menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan
agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik.
Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika
ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi,
fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
4. Memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik
dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan
salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam
rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana
penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai
fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat,
seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
VII. SEBAGIAN POKOK PIKIRAN DALAM BANYAKNYA PERMASALAHAN
Beberapa pokok pikiran yang harus segera direspons
secara terbuka dan dicarikan solusi konkret terhadap permasalahan yang
mengemuka.
1. Bagaimana semua pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan
pendidikan ini secara serius memperhatikan sarana penunjang pendidikan
yang dibutuhkan anak didik di madrasah. Di antaranya, rasio kebutuhan
buku paket/buku pegangan siswa, laboratorium, dan sarana pendukung
lainnya seperti perpustakaan yang selama ini sangat minim dibanding
lembaga pendidikan umum.
2. Merancang pola rekrutmen guru dalam rangka menyediakan tenaga guru
yang memenuhi standardisasi, kualifikasi, dan kompetensi di bidang
pendidikan, serta berdedikasi tinggi sehingga dapat meningkatkan
Kualitas sumberdaya Insani.
3. Tampaknya perlu mulai dipikirkan subsidi silang, ’’swastanisasi”
terhadap sekolah-sekolah negeri (umum) yang sudah mapan dalam
penyelenggaraan pendidikannya. Sehingga, berbagai bentuk subsidi dapat
dialokasikan secara seimbang kepada sekolah-sekolah yang masih
terpinggirkan, khususnya kepada madrasah yang selama ini lebih banyak
bergantung kepada swadaya masyarakat.
4. Tidak ada lagi dikotomi antara lembaga pendidikan umum dengan
madrasah. Sebab, itu akan menimbulkan kekeliruan pemahaman di kalangan
masyarakat luas, yang pada akhirnya menghambat proses penyelenggaraan
pendidikan nasional yang sama-sama bertujuan mencerdaskan anak bangsa.
5. Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
memosisikan diri, peran, serta partisipasinya dalam penyelenggaraan
pendidikan secara utuh, sebagaimana pada awal-awal keberadaan madrasah,
apalagi bila mampu menyediakan orang tua asuh bagi siswa yang kurang
mampu
VIII.PENUTUP
Eksistensi madrasah, mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah
(MI), Tsanawiyah (MTs), hingga Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), sebagai elemen penting dalam sistem pendidikan nasional
(sisdiknas) sulit terbantahkan.
Peran signifikan madrasah itu di samping terkait langsung dengan
usaha suksesnya kebijakan wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan
pemerintah, pada saat bersamaan juga merupakan titik awal bagi usaha
sistematis untuk mewujudkan cita kualitas insani anak bangsa yang
beriman, berilmu, dan bertaqwa. Satu hal yang tidak boleh dilupakan,
sesungguhnya keberadaan madrasah merupakan reaksi terhadap parsialisme
kebijakan sistem pendidikan yang lebih mengunggulkan aspek rasional
ketimbang spritual dan budi pekerti.
Sehingga, ke depan, madrasah dapat menjadi lembaga
pendidikan ”alternatif” yang mampu mengedepankan mutu dan memiliki daya
saing dalam mewujudkan integritas dan kualitas insani bangsa ini.
Tentunya, tanpa harus menghilangkan ciri khas madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Islami yang berfungsi sebagai
filter.
Peluang menjadi lembaga pendidikan yang bermutu dan
memiliki daya saing yang tinggi sesungguhnya sangat terbuka dengan
adanya penegasan madrasah adalah lembaga pendidikan umum yang bercirikan
agama Islam. Konsekuensi logisnya, madrasah menanggung ”dua beban”
pendidikan sekaligus. Tidak hanya mentransfer aspek-aspek kauniyah,
tetapi juga memiliki kredibilitas yang mumpuni dalam mentransfer
aspek-aspek diniyah dalam proses penyelenggaraan pendidikannya.
Dan, kualitas pendidikan di madrasah (sudah banyak
contoh baik negeri maupun swasta ) terbukti dengan kerja kerasnya mampu
memperkuat daya saing dan mutu pendidikan madrasah di kancah pendidikan
nasional. Hal itu sejalan penegasan pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat
(3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Penegasan UU Sisdiknas
tersebut seharusnya menjadi cermin bening bagi pemerintah, masyarakat,
praktisi, pelaku, atau stakeholders pendidikan, agar tidak lagi
memandang sebelah mata kepada madrasah.
Dalam salah satu rapat kerja Komisi VIII dengan
pemerintah yang diwakili Menteri Agama (Menag) dan Menteri Pendidikan
Nasional (Mendiknas), Senin (19/2/2007), mencuat pandangan dominan bahwa
ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan
diskriminasi pemerintah. Untuk menjawab itu, dalam dua butir kesimpulan
rapat, pada akhirnya DPR sepakat membentuk panitia kerja dengan agenda
menghapus berbagai bentuk perbedaan perlakuan dalam bidang pendidikan.
IX. KHOTIMAH
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan, atas segala kekurangan
dan kekhilafan mohon maaf dan dimaklumi, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.amin
Wallahu a’lam bis-showab
Wassalam. Wr.Wb.