KONSEP
MASYARAKAT SIPIL DALAM ISLAM
Dr. M.Ihsan Dacholfany M.Ed
Abstrak
Islam melahirkan
konsep sempurna dengan menampilkan lima jaminan dasar yang diberikan agama
kepada warga masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok. Pertama,
keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan fisik di luar ketentuan hukum.
Kedua, keselamatan keya-kinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk
berpindah agama. Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat,
keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima,
keselamatan profesi (intelektual). Kelima jaminan dasar tersebut menampilkan
universalitas pandangan hidup atau visi transformatis sosial keagamaan yang
utuh. Pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat yang berdasarkan hukum, persamaan
derajat dan sikap toleransi adalah unsur-unsur utama kemanusiaan. Namun, hal
itu sekedar menyajikan kerangka teoritik. Sehingga, harus diikuti dengan upaya
pengorganisasian dan penerapannya di lingkungan sosial secara empiris.
Islam bear perfect concept presented five elementary guarantee which
given by religion to society citizen, either through individualness or group. First,
safety of society citizen physical of physical action out off law. Both,
safety of belief of each religion, without constraint to move the other
religion. Third, safety of family and descent. Fourth, safety of
goods and chattel ownership outside law procedure. Fifth, safety of
profession (intellectual). The fifth elementary guarantee present
universal view of life or vision of transformation intact religious social.
Goverment and society life which pursuant to law, equation of tolerance
attitude and degree is human especial elements. But, that thing is merely
presenting framework of theory. So that, have to follow with the effort of
organization applying in social environment by empiric.
Civic society diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan sebutan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Kata
madani berasal dari kata Madinah, yaitu sebuah kota tempat hijrah Nabi Muhammad
SAW. Madinah berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban, oleh karena itu masyarakat madani
berarti masyarakat yang beradab.
Konsep
“Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini tahun 1995
adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid.
Pemaknaan civil society sebagai Masyarakat madani merujuk pada konsep dan
bentuk Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah
dianggap sebagai legitimasi histories ketidak bersalahan pembentukan civil
society dalam Masyarakat muslim modern.
Menurut Nafsir Alatas Masyarakat Madani
berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu musyarakah dan
madinah. musyarakah yang berarti pergaulan atau persekutuan hidup
manusia, dalam bahasa latin masyarakat di sebut socius yang kemudian
berubah bentuknya menjadi social sedangkan madinah yang berarti kota, atau “tamaddun”
yang berarti peradaban. Hal ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat
yang di bina Nabi Muhammad Saw setelah beliau berhijrah ke Madinah yang
penduduknya dari berbagai jenis etnis dan agama walaupun mayoritas beragama
Islam.
Berdasarkan asal-usul pengertian tersebut maka yang di maksud Masyarakat Madani
(civil society) adalah masyarakat yang menjujung tinggi nilai-nilai peradaban, yaitu masyarakat
yang meletakan prinsip-prinsip nilai dasar masyarakat yang harmonis dan
seimbang.
Masyarakat
madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang
mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses penyemaian
demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini membahas tentang
masyarakat madani yang umumnya dikenal dengan istilah masyarakat sipil (civil society), pengertiannya,
ciri-cirinya, sejaraha pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat
dan di Indonesia serta unsur-unsur di dalamnya
Mayoritas masyarakat sekarang ini menginginkan suatu perubahan
dalam semua aspek kehidupan, yakni kehidupan yang memiliki suatu komunitas
kemandirian aktifitas warga masyarakatnya, yang berkembang sesuai dengan potensi
budaya, adat istiadat dan agama. Dengan mewujudkan dan memperlakukan
nilai-nilai keadilan, kesetaraan, penegakan hukum, kemajemukan (pluralisme)
serta perlindungan terhadap kaum minoritas.
Kondisi kehidupan seperti ini terlihat dalam konsep masyarakat sipil yang
ada pada zaman Rasulullah. Hal ini juga merupakan sebuah
tuntutan dalam al-Qur’an
kepada manusia, untuk memikirkan merekonstruksi suatu masyarakat ideal
berdasarkan petunjuk al-Qur’an,
maka kajian dalam tulisan ini akan membahas tentang pengertian amasyarakat
sipil, Agama dan bagaimana Visi Transformatif Sosial dan Pembentukan Watak Masyarakat,
sampai bagaimana usaha terbentuknya
masyarakat sipil menurut konsep Islam.
1.
Agama dan Visi Transformatif Sosial
Pada dasarnya, agama (Islam) menampakkan diri
dalam berbagai manifestasi penting dalam
ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai aspek, seperti hukum
(agama), keimanan (tauhid), etika
dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada
unsur-unsur utama dari kemanusiaan. Prinsip-prinsip, seperti persamaan derajat,
perlindungan warga masyarakat dari kezaliman dan kesewenang - wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan tertindas,
jelas menunjukkan kepeduliaan di atas .
Dari
sini, Islam melahirkan konsep sempurna dengan menampilkan lima jaminan dasar
yang diberikan agama kepada warga masyarakat, baik secara perorangan ataupun
kelompok. Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan
fisik di luar ketentuan hukum. Kedua, keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Ketiga,
keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat, keselamatan harta benda dan
milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima, keselamatan profesi (intelektual).
Hal itu
mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil
kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing.
Hanya dengan penegakan hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan
persamaan hak dan derajat antara sesama warganya. Sedangkan kedua jenis
persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti yang
sebenarnya.
Secara
keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan
hidup atau visi transformatis sosial keagamaan yang utuh. Pemerintahan dan
kehidupan bermasyarkaat yang berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap
toleransi adalah unsur-unsur utama kemanusiaan. Namun, hal itu sekadar
menyajikan kerangka teoretik. Sehingga, harus diikuti dengan upaya
pengorgani-sasian dan penerapannya di lingkungan sosial secara empirik.
Dalam
konteks inilah, umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban,
masyarakat madani, atau civil society. Adalah Nabi Muhammad saw. sendiri
yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut.
Setelah
perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah
menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk
dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di
kota itu Nabi Muhammad saw. meletakan
dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan,
khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik, Nabi Muhammad
saw. diijinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk
melawan musuh peradaban.
Hasil
dari proses itu, dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan
masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan
dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan
masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri
pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran
vertikal. Nurcholis Madjid menyebut dengan semangat rabbaniyah sebagai
landasan vertikal, sedangkan semangat insaniyah atau basyariah yang melandasi
komunikasi horizontal.
Dalam
hal ini, ada beberapa ajaran yang cukup relevan dalam mengem-bangkan misi
transformatif sosial-kemasyarakatan ataupun pemberdayaan masyarakat di era
modern saat ini. Pertama, doktrin tauhid yang mempercayai adanya Tuhan
yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam raya, sekaligus merupakan Sang
Pencipta alam semesta. Kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab
pribadi dari Tuhan melalui konsep tauhid yang diajarkan Nabi kepada manusia, Ketiga,
adanya devaluasi radikal (penurunan nilai yang mendasar) terhadap semua
struktur sosial yang ada, berhadapan antara hubungan Tuhan dengan manusia.
Sehingga melahirkan sikap tidak fanatik terhadap suku dan kesukuan menuju kesatuan
rasa dan kesucian jiwa di hadapan Tuhan, Keempat, adanya konsepsi
tentang aturan politik ber-dasarkan partisipasi semua masya-rakat yang menerima
kebenaran Islam, dengan etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup di
dunia ini, yang aktif, bermasyarkat dan berpolitik. Hal inilah yang membuat
Islam bersifat fleksibel dan lebih mudah diterima oleh masya-rakat modern saat
ini.
Dengan demikian, Islam telah memberi ilham kepada pemeluknya dalam hal
wawasan tentang masalah sosial politik. Tetapi, sejarah menun-jukkan bahwa
Islam memberi ke-longgaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah
sosial politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada sangkut pautnya
dengan masalah legitimasi politik para penguasanya. Sebab, yang penting adalah
isi negara itu dipandang dari sudut beberapa pertimbangan prinsipil dan visi
Islam tentang etika sosial.
Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tananan sosial kemasyarakatan dan
politik serta pemerintahan adalah apa yang dikehendaki oleh ide-ide masyarakat
modern tentang negara dan pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya, menurut
istilah kontemporer, adalah egaliterianisme, demokrasi, partisi-pasi dan
keadilan sosial.
Hal inilah yang terkandung dalam sistem sosial yang dibangun Nabi SAW,
yaitu kesetaraan, istiqomah, mengutama-kan partisipasi, dan demokratisasi.
Esensi ini jelas memiliki ciri unggul dan tetap relavan dalam konteks waktu dan
tempat yang berbeda, tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan kelompok
minoritas.
Dalam
konteks kekinian, ada beberapa gejala umum yang memiliki korelasi antara agama
dengan visi transformatif sosial, semisal di Indonesia. Pertama,
keberagamaan umat Islam Indonesia menampilkan gejala legalistik-formalistik.
Dalam hal ini, agama lebih dipersepsikan sebagai seperangkat
preskripsi-preskripi normatif yang harus dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk
ritual. Hal ini menjadikan ibadah sebagai tujuan, bukan jalan. Sehingga, Islam
kurang dipahami sebagai seperangkat moral etik untuk membebaskan diri dan
masyaraat dari belenggu keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan dan sebagainya. Kedua,
sebagai akibat dari hal di atas, umat Islam menampilkan gejala
individualistik-egoistik. Dalam hal ini, ibadah yang dipersepsikan sebagai
tujuan, bukan sebagai jalan, membawa pelakunya memikirkan keselamatan diri
sendiri. Dimensi sosial dari ibadah kurang dihayati dan tidak termanifestasikan
dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Hal ini misalnya, bisa dilihat pada
intensitas ibadah (mahdhah) yang tinggi, tetapi kurang diikuti oleh
tanggung jawab dan partisipasi sosial (muamalah) yang besar. Ketiga,
pada tataran metodologi pemahaman keagamaan, keberagamaan umat Islam di
Indonesia juga ditandai oleh gejala skriptualistik yang kaku. Hal ini mungkin
disebabkan oleh persepsi bahwa Islam merupakan seperangkat norma yang
terkandung dalam al-Quran dan Hadits.
Dengan kata lain, masuknya agama ke
dalam wilayah politik akan menghadapi tantangan yang berat. Paling tidak ada
tiga risiko besar yang akan terjadi. Pertama, risiko yang bersifat ke
dalam, membuat independensi keagama-an menjadi hilang. Keagamaan yang semula
bertumpu pada kebebasan iman, lalu tereduksikan menjadi urusan birokrasi yang
memiliki kecenderungan memaksa. Kedua, komunitas keagamaan pun terpaksa
juga ikut tertundukkan oleh kepentingan negara, terutama kalangan elitenya. Ini
bisa dilihat dari kecenderungan agama menjadi legitimasi politik. Ketiga,
yang bersifat keluar, campur tangan negara pada domain keagamaan ini cenderung
mendiskriminasikan paham keagamaan yang satu atas paham keagamaan yang lain,
menganakemaskan kelompok keagamaan yang satu sambil menganaktirikan kelompok
keagamaan yang lain. Lalu agama terseret ke derajat yang rendah, menjadi faktor
pemecah belah. Agama yang semestinya menjadi rahmat berubah menjadi sumber
fitnah.
Ketika
agama sebagai isu privat muncul dalam wilayah publik maupun politik, ia juga
cenderung menjadi garis pemisah antara “kelompok kami” (in group) dan
“kelompok mereka” (out group). Hal ini membawa akibat lebih jauh: ke
dalam, ia berfungsi merangkul; dan ke luar, ia berfungsi menyangkal.
Jika
ditarik ke dalam wilayah publik maupun politik, kecenderungan itu membawa
implikasi yang tidak kalah seriusnya. Karena, agama yang berwatak subyektif,
tertutup dan “mutlak”, harus menangani masalah-masalah publik dan politik yang
pada hakikatnya bersifat objektif, rasional dan terbuka.
Persoalannya adalah agama di Indonesia sudah menjadi isu
publik, sekaligus isu politik, bahkan sejak negeri ini berdiri. Perdebatan
sengit di Dewan Konstituante yang berlarutt-larut soal dasar negara merupakan
ekspresi yang sangat nyata mengenai kecenderungan menempatkan agama sebagai isu
publik sekaligus isu politis.
Dan, dalam kadar
tertentu, kecenderungan ini bersifat permanen. Hampir-hampir mustahil bagi
bangsa yang terkenal religius ini untuk melepaskan agama dari isu publik dan
kemudian meletakkannya hanya semata-mata sebagai isu privat. Islam sebagai
agama mayoritas diyakini pemeluk-nya lebih dari sekadar sistem ritual.
Islam adalah sistem ajaran (agama) dan sekaligus sistem
kekuasaan yang sudah menancap kuat dalam memori kolektif umat yang terus
dipertahankan, dipraktikkan, dan direproduksi secara berkelanjutan. Sehingga
akan menjadi sulit bahkan mustahil untuk menge-luarkan agama dari level
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Dari sini, hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah bagaimana
mentranformasikan etika dan moralitas Islam ke dalam proses berbangsa dan
bernegara. Hal ini jelas menuntut kesiapan umat Islam itu sendiri, khususnya
kaum cendekiawan, untuk menggali dan meru-muskan etika dan moralitas dari
sumber-sumber Islam. Namun, langkah ini masih perlu diikuti oleh langkah
berikutnya dalam bentuk peran politik yang signifikan.
2.
Agama dan Pembentukan Watak Masyarakat
Pertama kali Islam datang, bangsa Arab
sedang melewati suatu masa kejahiliyahan. Seluruh kehidupan sosial Arab
terjerumus ke dalam kenistaan dan pelanggaran-pelanggaran sosial. Penyembahan
berhala dan politeisme merupakan tatanan sistem saat itu. Mabuk, judi dan zina
bisa dikatakan merupakan perbuatan yang umum bagi bangsa Arab. Pembunuhan bayi
perempuan juga menjadi trend yang digemari bangsa tersebut, sementara
wanita menjadi kaum yang paling rendah derajatnya di dalam masyarakat Arab. Dengan demikian, mereka bisa dikatakan
tidak memiliki hak sosial dan hukum dalam masyarakat.
Pada
dasarnya, prinsip-prinsip dasar masyarakat madani (islami) sebagaimana di
ungkapkan dalam Al-Quran dan sunah adalah meliputi:1. Persaudaraan, 2. Persamaan
3. Toleransi, 4. Amar
ma’ruf-nahi munkar, 5.
Musyawarah, 6. Keadilan,7. Keseimbangan
Allah Swt
berfirman: Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110).
Dalam prinsip
persaudaraan mengingatkan pada kejadian manusia yang berasal dari sumber yang
sama, baik laki-laki maupun perempuan (Q 49:10). Di ayat tersebut dijelaskan
Nabi Muhammad Saw seorang mukmin terhadap mukmin lainnyan laksana suatu
bangunan yang unsur-unsurnya saling menguatkan. Hal ini berarati bahwa suatu
masyarakat harus hidup bergotong royang, tolong menolong, dan saling membantu.
Dalam prinsip persamaan menunjukan bahwa manusia itu sama, perbedaan
kebangsaan, keturunan, jenis kelamin, kekayaan dan jabatan, tidak mengubah
posisi seseorang di hadapan Allah Swt. Perbedaan seseorang dengan yang lainnya
terletak pada iman dan taqwa (IMTAQ)nya kepada Allah Swt. Dalam prinsip
kemerdekaan meliputi bidang agama, politik, dan ekonomi.
Lahirnya Islam ketika itu, jelas menjadi
pelita bagi manusia tertindas. Islam berusaha bangkit dari keadaan tersebut dan
melaksanakan misi kemanusiaannya di tengah-tengah adat istiadat dan
pemikiran-pemikiran yang berlaku. Islam memahami benar bahwa masyarakat Arab
harus menghilangkan ketidakadilan sosial dan harus segera menghapuskan
kelas-kelas yang memiliki hak istimewa di dalam masya-rakat. Sebab, dalam
perspektif Islam, tidak ada alasan apa pun yang membedakan antara manusia yang
satu dengan yang lainnya, hanya karena kelahirannya di dalam keluarga, suku
bangsa atau marga tertentu. Oleh karena itu, Islam berusaha menegakkan ajaran
persamaan di antara sesama manusia, di mana semua manusia memiliki hak-hak
sosial dan hukum yang sama. Di bawah sistem yang dibawa Islam, seorang budak
pun memiliki hak yang sama sebagai anggota masyarakat, warga negara dan sebagai
manusia yang merdeka.
Bersamaan dengan
penetapan hak manusia untuk memperoleh kemerdekaan dengan tidak menyem-bah
selain hanya kepada Sang Pencipta, Islam pada masa awal kenabian, menghadapi
suatu masya-rakat yang terpuruk oleh suatu sistem kelas yang menindas. Hal ini
tidak lain disebabkan kuatnya kaum aristokrat yang memuja kedudukan dan
kekayaannya, memperbudak para tawanan perang dan budak yang dalam diri mereka
tidak mengalir darah Arab asli.
Dari sinilah,
terjadi praktek penindasan yang mengerikan dan merusak tatanan sosial atas
dasar nilai dan tradisi lama yang terus dipertahankan. Bersamaan dengan itu,
Nabi Muhammad SAW tidak henti-hentinya berdakwah secara terbuka dengan
membacakan ayat-ayat al-Quran. Sehingga kaum yang tertindas tersebut mengerti
bahwa agama baru (Islam) itu merupakan tempat berlindung dari petaka perbudakan
yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dalam hal ini, kunci keberhasilan
Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat Islam yang menghormati hak-hak dasar
kemanusiaan terletak pada prinsip tauhid yang diajarkannya. Prinsip inilah yang
melandasi pembentukan masyarakat sipil generasi muslim awal. Tauhid adalah
ajaran yang paling sentral dan esensial dalam Islam. Ajaran tauhid yang
diformu-lasikan lewat kalimat la ilaha illa Allah (tiada tuhan selain
Allah) mempunyai implikasi bahwa seorang muslim hanya memutlakkan Allah Yang
Maha Esa sebagai Sang Pencipta, sekaligus menisbikan semua selain Allah. Tauhid
berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup dan
sumber nilai.
Allah menjadi fokus dari seluruh rasa hormat dan
syukur. Komitmen ini bersifat totalitas, utuh, positif dan kukuh. Karena
itulah, segala cinta, ketaatan, pengabdian dan kepasarahannya serta kemauannya
untuk menjalankan kehendak-kehendak Allah meru-pakan tujuan yang hendak
dicapai-nya.
Dengan prinsip tauhid ini, umat Islam
merasa bebas dan merdeka, karena mereka menyadari kedudukan manusia semuanya
sama di hadapan Allah. Tidak ada seorang manusia atau suatu bangsa pun yang
berhak mengklaim diri lebih dan merasa superior dari manusia atau bangsa lainnya.
Itulah sebabnya, dakwah Rasulullah SAW di Mekkah menda-pat protes keras dan
tantangan dari kalangan aristokrat
Quraisy. Paham tauhid yang beliau ajarkan menjadi sangat berbahaya bagi
kelangsungan hegemoni mereka dalam masyarakat. Prinsip persamaan (musawah)
yang menjadi konsekuensi logis dari ajaran tauhid sangat bertentangan dengan
perilaku mereka yang selalu memeras, memperbudak dan meng-eksploitasi kaum yang
lemah.
Sebaliknya, ajaran
tauhid yang beliau emban mendapat sambutan hangat dan antusias dari kelompok-kelompok
tertindas. Paham tauhid membawa mereka pada posisi yang lebih mulia dan
terhormat, karena mereka tidak merasa lebih rendah dari aristokrat Mekkah.
Paham ini pulalah yang menempatkan Bilal ibn Rabah, seorang budak hitam, ke
posisi mulia pada masa Rasulullah SAW. Dari sinilah, sesungguhnya Islam secara
teologis telah menghapus sistem
perbudakan dengan melarang manusia beribadah kepada selain Allah SWT.
Hal ini mengingat, Islam memiliki
kepentingan yang besar dalam membentuk watak masyarakat yang sehat, tertib dan
teratur. Dalam hal ini, masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
anggota masyarakat itu sendiri. Salah satunya, adalah bagaimana menegakkan
aturan hukum di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, hukum harus menjadi otoritas
penuh atau memiliki kewenangan untuk mengatur tata pergaulan anggota
masyarakat, seba-gai ciri masyarakat sipil.
Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi SAW dalam
membangun masyarakat Islam awal di Madinah. Ketika itu, hukum benar-benar
memiliki otoritas dalam mengatur kehidupan masyarakat di Madinah dengan
melibatkan segenap kompo-nen masyarakat yang majemuk.
Piagam Madinah,
yang meru-pakan konstitusi pertama dalam Islam, di satu sisi mempertahankan
asas unifikasi hukum dalam sebuah masyarakat (negara), tetapi di sisi lain,
menjamin eksistensi pluralisme hukum sesuai dengan tuntutan masyarakat yang
mejamuk. Kalimat “lil Yahudi dinuhum wa lil muslimina dinuhum” (bagi
orang-orang Yahudi berlaku agama mereka dan bagi orang-orang muslim berlaku
hukum Islam), mengisyaratkan jaminan kebebasan mengamalkan ajaran agama
masing-masing, termasuk sistem hukumnya.
Dari sinilah, pembentukan watak masyarakat
yang teratur dan tertib hukum benar-benar dapat terealisasi secara maksimal.
Hal ini disebabkan, bukan saja teori hukum yang sesuai dengan fitrah manusia,
tetapi juga penerapannya yang benar-benar konsisten. Konsistensi penerapan
hukum yang dilakukan Nabi SAW, tidak semata-mata dalam bentuk instruksi semu
yang disampaikan kepada seorang kepala negara kepada rakyatnya, tetapi
sekaligus memelopori penegakan watak masyarakat yang taat hukum dan
berkeadilan.
Ada beberapa bukti
kesungguhan Nabi SAW dalam hal membentuk watak masyarakat yang adil dan tanpa
pandang bulu. Di antaranya, sebab turunnya ayat 65, surat al-Nisa. Allah SWT
berfirman yang artinya “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak
ber-iman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh-nya”. (Q.S. al-Nisa: 65).
Dalam salah satu riwayat, ayat ini turun
berkenaan dengan Zubair ibn Awwam yang bertengkar dengan Khatib ibn Abi
Balta’ah tentang air (irigasi) untuk kebun. Nabi saw memutuskan agar kebun yang
ada di hulu diairi lebih dahulu kemudian yang dihilirnya. (diriwayatkan oleh
Ibnu Abu Hatim yang bersumber dari Sa’id ibn al-Musayyab).
Hal tersebut mengisyaratkan betapa tegas
sikap Nabi saw dalam melindungi hak seseorang, dalam kasus ini adalah orang
Anshar, dan tidak ragu menghukum pihak yang salah, termasuk, terhadap
saudaranya sendiri, yaitu Zubair ibn Awwam. Penegakan kebenaran dan keadilan
seperti ini, jelas sesuai dengan perintah Allah dalam surat al-Nisa: 135.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar
pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka, janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa saja yang kamu kerja-kan”. (Q.S. al-Nisa:
135).
Hal
ini menunjukkan bahwa Islam hanya memerintahkan kebenaran dan keadilan, tidak
harus selamanya berpihak kepada orang-orang kecil walau salah sekalipun. Tetapi
juga tidak berarti membenarkan keberpihkaan kepada orang-orang kaya.Itulah
sebabnya, mengapa Nabi Muhammad saw ketika menyatakan ketidak-sukaannya kepada
para penegak hukum yang pilih kasih, dengan bersabda: “sesungguhnya
kehancuran (tatanan sosial) di masa-masa lampau itu terjadi, disebabkan jika
yang melakukan pelanggaran atau tindakan melawan hukum itu orang-orang
terpandang, mereka membiarkan tidak menindak para pelakunya. Tetapi, jika yang
melawan atau melanggar hukum itu orang-orang biasa (orang-orang kecil), mereka
mengambil tindakan tegas.”
Hal
ini menunjukkan bahwa salah satu upaya untuk membentuk watak masyarakat yang
sehat dan teratur adalah dengan menempatkan supremasi hukum di tengah-tengah
masyarakat secara optimal. Artinya, salah satu tiang pembentuk masyarakat sipil
adalah dengan menjadikan hukum sebagai otoritas utama dalam bermasyarakat dan
bernegara. Tanpa hal ini, masyarakat sipil yang diinginkan mustahil terwujud.
Sekiranya dipaksakan, keberadaan masyarakat sipil mustahil bertahan lama.
Bagaimanapun,
pembentukan watak masyarakat yang demokratis tidak bisa begitu saja mengabaikan
motivasi keagamaan. Bila motivasi kepentingan politik - ekonomi - budaya mampu
mendorong prilaku dan kebijakan demokratik, maka ia akan semakin kokoh dan
langgeng bila ditopang dengan motivasi keagamaan. Motivasi politik -ekonomi - budaya
yang sekuler cenderung berjangka pendek dan rentan pecah. Sedangkan, motivasi
agama cenderung memiliki pengaruh yang mendalam, berdaya dorong kuat dan
bertahan lama.
Dengan
demikian, peranan agama dalam membentuk watak dan prilaku masyarakat jelas
sangat besar. Hal ini tidak saja didasarkan pada doktrin-doktrin ajarannya yang
begitu menyentuh segala aspek kehidupan. Tetapi, juga mengandung misi
kemanusiaan universal yang sangat relevan untuk konteks kekinian. Selain itu,
agama juga bisa membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih stabil dalam
menghadapi berbagai tantangan modernitas di tengah merebaknya globalisme,
termasuk di dalamnya persaingan hidup di berbagai bidang kehidupan.
3.
Masyarakat Sipil dan Masyarakat Madani
Secara umum, konsep
masyarakat madani tidak terlalu jauh berbeda dengan konsep masyarakat sipil,
yakni berintikan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Hanya saja, jika masyaraat
sipil melulu bicara dalam paradigma politik, konsep masyarakat madani lebih
berperspektif keagamaan. Sebenarnya, istilah masyarakat madani pertama kali
diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim yang dibawa ke Indonesia. Mantan Menteri Keuangan
Malaysia itu mengambil dari terjemahan bahasa Arab, “mujtama’ madani”
yang awalnya diperkenalkan oleh seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari
Malaysia, Naquib al-Attas. Di Indonesia
sendiri, istilah masyarakat madani pertama kali diperkenalkan oleh Nurcholish
Madjid. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat madani banyak
diterima oleh cendekiawan Indonesia, terutama cendekiawan Muslim sebagai
terjemahan civil society.
Dalam
konteks inilah, jika ditinjau dari sudut peralihan, istilah “masyarakat madani”
sendiri jelas mempunyai kedekatan dengan istilah asalnya, yakni masyarakat
sipil. Karena itu, wajar kiranya jika kita mensejajarkan masyarakat
madani dengan masyarakat sipil (civil society), meskipun kedua istilah
ini, yaitu civil society dan Masyarakat Madani, jelas mempunyai sisi
yang berbeda. Masyarakat sipil sendiri memiliki keterikatan
historis dengan Barat, sedangkan masyarakat madani memiliki keterikatan
historis dengan Islam di masa Nabi Muhammad SAW. Namun, meskipun konteks
sejarah lahirnya berbeda, nilai-nilai kesetaraan, keadilan, partisipasi,
toleran, dan supremasi hukum antara keduanya tetap sebagai prinsip dasar dalam
suatu komunitas yang beradab.
a.
Terbentuknya Masyarakat sipil atau Madani
Sebagaimana
kita ketahui bersama berdasarkan pernjelasan sebelumnya masyararakat sipil
hampir sama pengertiannya dengan masyarakat madani, maka sesuai dengan akar
katanya, masyarakat madani diambil dari kata madaniyah, yang berarti
peradaban. Dengan demikian, masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab
dan berkeadaban. Istilah masyarakat madani yang
dipopulerkan oleh Naquib al-Attas ini merupakan terjemahan dari kosa kata
bahasa Arab, mujtamaa madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti.
Pertama, "masyarakat kota", karena madani adalah turunan dari
kata bahasa Arab, madinah, yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang
berperadaban, karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun
atau madaniyyah yang berarti peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal
sebagai civility atau civilization. Maka dari nama ini,
masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Menurut
sejarahnya, setelah 13 tahun Nabi membangun landasan tauhid sebagai fondasi
dasar masyarakat (komunitas di Mekah), Allah memberinya petunjuk hijrah ke
Yastrib. Sesampainya di sana, oleh Nabi SAW, Yatsrib diubah namanya menjadi
Madinah, yang berarti kota. Karena itu, tindakan Nabi mengubah nama Yatsrib
menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi
bahwa bersama umatnya hendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab. Sebagai tandingan
terhadap masyarakat jahiliyah di Mekah. Di sinilah tonggak awal Islam menata
komunitas masyarakat yang maju dan beradab.
Di Madinah
itulah, Nabi Muhammad SAW bersama-sama unsur masyarakat Madinah secara konkret
meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan merumuskan ketentuan hidup
bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah, bahkan, dalam dokumen itu, umat
manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan wawasan kebebasan, keadilan, partisipasi
dan egalitarian.
Ketentuan ini berlaku bagi semua unsur
masyarakat tanpa membedakan agama, yang juga ikut terlibat dalam meru-muskan
Piagam Madinah. Orang-orang Yahudi di Madinah diikutsertakan dalam merumuskan
Piagam bersejarah itu. Dengan demikian, ada partisipasi dari seluruh komponen
masyarakat Madani, itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah
dengan mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis
yang dijiwai oleh landasan iman dan takwa.
Inilah
dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun
kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan
konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, menurut pendapat Hamidullah, Piagam
Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia.
Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang
ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan
hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American
Declaration of Indepen-dence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi
Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Secara
formal, Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama,
antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu ummat walaupun mereka
berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim
didasarkan pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati
kebebasan beragama.
Akan
tetapi, secara umum, sebagaimana tercantum dalam teks, piagam Madinah mengatur
kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua nilai dasar yang
tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara
Madinah kala itu. Pertama, prinsip kese-derajatan dan keadilan (al-musawwah
wa al-'adalah). Kedua, inklusifisme atau keterbukaan. Kedua prinsip
itu lalu dijabarkan dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal,
seperti konsistensi (i'tidal), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasut)
dan toleran (tasamuh).
Oleh sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun pendu-duknya
heterogen (baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan) kedudukannya
sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan
aktivitas dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang
sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka.
Semua prinsip dan nilai di atas menjadi dasar semua aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi dan hukum masa itu, sehingga masyarakat madani yang diidealkan
itu secara empiris pernah terwujud di muka bumi ini, bukan sekadar impian.
Dalam
konteks inilah, masyarakat madinah adalah masyarakat yang beradab, masyarakat
yang berprike-manusiaan, dan masyarakat yang memiliki tatanan yang dilandasi
oleh nilai-nilai Islam. Inilah yang menjadi keyakinan bahwa masyarakat di
Madinah adalah masyarakat yang bertamaddun dan beradab, tidak saja
sesama muslim, tetapi dengan non muslim pun, mereka dilindungi dan dipelihara.
Orang-orang Israil Bani Nadhir dan Bani Qainua sangat dihormati di dalam masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad saw. Pergaulan yang amat baik dengan
kalangan non muslim dibangun secara toleran dengan memiliki hak yang sama
dengan orang-orang muslim.
Dengan demikian, pergaulan antar-agama di
dalam satu komunitas masyarakat madani adalah pergaulan yang dilandasi oleh
semangat menghargai dan menjaga kesatuan (integritas) bersama, tanpa melanggar
hak dan kewajiban bersama. Inilah prinsip masyarakat madani yang dibangun
dengan mengedepankan komitmen dan integritas bersama dalam membangun kesatuan
umat yang maju.
Selain itu,
dalam masyarakat Madinah, Nabi Muhammad saw. mengajarkan kepada umatnya untuk
mencintai saudaranya yang seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Karena
itu, orang-orang muslim di Madinah yang memiliki kelebihan harta membagi
sebagian hartanya kepada kaum Muhajirin yang baru datang dari Mekkah. Hal ini
disebabkan kuatnya iman yang ditanamkan Nabi Muhammad saw..
Pengorbanan
yang telah diberikan kaum Anshor ini merupakan komitmen dasar mereka dalam
beragama yang sejati. Karena itulah, dalam waktu yang relatif singkat, umat
Islam di Madinah dapat menjadi komunitas yang solid dan kuat, meskipun
berbeda-beda suku yang saat itu rentan terhadap konflik, bahkan peperangan.
Demikian
juga, kepada orang-orang Yatsrib yang telah beriman, Nabi Muhammad saw. mengadakan
perjanjian (bai’at) Aqabah dikala 73 orang laki-laki dan wanita datang
haji di Mina. Orang-orang Yatsrib yang
dibai’at ini menjadi modal dasar bagi Nabi Muhammad saw. dan orang-orang
Muhajirin dalam membentuk masyarakat madinah yang sejati.
Ikatan
bentuk kesetiaan kepada Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw. adalah wujud dari
pembelaan terhadap Islam, dengan tetap menjaga loyalitas di tengah gelombang
hasutan orang-orang musyrik yang menginginkan pudarnya kesatuan umat Islam.
Inilah pentingnya kesatuan umat dalam suatu komunitas yang majemuk.
Dalam
konteks ini, secara konseptual, kesatuan umat telah banyak diintrodusir oleh
al-Quran, seperti kata ummatan wahidah. Allah SWT berfirman yang
artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah
perkara mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadanya. Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kepadamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (Q.S.
al-Maidah: 48).
Kemudian,
juga kata khairu ummat, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik”. (Q.S. Ali Imran:110). Inilah konsep Islam tentang
masyarakat madani yang satu dan berkesatuan dalam barisan yang kuat. Semuanya
berjalan saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
lainnya.
b. Beberapa
Titik Temu
Berbicara mengenai masyarakat sipil, tentu
kita akan mengacu pula pada masyarakat madani, karena biar bagaimana pun
masyarakat madani merupakan contoh dan langkah konkrit masa Nabi untuk
mewujudkan harapan masyarakat sipil masa kini. Bukanlah suatu kebetulan bahwa
wujud nyata masyarakat madani untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia
merupakan hasil usaha Nabi Muhammad saw. yaitu tindakan beliau yang mengganti
kota Yatsrib menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, Nabi Muhammad saw. telah
merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat
madani, yaitu masyarakat yang berperadaban, karena tunduk dan patuh kepada
ajaran kepatuhan yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan.
Masyarakat madani pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat
tak kenal hukum, seperti Arab Jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan
pribadi seorang penguasa yang selama itu menjadi pengertian umum tentang
negara.
Dasar-dasar
masyarakat beradab yang diletakkan Nabi itu kemudian dikembangkan oleh al-Khulafa
al-Rasyidun, membentuk pemerintahan system kekhalifahan. Sistem itu sendiri
dimulai dengan ijtihad politik Umar bin Khattab dengan inisiatifnya untuk
meng-angkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai “Pengganti Rasul”.
Inisiatif Umar itu memang tidak luput dari
kecaman sebagian sahabat Nabi dengan tuduhan sebagai tindakan ceroboh, tapi
Umar membelanya sebagai suatu tindakan mendesak untuk menyelamatkan masyarakat
Islam yang baru tumbuh dari bahaya perpecahan yang sedang mengancam. Umar
dengan penuh keyakinan melakukan inisiatif itu sebagai kelanjutan wujud
pelaksanaan cita-cita masyarakat madani yang diteladankan oleh Nabi Muhammad
saw..
Hasilnya
adalah suatu tatanan sosial-politik yang menurut Robert N. Bellah sangat
modern, bahkan ia katakan terlalu modern oleh Mu’awiyah, meninggalkan
pelaksanaan penuh tatanan Islam itu dan kembali ke tatanan pra-Islam. Segi-segi moder-nitas Madinah itu menurut
Robert N. Bellah ialah. “Tingkat yang tinggi dalam komitmen, keterlibatan dan
partisipasi yang diharapkan dari seluruh jajaran anggota masyarakat, dan
kecakapan pribadi yang dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal
dan dilambangkan dalam percobaan untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang
tidak bersifat keturunan” Karena itu, kata Bellah
lebih lanjut, Madinah merupakan “Suatu model untuk bangunan masyarakat nasional
modern yang lebih baik daripada yang dapat diimajinasikan” dan menjadi “contoh
sebenarnya bagi nasionalisme partisipatoris yang egaliter”.
Yang jelas, wacana masyarakat madani
agaknya memiliki kesamaan visi dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Artinya, konsep masyarakat madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. sangat
layak untuk dijadikan teladan. Hal ini mengingat masyarakat kita, khususnya di
Indonesia akhir-akhir ini, banyak menunjukkan tiadanya kesejatian dan ketulusan
dalam mewujudkan nilai-nilai bersama. Misalnya; berkenaan dengan persoalan
pluralisme, masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman yang kurang.
Dalam hal
ini, paham kemaje-mukan masyarakat atau
pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima
kenyataan masyarakat yang majemuk. Tetapi, harus disertai dengan sikap yang
tulus untuk menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang positif. Dari sini,
konstruksi awal yang dibangun Nabi Muhammad saw. di Madinah adalah cikal bakal
dari terbentuknya masyarakat sipil yang sejati. Sebab, Nabi mengajarkan
prisnip-prinsip dasar bermasyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, keadaban, musyawarah, kebenaran, keterbukaan, toleransi dan semangat
membangun kerjasama sosial - religius antar -masyarakat.
Keteladanan
Nabi Muhammad saw. dalam membangun masyarakat Madinah, yang kemudian melahirkan
konsep politik berupa negara Madinah, adalah konsep yang realistis untuk
dikem-bangkan di tengah masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, bagaimana
membangun masyarakat yang memiliki landasan tauhid (teologis) yang kuat di
tengah masyarakat yang majemuk. Fondasi dasar ini diharapkan dapat menjadi
landasan teologis - historis bagi terbentuknya masyarakat sipil di Indonesia.
4.
Konsep Masyarakat Sipil Menurut Islam
Masyarakat Madani adalah masyarakat yang beradab,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta masyarakat yang maju dalam
penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Itu tadi pengertian umum dari masyarakat madani, berikut ini ada
beberapa pengertian masyarakat madani menurut para ahli :
a. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang
menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan
teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
- Menurut
Syamsudin Haris, masyarakat madani adalah suatu lingkup interaksi sosial
yang berada di luar pengaaruh negara dan model yang tersusun dari
lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga, asosiasi sukarela,
gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk lingkungan komunikasi antar
warga masyarakat.
- Menurut
Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk pada
masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah,
sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri antara
lain : egaliteran(kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan,
toleransi dan musyawarah.
- Menurut
Ernest Gellner, Civil Society atau Masyarakat Madani merujuk pada
mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang otonom
dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara.
- Menurut Cohen
dan Arato, Civil Society atau Masyarakat Madani adalah suatu
wilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi, politik dan Negara yang
didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama
membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang
solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public good).
- Menurut
Muhammad AS Hikam, Civil Society atau Masyarakat Madani adalah
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara
lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating),
keswadayaan (self-supporing),dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan
negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya.
- Menurut M.
Ryaas Rasyid, Civil Society atau Masyarakat Madani adalah suatu
gagasan masyarakat yang mandiri yang dikonsepsikan sebagai
jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-kelompok sosial yang
mandiri, perkumpulan-perkumpulan, serta lembaga-lembaga yang saling
berhadapan dengan negara.
Istilah masyaakat madani itu sebenarnya merujuk pada masyarakat Islam
yang pernah dibangun nabi Muhammad di negeri Madinah. Perkataan Madinah dalam
bahasa Arab dapat dipahami
dari dua sudut pengertian. Pertama, secara konvensional kata madinah dapat
bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara kebahasaan dapat berarti
“peradaban”; mskipun di luar ata “madaniyah” tersebut, apa yang disebut
peradaban juga berpadanan dengan kata “tamaddun” dan “hadlarah”.
Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota madinah itu adalah daerah yang
bernama Yatsrib. Nabi-lah yang kemudian mengubah namanya menjadi Madinah,
setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah pada
hakikatnya adalah sebuah proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat
berperadaban di kota itu. Dasar-dasar masyarakat madani inilah, yang tertuang
dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah” yang didalamnya menyangkut antara lain
wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggung jawab social
dan politik, serta pertahanan, secara bersama kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban
berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk menjamin hidup
manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Penjelasan mengenai
pengertian masyarakat madani sudah kita bahas, sekarang kita bahas ciri-ciri
dari masyarakat madani itu sendiri.
5. Ciri-Ciri Masyarakat Madani
1. Menjunjung
tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan teknologi.
2. Mempunyai
peradaban yang tinggi ( beradab ).
3. Mengedepankan
kesederajatan dan transparasi ( keterbukaan ).
4. Free
public sphere (ruang publik yang bebas)
Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai
warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara
berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul serta mempublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul
serta mempublikasikan informasi kepada publik.
6. Demokratisasi
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik
rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi.,
dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat
madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi
yang meliputi : 1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 2) Pers yang bebas 3)
Supremasi hokum 4) Perguruan Tinggi 5) Partai politik
7. Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang
dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai
dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau
kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
8. Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap
tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan
rahmat tuhan.
9. Keadilan Sosial (Social
justice)
Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang
proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup
seluruh aspek kehidupan.
10. Partisipasi
sosial
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal
yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih
dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.
11. Supermasi hukum
Penghargaan terhadap
supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus
diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh
kebenaran di atas hukum.
E. Masyarakat Sipil dan Konsep Ummat
Dalam Islam, makna civil society banyak diartikan sebagai ummat
atau masyarakat madani. Secara umum dalam dunia pemikiran Islam, makna civil
society lebih sering disepadankan dengan kata ummat karena beberapa hal. Pertama
dilihat dari segi arti, ummat paling tidak mengandung tiga arti: (1) suatu
golongan manusia (jama’ah), (2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada
seorang Nabi, dan (3) setiap generasi manusia sebagai satu umat. Salah satu pemikir Muslim yang konsen
mengulas konsep ummat adalah Ali Syariati. Menurutnya, konsep ummat memiliki
keunggulan muatan makna, yaitu makna kemanusiaan yang dinamis, bukan entitas
beku dan statis. Ummat menurutnya berasal dari kata amma, artinya bermaksud dan
berniat keras.
Pengertian ini memuat tiga makna, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan hati yang
sadar.
Dalam
konteks ini, makna ummat memiliki tiga muatan. Pertama, konsep
kebersamaan dalam arah dan tujuan.Kedua, konsep gerakan menuju arah dan
tujuan tersebut. Ketiga, konsep keharusan adanya pemimpin dan petunjuk
kolektif.
Dengan
demikian, konsep ummat berarti “kumpulan manusia, di mana para anggotanya
memiliki tujuan yang sama, satu sama lain bahu membahu, bergerak menuju
cita-cita bersama, berdasarkan kepemimpinan bersama”.
Ummat adalah konsep komperhensif yang
mengandung banyak makna. Misalnya saja, pertama, bermakna binatang yang
ada di bumi atau burung yang terbang dengan dua sayapnya. Allah SWT
berfirman yang artinya: “Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun”.
(Q.S. al-An’am (6): 38).
Kedua, konsep ummat juga bisa bermakna makhluk jin,
sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya:
“Mereka
itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama
umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang merugi”. (Q.S. al-Ahqaf: 18).
Ketiga,
ummat bisa bermakna waktu atau imam, sebagaimana firman Allah SWT: yang rtinya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang iman yang dapat dijadikan teladan lagi
patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan (Tuhan)”. (Q.S. al-Nahl: 120).
Keempat,
ummat bisa bermakna agama, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya
(agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (Q.S. al-Anbiya: 92). Dan firman-Nya yang
artinya: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama
yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku”. (Q.S.
al-Mukminun: 52).
Adapun,
penggunaan kata ummat atau umam dalam al-Quran yang khusus ditujukan kepada
manusia memiliki beberapa pengertian. Pertama, bermakna setiap generasi
yang kepada mereka diutus seorang Nabi atau Rasul. Misalnya saja, surat al-Nahl
ayat 36. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan).
“Sesungguhnya Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu
ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudah-an orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul)”. (Q.S. al-Nahl: 36).
Kedua, bermakna golongan manusia yang menganut
agama tertentu, seperti umat Yahudi, umat Nasrani dan umat Islam. Allah SWT
berfirman yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S. Ali
Imran: 110).
Ketiga, bermakna seluruh makhluk manusia sebagai
umat yang satu, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 213, yang
artinya: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata, karena dengki antara merka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan
itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (Q.S. al-Baqarah: 213).
Keempat, bermakna bagian dari masyarakat yang mengemban
fungsi tertentu, yaitu menegakkan kebaikan dan menghindari kemungkaran. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT: yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, meyuruh kepada yang makruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S.
Ali Imran: 104).
Jadi ummat itu sendiri bisa diartikan sebagai masyarakat yang memiliki
tujuan yang sama, satu sama lain bahu membahu, bergerak menuju cita-cita
bersama, berdasarkan kepemim-pinan bersama. Dari sini, ummat merupakan sebuan
entitas yang memiliki karakter etis, berupa kecendrungan kepada sifat-sifat
utama.
Entitas itu memilki fungsi dan tugas profetik-transformatif, yakni
menyeru-kan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam hal ini, ummat yang juga
bisa diartikan sekelompok tertentu dalam masyarakat, bisa berupa organisasi,
pemerintah, atau negara, sebagai bagian dari masyarakat.
Dalam,
Piagam Madinah,
ummat menjadi prinsip kunci untuk memahami komunitas warga madinah. Konsep
inilah yang menjadi perekat utama masyarakat Madinah saat itu. Aplikasi ummat
dalam masyarkaat madinah sarat dengan visi etis kehidupan berma-syarakat,
seperti toleransi, solidaritas sosial, persamaan dan sebagainya. Ummat juga
memiliki fungsi kontrol untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Ummat
merupakan identitas bersama yang menjadi pijakan kerja sama antarberbagai
kelompok sosial dalam konfigurasi pluralistik. Pasal (1) Piagam ini menyatakan
bahwa kaum muslim dan mukmin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta orang yang
mengikuti, bergabung dan berjuang bersama mereka adalah satu ummat. Dengan kata lain, pasal
ini menyebutkan ummat secara eksklusif yang didasari oleh persamaan akidah, dan
biasanya dibatasi hanya satu agama.
Sementara
pada Pasal (25), ummat lebih diorientasikan pada makna atau cakupan yang lebih
luas. Dalam hal ini, kesatuan ummat disatukan oleh kesamaan kemanusiaan dan
kesamaan kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Namun
demikian, baik kaum muslim ataupun kaum Yahudi yang hidup bersama di Madinah
memikul tugas, kewajiban dan hak yang sama. Usaha pembentukan kesatuan sosial
berdasarkan perekat kemanusiaan yang melewati batas agama, suku dan ras, jelas
merupakan terobosan politik dan kultur yang luar biasa pada masa itu.
Dengan
demikian, ada relevansi yang kuat dan mendasar antara wacana masyarakat sipil
dengan konsep ummat yang tertuang dalam al-Quran. Prinsip-prinsip normatif
dalam dalam konsep ummat, seperti kecenderungan kepada nilai utama, semangat
amar makruf dan nahi munkar, keadilan, persamaan dan sebagainya, memiliki ruang
yang luas dalam wacana masyarakat sipil. Sebaliknya,
gagasan-gagasan dasar masyarakat sipil, seperti otonomi masyarakat, perimbangan
kekuasaan, mekanisme kontrol, kedaulatan rakyat, partisipasi politik, pluralisme
dan sebagainya, memiliki sinergi dengan konsep ummat.
Dari sini,
kedua gagasan atau konsep tersebut bisa dikembangkan secara simbiotik dan
terpadu untuk mewujudkan tatanan bersama kehi-dupan negara dan masyarakat yang
adil, terbuka dan demokratis. Misalnya saja, model masyarakat sipil (civil
society) di Eropa Timur, bisa menyumbangkan strategi demokrasi di bawah
kungkungan penguasa totaliter. Sementara konsep ummat model negara madinah,
bisa menu-turkan pengalaman demokratisasi di tengah masyarakat yang penuh
konflik internal. Di tingkat praktis,
wacana masyarakat sipil bisa memberikan nuansa inklusif dan otonom bagi
penerapan konsep ummat yang berpotensi eksklusif itu. Sementara konsep ummat
bisa memberikan nuansa spiritual, transendental dan berperadaban bagi penerapan
konsep masyarakat sipil yang cenderung sekuler dan berpotensi tercabik-cabik
oleh kepentingan materi-duniawi.
Pola
hubungan antara ummat dengan penguasanya cukup unik. Prinsip yang ditekankan
atas ummat, menurut Thahir Azhari, adalah prinsip ketaatan rakyat, bukan kedaulatan rakyat. Kedua prinsip ini dalam
praktiknya tidak bertentangan. Keduanya hanya berbeda titik tekan. Prinsip
kedaulatan rakyat lebih mengedepankan sisi hak rakyat sebagai pemilik
kedaulatan. Sedangkan, prinsip keataatan rakyat lebih mengedepankan sisi
kewajiban rakyat untuk taat pada penguasa. Namun, ketaatan itu bukan mutlak
tanpa batas. Rakyat wajib taat sepanjang pemerintahnya adil dan tidak maksiat kepada Tuhan. Konsekuensinya, rakyat berhak mengoreksi penguasa,
bahkan memberhentikannya. Sebaliknya, penguasa yang berhak menikmati ketaatan
rakyatnya itu, juga wajib menjamin
kemaslahatan rakyat.
Bagaimanapun,
penjabaran konsep ummat, sebagai identitas empirik dalam kesatuan sosial
politik negara madinah, merupakan implementasi nilai-nilai normatif dalam
al-Quran. Hal ini mengingat pelopor penjabaran konsep tersebut adalah seorang
utusan Allah, Muhammad SAW. Pancaran nilai Islam dan kepiawaian Muhammad SAW
itulah yang turut menyebabkan suksesnya pembentukan negara Madinah. Sebab,
untuk menyatukan tatanan yang plural diperlukan seorang pemimpin yang
berwibawa, profesional dan bisa memberi teladan.
Agaknya,
konsep ummat perlu dikembangkan dalam khasanah politik berbangsa dan bernegara
saat ini. Meskipun gagasan-gagasan kerakyatan mulai dikembangkan, tetapi
analisis terhadap konsep ini masih belum maksimal. Padahal, konsep ini sangat
strategis dijadikan acuan dalam mengembangkan sistem politik negara, khususnya
di Indonesia. Hal ini penting guna mengimbangi dan menyemarakkan wacana baru
dalam kehidupan berdemokrasi, selain wacana masya-rakat sipil yang akhir-akhir
ini kian marak di kawasan dunia. Dari sinilah, konsep ummat akan menjadi
komponen penting dalam penguatan masyarakat sipil.
Kesimpulan
Masyarakat sipil di Indonesia mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan
sudut pandang yang berbeda seperti masyarakat madani, masyarakat sipil,
masyarakat kewarganegaraan, civil society.
Sebagai
kesatuan sosial, masyarakat sipil merupakan kumpulan manusia
yang secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasarkan moralitas keagamaan, baik dalam
proses intraksi antar individu maupun secara kolektif.
Masyarakat sipil menurut Islam adalah sebuah masyarakat dimana penegasan
mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama adalah
sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
Beradasarkan
pentingnya moralitas agama itulah, tampaknya demokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat
madani. Jika masyarakat sipil
dipahami sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya institusi-institusi sosial yang otonom pada gilirannya
hanya akan menjadi malapetaka berupa konflik-konflik sosial dan politik yang berbahaya, apabila
setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan toleransi,
termasuk dalam hubungan antar agama, suku, asosiasi-asosiasi masyarakat
lainnya. Disinilah eksistensi masyarakat madani, karena itu, perilakunya harus
mencerminkan keberadaban. Setiap individu dan kelompok dituntut saling
menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi kehidupan.
B. REFERENSI
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummat;
Sintesa Rumah Demokrasi, (Jakarta: LOGOS, 1999),
Azhary Tahir Muhammad, Negara Hukum; Suatu
Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya
pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
Hisyam Ibn, Sirat al-Nabawiyah,
(Mesir: Mustafa Bab al-Halabi), Jilid II,
M. Din Syamsuddin, Problem Pembentukan
Masyarakat Madani, dalam Firdaus Efendi (ed.),
Ma’luf Louis, al-Munjid fi al-Lughat wa
al-‘Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986),
Madjid Nurcholis, Cita-cita Politik
Islam Era Reformasi, Makalah, Paramadina, 1999.
Moeslim Aboud Alma’ani, Masyarakat Madani dan
Masyarakat Madinah, dalam Firdaus Effendi (ed.),
Munawwir Warson Ahmad, Kamus AL-Munawwir: Kamus
Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
Nurcholish Madjid, Agama dan Negara
dalam Islam, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.)
Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani,
dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Edisi 2/VII/1996,
Robert N. Bellah, ed., Beyond Belief,
(New York: Harper & Row, edisi paperback, 1976),
Suma Amin Muhammad, Otoritas Hukum dalam Masyarakat Madani, dalam
Firdaus Effendi (ed.),
Syariati Ali, Ummat dan Imamah Suatu Tinjauan
Sosiologis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989),
Syati Bintu Aisyah, Manusia dalam Perspektif
al-Quran (Terj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999 ),
Wahid Abdurrahman, Universalisme Islam dan
Kosmopolitanis-me Peradaban Islam, dalam Budhy Munawar Rahman (Ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1994),.
Abdurrahman Wahid, “Univer-salisme
Islam dan Kosmopolitanis-me Peradaban Islam”, dalam Budhy Munawar Rahman
(Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta,
Paramadina, 1994), Cet. Ke-1, h. 545.
Nurcholis Madjid, “ Cita-cita Politik Islam Era Reformasi”,
Makalah, Paramadina, 1999.
Nurcholish Madjid, “Agama
dan Negara dalam Islam”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), op.cit.,
h. 593
Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif al-Quran (Terj.),
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999 ), h. 62
Muhammad Amin Suma, “Otoritas Hukum dalam Masyarakat Madani”, dalam
Firdaus Effendi (ed.), op.cit., h. 101-102.
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Zubair mengadu
kepada Nabi SAW tentang pertengkarannya dengan seseorang, Nabi SAW memutuskan
bahw Zubairlah yang menang. Maka berkata orang itu: “Ia memutuskan demikian
karena Zubair itu kerabatnya, yaitu anak bibi Nabi SAW.” Maka, turunlah yaat di
atas sebagai penegasan bahwa seseorang yang eriman hendaknya tunduk kepada
keputusan Allah dan Rasul-Nya. (diriwayatkan oleh Thabrani di dalam kitabnya
“al-Kabir” dan al-Humaidi di dalam musnadnya yang bersumber dari Ummu Salamah).
Lihat ibid., h. 104.
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummat; Sintesa
Rumah Demokrasi, (Jakarta: Logos, 1999), h. 107
Para ahli politik Barat melahirkan istilah “civil
society” sebagai pengimbang dominasi negara. Sedang para ahli politik
Indonesia lebih suka menggunakan istilah aslanya, civil society, terutama
kesulitan mencarikan istilah yang tepat. Lihat tulisan Abdurrahman Wahid dalam
artikelnya “Islam dan Pemberdayaan Civil Society”, dalam Halawah
(Juli 1998).
Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”,
dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Edisi 2/VII/1996, h. 51.
Hamidullah, First Written Constitu-tions in the World,
(Lahore: t.tp., 1958), hal. 245.
Moeslim Aboud Alma’ani, “Masyarakat Madani dan Masyarakat
Madinah”, dalam Firdaus Effendi (ed.),
h. 246.
Robert N. Bellah, ed., “Beyond Belief”, (New York:
Harper & Row, edisi paperback, 1976), h. 150-151.
Ali Syariati, Ummat dan Imamah Suatu Tinjauan
Sosiologis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), h. 50.
Ibid. Lihat pula Ahmad Warson Munawwir, Kamus AL-Munawwir: Kamus
Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 39. Lihat Pula
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa al-‘Alam, (Beirut: Dar
al-Masyriq, 1986), h. 17.
Ali Syariati, Ummat dan., h. 52.
Teks Piagam Madinah dan terjemahan Indonesianya bisa
dilihat dalam bukunya Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar
1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk,
(Jakarta: UI-Press, 1995), h. 47.
Lihat Ibn Hisyam, Sirat al-Nabawiyah, (Mesir:
Mustafa Bab al-Halabi), Jilid II, h. 147-150.
Asrori S. Karni, , h. 111.
Lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum; Suatu Studi
tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.
119, 127-129.
<�>&Yn<���� class=MsoNoSpacing style='margin-left:36.0pt;text-align:justify;text-indent:
-36.0pt'>
Ali, A. Mukti., Ijtihad, Dalam Pandangan Muhammad abduh,
Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal, Jakarta: Bulan Bintang 1990
Asrohah, Harun., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos, 1999
Azizy Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran
Islam, 2003
Azra, Azyumardi., Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi
Menuju Milinium Baru, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2000
Bakar, M Yunus Abu., Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, Ponorogo: Darussalam, 2012
Danim, Sudarman., Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Daulay, Haidar Putra.,
Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007
Ensiklopedi
Islam, Jakarta: Penerbit
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern,
(terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 2001
Fadjar, A. Malik., Visi Pembaharuan Pendidikan Islam,
Jakarta: LP3NI. 1998
Faisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995
Gibb, HAR. Modern Trends In Islam, New York:
Octagon Book, 1978
Hidayat, Komaruddin.,
Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995
Ja’far, Syah Idris
Ahmad Farid., (ed), Perspektif Muslim
Tentang Perubahan Sosial, Terjemahan, Budiman: Bandung. 1988
Jasin, Anwar.,
“Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis”, Makalah Seminar Nasional, Jakarta, 1985
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
Yayasan Bintang Budaya, 1995
Locke, John, Some Thoughts Concerning Education, 1963
Lubis, M. Solly, Umat Islam Dalam Globalisasi, Jakarta:
Gema Insani Press. 1997
Muhadjir, Noeng.,
“Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Persepektif Modern” Makalah
Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem Metodologi dan
Materi di Pondok Modern Gontor, 31 Agustus 1996
Mulyasa, Dedi., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
Bandung: Rosda, 2007
Nata, Abuddin., Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Bandung: Angkasa, 2003
Qodri, Azizy., Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta:
Erlangga, 2005
Siradj, Sa’id Aqiel.,
Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban
Modern: Pesantren Masa Depan, Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial, Tiara Wacana, Yogya, 2000
Tafsir, A., Cakrawala Penididikan Islam, Bandung:
Mimbar Pustaka, 2004
Tafsir, Ahmad., Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, Bandung: Rosda, 2008
Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Islam
dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998
Usa, Muslim., Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita
dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991
Yusril Ihza Mahendra,
“Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam
Indonesia”, Jurnal Ulumul Qur'an,
No. 3 Vol. 5 Tahun 1994
Jurnal,
Laman dan Web
Antara News, diakses
pada tanggal 30 April 2014
http://birokrasi.kompasiana.com,
diakses tanggal 2 Januari 2014
http://kamusbahasaindonesia.org/reformasi/mirip,
diakses tanggal 20 Desember 2014
http://www.merdeka.com,
diakses tanggal 2 Januari 2014
Khamami Zada, “Orientasi
Studi Islam di Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan
PTAI”, Istiqro: Jurnal Penelitian
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam
RI, Vol, VI/No. O2/2003, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia,
2003
Republika, diakses
pada tanggal 28 April 2014
John L.
Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), (Bandung:
Penerbit Mizan, 2001), h. 345.
Ensiklopedi
Islam, (Jakarta:
Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986), h. 42
http://kamusbahasaindonesia.org/reformasi/mirip, diakses tanggal 20 Desember 2014
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Islam
dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera
Indonesia, 1998), h.
25.
Harun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta
: Logos, 1999),
h. 169
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta:
Yayasan Bintang Budaya. 1995), h.17
M. Solly Lubis, Umat Islam Dalam Globalisasi, (
Jakarta: Gema Insani Press. 1997), h
1997.
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa,
2003), h.183
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2008),
h.24
HR. al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz,
Bab Ma Qila fi Auladil Musyrikin, dan Bab Idza Aslamash Shabiyyu fa Mata hal
Yushalla ‘alaihi. Dan Muslim dalam
Kitabul Qadar, Bab Ma’na Kullu Mauludin Yuladu ‘alal Fithrah.
A. Tafsir, Cakrawala
Penididikan Islam,
(Bandung: Mimbar
Pustaka, 2004),
h.
2
Dalam hal ini Abduh mengajak memahami
agama Islam dengan mengikuti ulama-ulama salaf sebelum timbulnya perpecahan,
untuk itu ummat Islam dalam usaha memahami ajaran Islam harus kembali kepada
sumbernya yang pertama yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Langkah selanjutnya
adalah memperbaiki bahasa Arab dan memperbaiki pergaulan hidup ummat Islam
khususnya bangsa Mesir, dengan menginsyafkan pemerintahan dan rakyat tentang
hak dan kewajiban. Lebih lengkap lihat A. Mukti Ali, Ijtihad, Dalam Pandangan Muhammad abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad
Iqbal (Jakarta: Bulan Bintang 1990);
lihat juga HAR. Gibb, Modern Trends In Islam, (New York: Octagon Book, 1978), h.92
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Transisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 64
M Yunus Abu Bakar, Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Ponorogo: Darussalam, 2012), h.137
M Yunus Abu Bakar, Pengaruh
Paham....., h.138.
Al-Djamali, Fadhil, Menerebas
Krisis Pendidikan Dunia Islam. (Jakarta: PT. Golden Terayon Press,1993), h.23
Sedangkan John
Dewey, seperti yang dikuti oleh A. Malik Fadjar mengatakan bahwa pendidikan
merupakan suatu kebutuhan hidup (a necessity of life), sebagai
bimbingan (a
direction),
sebagai sarana pertumbuhan (a growt) , yang mempersiapkan dan
membukakan serta membentuk disiplin hidup. Pendidikan mengandung misi
keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan terjadi. Lihat A.
Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI.
1998), h.
54
Muslim Usa, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita
dan Fakta, (Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1991), h. 11
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Melenium Baru, Logo
(Macana
Ilmu, Jakarta, 1999), h.57
Jusuf Amir Faisal,
Reorientasi Pendidikan Islam, (Gema
Insani Press, Jakarta, 1995),
h.23.
Komaruddin
Hidayat, Agama Masa Depan: Perspektif
Filsafat Perennial,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 114
Noeng Muhadjir, “Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Persepektif
Modern” Makalah
Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem Metodologi dan
Materi di Pondok Modern Gontor, 31 Agustus 1996
Beberapa contoh
kasus yang sedang diselidiki dan disidik oleh aparat hukum ialah pengadaan alat
laboratorium komputer di Kampus Universitas Negeri Jakarta, lihat;
http://birokrasi.kompasiana.com, diakses tanggal 2
Januari 2014;
Kasus selanjutnya adalah korupsi proyek instalasi Informasi Teknologi (IT)
perpustakaan Universitas Indonesia (UI), lihat http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 2 Januari 2014., Kasus serupa juga terjadi pada level SD
terdapat sebuah kasus yang melibatkan salah satu Kepala SDN Nursia Nainggolan
di Nadeak Bariba, Kecamatan Ronggur Nihuta, Kabupaten Samosir, dijatuhi hukuman
setahun penjara pada sidang di Pengadilan Tipikor, Medan. Dia terbukti
mengorupsi dana BOS periode Juli 2009- Desember 2010 senilai Rp 30,7 juta.
Selain hukuman penjara, Nursia juga dibebani hukuman denda sebesar Rp 50 juta
subsider sebulan penjara, lihat http://www.merdeka.com, diakses tanggal 2 Januari 2014
Sa’id Aqiel
Siradj, Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern: Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 2
Dedi Mulyasa, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2007), h.46
Sesuai dengan paradigma berfikir
neoloberal, dalam kompetisi harus ada pemenang dan pecundang. Ketika ideologi
kompetisi dijadikan basis pendidikan, output pendidikan hanya akan menghasilkan
pemenang dan pecundang. Kita tidak sadar, ideologi kompetisi yang diciptakan
neoliberal didesain untuk kepentingan pemenang. Karena yang mendesain,
menyebarkan dan mendesakkan kepada publik adalah pemenang, yaitu mereka yang
kuat secara ekonomi, politik, pendidikan dan modal. Di sini pertautan antara
pengetahuan dan kekuasaan ala foucaltion
atau pengetahuan dan kepentingan ala Habermas menjadi jelas.
Ideologi kompetisi tidak pernah mempertanyakan secara kritis: mereka mereka
kalah? Apakah mereka tidak mampu atau karena ada faktor lain yang memuat mereka tidak bisa
bersaing ? Tentu tidak adil dan tidak fair, anak yang sejak kecil mendapat
pendidikan yang memadai dan elite bersaing dengan anak yang hanya sekolah di
madrasah pelosok desa/ Karena, kompetisi mensyaratkan adanya kesetaraan dari
partisipan yang berkompetisi.
Kebijakan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Riatas perbandingan, lihat M Yunus Abu Bakar, Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, h. 152
Syah Idris
Ja’far, Ahmad Farid (ed), Perspektif Muslim Tentang Perubahan Sosial., Terjemahan, (Budiman:
Bandung. 1988) h.
146
Azizy Qodri, Melawan
Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, 2003, h. 121
Khamami Zada, Orientasi
Studi Islam di Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan
PTAI”, Istiqro: Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam RI, Vol, VI/No. O2/2003, (Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia, 2003, h.12
Azra, Azyumardi, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:Logos Wacana
Ilmu, 1999), h.23
Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan
Sistem Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 64
M. Solly Lubis,
Umat Islam Dalam Globalisasi, (Jakarta:
Gema Insani Press. 1997),
h.35
Republika, diakses pada tanggal
28 April 2014
Antara News, diakses pada tanggal
30 April 2014
Khamami Zada, “Orientasi Studi Islam di Indonesia
Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI”, Istiqro:
Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Vol, VI/No. O2/2003,
(Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2003), h.1.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi…,
h. 229-230.
Yusril Ihza
Mahendra, Studi Islam di Timur dan Barat
dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia, dalam Jurnal
Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun 1994), h 14.
Mujamil, Qomar, Epistemologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 234
Haidar Putra
Daulay, (Sejarah Pertumbuhan
dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia , (Jakarta:
Kencana, 2007), h.
57-59
Locke, John, (Some
Thoughts Concerning Education ,1963), h.
2
Anwar Jasin, “Kerangka
Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis”, Makalah Seminar Nasional, (Jakarta, 1985), h. 7
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial, (Tiara
Wacana, Yogya, 2000), h. 45
Azizy Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran
Islam, (Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 2003), h.
122