Kamis, 11 Februari 2016

PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN M IHSAN DACHOLFANY


PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN
M IHSAN DACHOLFANY



A.       Pendahuluan
Perilaku manusia pada mulanya didorong oleh keinginan untuk mamaksimalkan terpenuhinya berbagai kepentingan hidup. Kepentingan setiap orang  pada umumnya bersifat kompleks dan tak terukur. Semakin hari kepentingan manusia semakin bertambah, sementara kemampuan manusia semakin hari semakin berkurang. Kondisi itulah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan. Kesenjangan yang makin bertumpuk akan menjadi faktor pendorong timbulnya perilaku jalan pintas. Kesenjangan itu sumber konflik yang dapat menimbulkan stres dan depresi. Orang yang selalu berbenturan dengan konflik cenderung melakukan jalan pintas dengan “menghalalkan” berbagai hal.
Kondisi yang demikian akan semakin parah apabila menimpa pada orang yang jauh dari agama dan jauh dari perasaan takut pada Allah SWT. Orang yang tidak takut pada Allah SWT seolah tidak ada penghalang bila mereka melakukan kemasiatan dan kedholiman. Terlebih apabila di dalam dirinya tidak tertanam bibit iman. Orang-orang yang jauh dari Allah SWT dan tidak merasa takut pada Allah SWT serta tidak merasa diawasi oleh Allah SWT, umumnya adalah orang-orang pencinta dan pengagum dunia yang terkadang mempertuhan harta benda dan kenikmatan dunia. Kehidupan orang-orang seperti itu rentan kena stres dan depresi. Hidupnya serba melelahkan dan penuh ketakutan. Takut akan hari esok, takut kehilangan harta, takut kehilangan dunia, takut kehilangan hak dan takut mati. Padahal Allah SWT mengingatkan bahwa : “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS Al-Hadid 23).
Masyarakat yang dihantui oleh ketakutan, cenderung bersikap negative thinking atau suudhon  pada orang lain. Sikap inilah yang menjauhi seseorang dari persaudaraannya dengan orang lain. Mereka hidup di seolah-olah. Seolah-olah benar padahal salah, seolah-olah baik padahal tidak sopan, seolah-olah penolong padahal menjerumuskan, dan sebagainya. Atas dasar itu  perlu disusun suatu konsep pendidikan karakter yang mencerminkan akhlakuk karimah . dengan pendidikan tersebut diharapkan masyarakat memahami apa, mengapa dan bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan secara benar serta memahami akan ke mana manusia kembali.
Pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dan pendidikan di Indonesia. Dengan banyaknya fenomena karut marutnya sistem manajemen diri dan perilaku anak-anak bangsa di Indonesia akhirnya upaya pembentukan karakter menjadi bahan diskusi yang luar biasa. Upaya pembentukan karakter ini sudah dilalkukan sejak zaman dahulu tetapi belum kelihatan hasilnya secara signifikan. Dengan dasar tersebut, perlu dilakukan revitalisasi pada paradigma mendidik yang berkarakter bagi generasi penerus bangsa, khusunya bagi guru dan dosen. Dengan terbentuknya karakter yang kuat bagi guru dan dosen diyakini akan mampu menjadi insipartor bagi peserta didiknya di sekolah dan kampus untuk mewujudkan pendidikkan karakter di Indonesia
Meskipun pesantren memiliki otonomi yang tegas, namun pesantren tidak pernah melepaskan diri dari dinamika komunitas di luarnya. Fungsi utama pesantren dalam bidang pendidikan, terbukti juga berperan dalam bidang sosial kemasyarakatan dan politik, misalnya pesantren berperan dalam melahirkan tokoh-tokoh perjuangan di Indonesia. Pesantren juga menjadi wadah dan lambang perjuangan rakyat.
Pesantren sebagai lembaga yang mencetak kader-kader umat untuk siap terjun ke masyarakat, berdakwah dan mensosialisasikan misi dan visi agama Islam dan yang utama mengenai pokok ibadah dan sosial. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga melibatkan diri dengan perubahan masyarakat di Indonesia. Untuk itulah pesantren secara lambat laun merubah dirinya serta merespon sesuai dengan perubahan lingkungan atau masyarakat.

B.       Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Pendidikan karakter bukanlah pengajaran ilmu pengetahuan tentang karakter bangsa yang dilakukan dengan cara menghapal fakta-fakta dan peristiwa semata. Bukan pula hanya sekedar proses mentransfer ilmu, konsep dan teori semata. Juga bukan sekedar proses pembelajaran nilai yang menenkankan pada hapalan dan angka-angka.  Akan tetapi, pendidikan karakter pada hakikatnya adalah proses pembentukan jati diri manusia yang dilakukan dengan cara membangun kualitas logika, akhlak dan keimanan. Pembentukannya diarahkan pada proses pembebasan manusia dari ketidakmampuan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidakadilan dan dari buruknya akhlak dan keimanan. Dengan proses tersebut diharapkan terbentuk  jati diri manusia yang berwatak, berakhlak, dan bermartabat.
Pendidikan karakter merupakan proses penularan nilai-nilai luhur bangsa yang dilakukan dengan cara membangun logika, akhlak dan keimanan, diselenggarakaan melalui pendekatan keteladanan, kecintaan, perhatian dan kasih sayang. Ini dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya empati, simpati, kesadaran dan tanggungjawab peserta didik sehingga mereka dapat hidup harmonis di tengah keragaman dan perbedaan. Dikemas dengan cara memberikan pengalaman langsung kepada para peserta didik agar mereka dapat melihat, mengetahui, merasakan, dan mengalami langsung tentang suatu peristiwa yang akan ditularkan.
Pendidikan tersebut diharapkan mampu mendorong terciptanya masyarakat yang tertib, teratur, ramah tamah, mengutamakan kebersamaan, gotong royong dengan memperhatikan prinsip-prinsip toleransi dan kesantunan juga dikembangkan melalui sikap saling memahami, saling bekerjasama dan saling menitipkan diri. Pendidikan tersebut dilangsungkan di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Penyelenggaraannya bersifat aplikatif dengan memperhatikan tujuan dan program yang jelas dan terukur hasilnya. Kebijakan pendidikan yang berpedoman pada pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi dengan titik berat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, berpeluang besar menciptakan proses pendidikan karakter secara efektif.
Menurut bahasa, character adalah watak atau sifat.characteriscally adalah watak yang khas dimiliki dan melekat pada seseorang. Temperamen adalah kombinasi dari sifat-sifat bawaan sejak lahir yang diantaranya melekat dalam tipe kepribadian Sanguin, Kolerik, Melankolis dan Plegmatis. Kepribadian adalah gambaran ekspresi dari karakter yang telah melembaga. 
G. Allport memandang bahwa,  “Kepribadian adalah organisasi dinamis di dalam individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisik yang menentukan tingkah-laku dan pikirannya secara karakteristik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.“ sedangkan watak (character) dan kepribadian (personality)menurutnya merupakan sesuatu yang  sama, namun apabila ditinjau dari sudut yang bersifat normatif maka yang paling tepat adalah menggunakan istilah “watak”; tapi bila ingin menggambarkan apa adanya lebih tepat dipakai istilah “kepribadian.” Dalam konteks itu. karakter dapat diartikan sebagai jati diri yan sebenarnya.
Dalam hal lain Allport memandang bahwa, “Temperamen adalah gejala karakteristik daripada sifat emosi individu, mudah-tidaknya terkena rangsangan emosi, kekuatan serta kecepatannya bereaksi, fluktuasi dan intensitas suasana hati. Gejala ini bergantung pada faktor hormon yang diturunkan.” Sedangkan G. Ewald menyatakan bahwa,  Temperamen bergantung pd konstelasi hormon. Dan konstelasi hormon itu bersifat tetap seumur hidup. Karena itu temperamen itu bersifat tetap seumur hidup dan  tak mengalami perubahan dan perkembangan”. Sedangkan watak, walaupun pada dasarnya telah ada tetapi masih mengalami pertumbuhan atau perkembangan.Watak sangat bergantung pada faktor-faktor eksogen (lingk. pendidikan, pengalaman, dsb)
Apabila dikaitkan dengan konsep bangsa, maka karakter bangsa adalah karakter Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Artinya mengkaji karakter bangsa, tak lepas dari konsep pembentukan masyarakat yang berke-Tuhanan YME, yang tercermin dalam nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban, persatuan dan kesatuan bangsa, demokratisasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut ditempatkan sebagai fondasi bagi berkembangnya jati diri bangsa yang hidup di tengah keragaman dan perbedaan.
Sejalan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman dan perbedaan budaya, agama, suku, daerah, dan golongan, maka perlu terus dibangun semangat Bhineka Tunggal Ika, yakni semangat, “Bersatu dalam ragam” . Semangat tersebut akan mendorong tumbuhnya  iklim kehidupan yang harmoni di tengah perbedaan dan keragaman. Itulah inti dari semangat kebangsaan (nasionalisme).
Semangat itulah yang akan mencerminkan karakter bangsa. Apabila dihubungkan dengan tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan karakter diarahkan pada : (1) pengembangan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) berkembangnya manusia yang beriman dan bartqwa kepada Tuhan YME; (3) berakhlak mulia; (4) sehat; (5) berilmu (6) cakap; (7) kreatif;  (8) mandiri;  (9) demokratis (10) bertanggungjawab.
Dalam sambutannya pada Hardiknas 11 Mei 2010 di gedung Istana Negara, Presiden SBY  mengemukakan ciri-ciri karakter bangsa, yang baik antara lain: (1) Berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti yang luhur, (2) berjiwa mandiri, (3) memiliki keyakinan diri, (4) bersikap ulet, (5) tegar, (7) tidak mudah menyerah, (8) toleran, (9) semangat (kebangsaan), (10) bersikap otpimis, (11) kemampuan berpikir positif dan menghasilkan energi positif.
Dalam pandangan lain bahwa terdapat sembilan pilar karakter yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain: (1) responsibility (tanggung jawab); (2) respect (rasa hormat); (3) fairness (keadilan); (4) courage (keberanian); (5) honesty (kejujuran); (6) citizenship (kewarganegaraan); (7) self-discipline (disiplin diri); (8) caring (peduli), dan (9) perseverance (ketekunan). sumber: www.google.com

C.       Pesantren Sebagai Pusat Pendidikan Karakter
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang dimiliki oleh bangsa Indonesia telah terbukti banyak melahirkan para pejuang dan pahlawan nasional. Pesantren mempunyai andil besar dalam mempersiapkan masa depan bangsa. Orang-orang besar, baik itu ilmuwan, pejuang, pahlawan dan atau penyelenggara negara dan pemerintahan umumnya pernah mengalami sentuhan pendidikan di pesantren.
Atas dasar itu, perlu dikaji secara mendalam ada apa dengan pesantren ?  mengapa pesantren mampu melahirkan orang-orang besar di tatar nasional bahkan internasional ?
1.         Pesantren didirikan, dibentuk dan diselenggarakan oleh keikhlasan kyai/ ulama. Oleh karena itu, motifnya bukan materi atau kekuasaan. Motifnya adalah ibadat untuk memperoleh ridho Allah SWT swt.
2.         Pesantren dibesarkan oleh kepercayaan masyarakat yang dengan kepercayaan tersebut masyarakat memberikan dukungan material dan spiritual secara penuh.
3.          Program pembelajaran di pesantren diarahkan pada terbentuknya pribadi santri yang taat pada Allah SWT, berjiwa mandiri, dan memberikan manfaat bagi sesama.
4.         Proses pembelajarannya dilakukan melalui pola sorogan dan bandungan. Sorogan merupakan pola pembelajaran individual dimana para santri datang ke kyai/ ustadz secara perseorangan. Dengan pola itu, kyai yang menentukan berapa banyak materi yang diajarkan disesuaikan dengan tingkat kemampuan masing-masing santri. Pola sorogan mirip dengan proses  pembelajaran yang menggunakan pola mastery learning (belajar tuntas). Sedangkan sistem bandungan ialah sistem pembelajaran yang menggunakan sistam klasikal dimana pengajian diikuti oleh umum dengan membahas kitab yang sama.
5.         Kyai memerankan diri sebagai pelayan belajar yang bertugas membantu kesulitan belajar para santri. Dengan demikian kyai mengajar dengan teladan
6.         Pesantren tidak mengotori jiwa dan pikiran santri dengan angka-angka dan ijasah, karena itu proses pengajiannya diarahkan pada kualitas jati diri dan kematangan kepribadian santri.
7.         Pendidikan di pesantren didisain untuk mencetak santri-santri yang jujur, benar, ahli ibadah, menjauhi kemunkaran/ kemaksiatan, dan bermanfaat bagi sesama. 
Oleh karena itu, proses pendidikan di pesantren diarahkan pada pembentukan kualitas iman, logika dan akhlak. Terkait dengan itu, pembangunan pendidikan di lingkungan pondok pesantren tidak sekedar membangun fasilitas belajar semata karena yang lebih penting adalah melakukan proses pembentukan kualitas jati diri dan kematangan keperibadian santri secara utuh dan total.
Pimpinan pondok pesantren meyakini bahwa pendidikan kepribadian jauh lebih penting dari sekedar mentransfer sejumlah teori atau konsep-konsep ilmu pengetahuan. Namun demikian, tidak berarti bahwa di lingkungan pesnatren tidak diajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan. Konsep itu diberikan, tapi bukan sebagai tujuan, tapi sebagai sarana untuk membentuk kualitas kepribadian santri.
Berhasil tidaknya program pendidikan karakter bangsa tidak diukur dari meningkatknya jumlah lulusan dan angka-angka dalam ijasah seperti di pendidikan formal, tapi ukuran keberhasilan pendidikan karakter adalah meningkatnya kematangan kualitas peserta didik yang berakhlak mulia. Oleh sebab itu, pendidikan karakter di lingkungan pondok pesantren memang didisain untuk mencetak manusia-manusia yang beriman, ahli ibadah, jujur, cerdas, benar, bermanfaat, adil, dan berkeadaban.
Proses pembelajarannya ditekankan pada peningkatan kualitas proses.  Dengan demikian diyakini bahwa, kyai tidak pernah takut para santri dan alumninya menganggur, yang ditakuti oleh kyainya adalah ketika santri dan para alumninya tidak bermanfaat bagi masyarakat. Boleh takut pada buruknya  angka-angka dalam ijasah, tapi takutlah pada sikap, pemikiran dan perilaku peserta didik yang buruk. Guru boleh gagal dalam melaksanakan sebagian tugasnya, namun guru tidak boleh kehilangan keperibadian dan teladan. Untuk meningkatkan strategi pembelajaran dalam pendidikan karakter di lingkungan pesantren, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Kyai mengupayakan terciptanya suasana lingkungan belajar yang mendorong para santri merasa dirinya penting, berharga, berkemampuan dan bermartabat.
2.      Penyelenggaraan pendidikan karakter dilakukan melalui proses penularan  nilai-nilai luhur
3.      Pendidikan karakter dikembangkan melalui pendekatan keteladanan dan kepribadian unggul yang dilakukan dengan penuh kecintaan, perhatian dan kasih sayang dari dari kyai/ ustadznya.
4.      Proses pembelajaran/ pengajian dilakukan dalam suasana belajar yang demokratis, terbuka, hangat, dinamis dan menyenangkan.
5.      Mengajar itu bukan mendemonstrasikan kemampuan ustadz/ guru di hadapan peserta didik, tapi mengajar itu membantu kesulitan belajar peserta didik. Karena itu, ajari mereka sesuai tingkat kemampuan, minat,kecepatan belajar dan gaya belajarnya. 
6.      Selalu belajar dari kesalahan dan kegagalan dalam proses pembelajaran, serta tidak melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang yang telah gagal dalam mendidik.
7.      Menghargai sekecil apapun pandangan, pendapat dan kreativitas peserta didik, serta tabu melakukan penghinaan yang dapat menurutkan semangat dan motivasi belajar peserta didik
Di bawah ini dikemukan beberapa konsep tentang pendidikan karakter bangsa yang dikembangkan di pesantren, antara lain bahwa :
1.         Pendidikan karakter mengacu pada nilai-nilai akhlakul karimah yang berasaskan keimanan, keilmuan, amal shaleh dan keikhlasan.
2.          Di lingkungan masyarakat luas atau bangsa Indonesia, pendidikan karakter mengacu pada nilai-nilai luhur bangsa (Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika) yang perilakunya tercermin dalam perilaku keimanan,  kejujuran, keadilan, kemanusiaan, semangat kebangsaan, toleransi, dsb 
3.         Arah dan kebijakan pendidikan berorientasi pada tuntutan dan tantangan masa depan, dan bukan sekedar merujuk  pada kepentingan sesaat yang bersifat kuantitatif ,
4.         Menggunakan pendekatan keteladanan, dimana pendidikan karakter diajarkan dan diaplikasikan melalui contoh yang baik. Guru dan lingkungan (keluarga dan masyarakat) harus berperan sebagai teladan yang patut dicontoh,
5.         Proses pendidikan/ pengajiannya tidak terjebak pada transfer pengetahuan semata, tapi diarahkan pada proses pembentukan jati diri manusia. Yang benar adalah pendidikan keimanan dan bukan pengajaran ilmu pengetahuan tentang keimanan; yang benar adalah pendidikan kemanusiaan bukan pengajaran ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan. Yang benar adalah  Pendidikan keadilan, dan bukan pengajaran ilmu pengetahuan tentang keadilan, dst. 
6.         Ciptakan suasana yang mendorong para siswa/ santri / bangsa merasa dirinya penting, berharga dan terhormat,
7.         Diarahkan pada pembentukan semangat kebangsaan yang lebih mengutamakan keutuhan, kebersamaan dan persatuan, serta menghindarkan   konflik dan perpecahan,
8.         Menggunakan metode yang dapat menumbuhkan suasana yang menyenangkan serta dapat merangsang tumbuhnya semangat, motivasi,disiplin, keuletan, kejujuran dan kepercayaan diri,
9.         System evaluasi tidak merujuk pada sesuatu yang bersifat kognitif semata, tapi lebih bersifat utuh, komprehensif dan mendalam.
10.     Pendidikan karakter tidak menekankan pada hapalan tapi lebih mengutamakan pada lingkungan dan suasana yang patut diteladani. 
11.     Pendidikan karakter yang dikembangkan dengan merujuk pada pendidikan nilai, dilakukan melalui praktik hidup keseharian dan latihan demi latihan.

D.       Pentingnya Pendidikan Karakter
Mengkaji karakter tidak lepas dari kajian kepribadian, karena kepribadian adalah gambaran ekspresi dari karakter yang telah melembaga. Terkait dengan itu,  Florence Litteur, dalam bukunya “Personality Plus” membagi kepribadian manusia dalam empat pola, yaitu Sanguin, Kolerik, Melankolis dan Plegmatis.
Sanguinis adalah tipe kepribadian yang cenderung mengutamakan popularitas. Perilaku yang lain akan dikesampingkan demi popularitas. Sikapnya bersifat terbuka, emosinya bergejolak, bersifat ekstrim dalam merespons sesuatu artinya terkadang ia berteriak histeris karena kegirangan, namun dalam sisi lain ia bisa meratap karena harapan/ keinginannya tidak terpenuhi. Karena itu, terkadang ia tidak berpikir cermat – cepat menerima atau cepat menolak – tidak ulet dan kerja terkadang tidak teratur serta berantakan.
Kedua, tipe Melankoli,  yakni kepribadian yang cenderung mengutamakan kesempurnaan dan keteraturan. Bersikap rasional yang lebih menghargai fakta, data, angka-angka. Dalam menghadapi masalah atau isu-isu ia tidak banyak bicara namun lebih banyak memikirkan, melakukan analisa dan pertimbangan-pertimbangan. Isi pembicaraanya adalah apa yang ia pikirkan secara matang.
Ketiga, tipe Koleris, yaitu kepribadian yang memiliki naluri kuat untuk mengatur dan menertibkan lingkungan. Ia selalu ingin menjadi pemain yang terkadang tidak menghargai aturan main. ia menganggap bahwa dirinyanyalah yang mampu mengatasi berbagai hal (orang kuat). Ia senang berpetualang dan menyenangi  tantangan. Ia yakin dengan pandangannya dan ia buktikan keyakinannya itu dalam bentuk tindakan yang tanpa menyerah dan tidak mau kalah.
Keempat, Phlegmatis, yaitu kepribadian yang lebih mencintai kedamaian dan berusaha menghindari terjadinya konflik. Ia bersikap moderat yang selalu berusaha mencari solusi untuk damai. Ia rela berkorban demi kedamaian. Tipe orang ini kurang dinamis, tenang dan menjadi pendengar yang baik. Ia terkadang tidak senang apabila didorong ke depan, namun marah apabila didiamkan.
Hasil riset yang dilakukan oleh  D. W. Fiske (1949) yang kemudian diperluas oleh Normandia (1967), Goldberg (1981), dan McCrae &Kosta (1987), menemukan lima kategori kepribadian yaitu: (1) Conscientiousness  yaitu kepribadian dengan pengertian yang mendalam, sikap  berdaya cipta  dan sikap keingintahuan, keberhati-hatian; selalu memberikan penghargaan pada  seni, emosi, petualangan, gagasan-gagasan yang tidak biasa, kecurigaan; dan variasi pengalaman. (2) Conscientiousness (ketelitian ). Kepribadian yang cenderungan  menunjukkan disiplin diri, kepatuhan dan sikap hormat, dan mencoba mencapai prestasi secara terencana dan tidak bersifat spontan. (3) Extraversion yaitu kepribadian yang mudah dirangsang, keramahan, banyak bicara, ketegasan, dan emosi yang bersifat ekspresif. (4) Agreeableness yaitu kepribadian bersahabat, sikap mengasihi dan ingin menghibur, namun bersikap dingin dan terkadang bersikap kejam. Kepercayaan, azas mengutamakan orang lain, kebaikan, kasih sayang, dan perilaku-perilaku prosocial lain. (5) Neuroticism yaitu keperibadian yang sensitif, gelisah, ketidakstabilan emosi, ketertarikan, kemurungan, sifat lekas marah, dan kesedihan.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator antara lain meliputi sebagai berikut:
1.         Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2.         Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3.         Menunjukkan sikap percaya diri;
4.         Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.         Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6.         Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7.         Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8.         Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9.         Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10.     Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11.     Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12.     Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13.     Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14.     Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15.     Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16.     Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17.     Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18.     Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19.     Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20.     Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21.     Memiliki jiwa kewirausahaan.

E.       Pendidikan Karakter dalam Islam
Masyarakat muslim yang berkarakter adalah masyarakat taat agama yang menjadikan dunia sebagai alat untuk mengumpulkan perbekalan akhirat. Masyarakat yang menjadikan kenikmatan sebagai alat untuk menitipkan diri kepada Allah SWT dengan cara membangun kehidupan yang bermakna dan bermanfaat, menghindari perbuatan dosa dan kemaksiatan, serta menumbuhkan sikap saling mengingatkan, saling menolong dan saling menitipkan diri. Masyarakat muslim adalah masyarakat taqwa yang menjadikan iman, amal shaleh dan keikhlasan sebagai fondasi hidupnya. (http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/05/11/115140-presiden akhlak-baik-ciri-karakter-kuat).
Nabi saw mengingatkan bahwa “Tidak sekali-kali aku diutus ke dunia kecuali untuk memperbaiki akhlak manusia”. Tugas utama Nabi Muhammad saw diutus ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Mengapa akhlak dipandang penting ? karena tanpa akhlak sikap, pemikiran dan perilaku manusia cenderung liar, ganas, tak beraturan dan merugikan sesama. Terlebih menurut teori perilaku bahwa, “perilaku manusia pada mulanya didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan terpenuhi berbagai kepentingan”.
Dorongan itulah yang ditengarai akan merusak tatanan kehidupan masyarakat yang ujung-ujungnya berdampak pada lingkungan yang tidak stabil, tidak harmonis serta merugikan semua pihak. Mengapa pendidikan karakter dibutuhkan ?
Pertama, makin pesatnya tuntutan perubahan dan tantangan masa depan,  berdampak pada perilaku manusia sikap, pemikiran dan perilaku manusia yang semakin kompleks yang tercermin dalam
a.         Dampak dari gerakan kebebasan, keterbukaan, demokratisasi dan HAM yang berlebihan. Hal itu dapat mengakibatkan melemahkan budaya bangsa yg bercirikan budaya santun, gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan, toleran,   dan s emangat kebangsaan.
b.         Dampak dari kompleksitas perubahan politik yang diwarnai oleh makin menguatnya persekongkolan politik, perebutan kekuasaan dan “pemusnahan” karakter lawan.
c.         Permasalahan ekonomi menyangkut masalah pengangguran, pertumbuhan, pemerataan, kesejahteraan dan daya beli masyarakat yang relatif rendah. Dampak dari permasalahan ekonomi tercermin dari sikap penghalalan berbagai cara untuk tercapainya kebutuhan hidup.
d.        Dampak dari kompleksitas perubahan budaya tercermin perilaku masyarakat yang menggambarkan adanya gejala disorientasi budaya lokal dan nasional ke arah budaya global. Akibatnya budaya individualis, materialis, pragmatis, dan hedonis semakin menguat, sementara budaya santun, kekeluargaan, gotong royong dan toleransi semakin melemah.
e.         Dampak dari menguatnya kompleksitas perubahan hukum yang dilandasi oleh adanya konflik kepentingan antar pihak-pihak di lingkungan lembaga penegak hukum dan atau di lingkungan masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan lemahnya keadilan, jaminan kepastian dan perlindungan hukum saja.
Kedua, banyak anggota masyarakat yang gagal dalam mengikuti tuntutan perubahan yang berkembang amat pesat. Padahal kegagalan hidup seseorang pada mulanya disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Perubahan yang bergerak secara tak beraturan, mempunyai sifat saling mengubah, saling bergantung, saling berbenturan, penuh ketidakpastian dan terkadang mempunyai efek yang saling mematikan antar satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya. Perubahan tersebut cenderung mendorong munculnya gejala disorientasi nilai, disharmoni social, disorder system, dan disfungsi peran dan profesi. System nilai bukan saja menjadi kabur tapi sudah disalahfungsikan, kehidupan social berkembang ke arah chaos, peran dan profesi tenaga di lingkungan lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan akan semakin jauh dari fungsi pokoknya. Akibatnya sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ketiga, Memasuki era reformasi, bangsa Indonesia dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan itu tidak hanya menyangkut hal yang bersifat material belaka, tapi juga sudah berhubungan dengan urusan yang berdimensi spiritual. Arahnya tidak hanya bersifat linear, tapi sudah berkembang memasuki lintas aspek. Permasalahan politik, bukan hanya menyangkut perebutan kekuasaan belaka, tapi sudah berkembang ke arah “pemusnahan” lawan. Permasalahan ekonomi juga tidak hanya menyangkut masalah pengangguran, pertumbuhan, pemerataan, dan kesejahteraan belaka, melainkan sudah berkembang ke arah penghilangan batas antara yang halal dan yang haram. Permasalahan budaya, tidak hanya berhubungan dengan kesenjangan antara budaya lokal, regional, nasional dan global saja, melainkan sudah berkembang ke arah “pemusnahan” budaya lawan secara mendasar. Permasalahan hukum tidak hanya berhubungan dengan makin melemahnya keadilan, jaminan kepastian dan perlindungan hukum saja, melainkan sudah berkembang ke arah mafia peradilan, dan sebagainya.
Keempat, menguatnya prinsip-prinsip kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi, cenderung melahirkan watak bangsa yang asing terhadap budayanya dan asing terhadap dirinya sendiri. Akibatnya, manusia hidup di tengah keberpura-puraan. Hidup di tengah seolah-olah. Seolah-olah benar padahal salah, seolah-olah jujur padahal menipu, seolah-olah menolong padahal menjerumuskan, seolah-olah adil padahal dhalim, seolah-olah pintar padahal bodoh, seolah-olah maju padahal terbelakang, dan sebagainya. Perilaku sebagian warga masyarakat bersifat temperamental, garang, brutal, mudah merusak, melakukan huru-hara dan kekerasan, persekongkolan jahat dalam berpolitik, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, penyimpangan pemikiran, sikap dan perilaku, dan sebagainya.
Kelima, permasalahan-permasalahan tersebut pada hakikatnya bersumber pada lemahnya akal sehat dan kepribadian manusia. Dalam kondisi inilah diperlukan penataan kembali program pembangunan karakter bangsa, melalui program pendidikan karakter, pembangunan ekonomi, politik, hukum, budaya dan peningkatan kualitas clean goverment (pemerintahan yang bersih ) dan good governance (tatakelola pemerintahan yang baik). Dengan demikian, pendidikan karakter hanya merupakan bagian dari pembangunan karakter bangsa.
Permasalahan-permasalahan  itulah yang memperkuat alasan pentingnya menumbuhkan kembali pendidikan karakter bangsa. Pendidikan ini tidak hanya menjadi urusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi merupakan tanggungjawab masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan karakter bangsa sebaiknya dikembangkan sejak dini, baik melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah maupun di lingkungan keluarga (informal) juga di lingkungan masyarakat umum melalui proses pendidikan non formal.

F.        Metode dan Landasan Pengembangan Karakter
Adapun metode pengembangan karakter menurut Prof. Dr. Achmad, MPA[1] selaku Direktur Pasca Sarjana Uninus antara lain dengan metode pendidikan melalui keteladanan, pengasuhan dan pembiasaan, pelatihan, partisipasi dalam kegiatan, ganjaran dan hukuman. Di samping itu beberapa indikator yang dapat membentuk masyarakat muslim yang berkarakter adalah masyarakat taat agama yang menjadikan dunia sebagai alat untuk mengumpulkan perbekalan akhirat.
Masyarakat yang menjadikan kenikmatan sebagai alat untuk menitipkan diri kepada Allah SWT dengan cara membangun kehidupan yang bermakna dan bermanfaat, menghindari perbuatan dosa dan kemaksiatan serta menumbuhkan sikap saling mengingatkan, saling menolong dan saling menitipkan diri. Masyarakat muslim adalah masyarakat taqwa yang menjadikan iman, amal shaleh dan keikhlasan sebagai fondasi hidupnya.
Adapun landasan dan rujukan pada sistem nilai karakter dapat diidentifikasi dan tersusun sebagai driving force secara menyeluruh dan bisa dipertanggung jawabkan, yaitu:[2]
1.         Nilai-nilai teologik atau ketuhanan yang Maha Esa
2.         Nilai-nilai fisik-fisiologik
3.         Nilai-nilai etik
4.         Nilai-nilai estetik
5.         Nilai-nilai logik, rasional
6.         Nilai-nilai teleologik
Dengan demikian,maka tugas dan peran fungsional dari pendidikan karakter bagi para pembelajar adalah supaya menyadari, memahami dan mengembangkan  sistem nilai-nilai itu, di dalam konteks sosial budaya dan lingkungan alamnya yang relevan. Dengan bantuan konsep-konsep ilmu psikologi dan lainnya, bahan belajar berikut tujuan spesifiknya disesuaikan dengan berbagai tahap dan tingkat kedewasaan para peserta didik yang bersangkutan.

G.      Indikator Pengembangan Karakter
Dengan demikian beberapa indikator Karakter masyarakat muslim menurut Dedi Mulyasana dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.         Beriman dan Bertaqwa pada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. QS 3 Ali-Imron 102).
2.         Takut pada Allah SWT, Bersikap sederhana dan Berlaku adil, Nabi saw bersabda: Tiga perkara yang dapat menyelamatkan (dari siksaan Allah SWT Ta’ala) yaitu: Takut kepada Allah SWT dalam keadaan tersembunyi dan dalam keadaan ramai; Berlaku sederhana pada waktu kaya dan saat fakir; Berlaku adil pada waktu senang dan ketika marah  (HR. Al Bazzar, Thabrani)
3.         Pemberi manfaat bagi sesame, Nabi saw bersabda bahwa, sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. 
4.         Gemar mencari Ilmu, Nabi saw bersabda bahwa, Mencari ilmu itu diwajibkan bagi semua muslim dan musliman sejak buaian ibu sampai meninggal dunia”. Artinya kaum muslimin yang tidak mencari ilmu hukumnya dosa. Seorang anak, kakek-kakek,  nenek-nenek, guru, dosen, santri, kyai atau pejabat yang mengaku dirinya muslim, hukumnya wajib mencari ilmu. Mereka berdosa apabila meninggalkan kewajiban tersebut.
5.         Pekerja Keras, Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, (QS. Alam Nasyroh: 7).
6.         Bermotif mencari ridho Allah SWT, Nabi SAW bersabda: Kelak pada hari kiamat akan didatangkan beberapa buku yang telah disegel (catatan amal harian dari Malaikat Raqib dan ‘Atid), lalu dihadapkan kepada Allah SWT (pada waktu itu) Allah SWT berfirman: “Buanglah ini semuanya” Malaikat berkata: “Demi kekuasaan Engkau, kami tidak melihat di dalamnya melainkan yang baik-baik saja”. Selanjutnya Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya isinya ini dilakukan bukan karena-Ku dan Aku sesungguhnya tidak akan menerima kecuali apa-apa yang dilaksanakan karena mencari keridhoan-Ku” (HR. Bazzar dan Thabrani).
7.         Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, mencinta sesama manusia dan benci melakukan kemaksiatan, Nabi saw bersabda: “Tiga perkara yang apabila dimiliki oleh seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman. Yakni mencintai Allah SWT dan Rosul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lain; mencintai orang lain semata-mata hanya mencari keridhaan Allah SWT; dan merasa benci mengulangi perbuatan maksiat sebagaimana dia merasa benci dibuang ke dalam siksa neraka (HR. Bukhari). Saling mencintai karena Allah SWT.  Sahabat Ibnu Umar RA berkata, bahwa Nabi Saw telah bersabda: “Di antara hamba-hamba Allah SWT ada sekelompok manusia yang mereka bukan nabi dan bukan pula syuhada, tapi mereka mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT sejajar dengan para nabi dan para syuhada. Lalu para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, khabarkanlah kepada kami, siapakah mereka itu ? Jawab Rasulullah: “Mereka adalah sekelompok orang yang saling memadu kasih karena Allah SWT, bukan karena kekerabatan dan bukan karena (motivasi) materi. Demi Allah SWT, wajah mereka bersinar bagaikan cahaya, bahkan mereka adalah cahaya di atas cahaya. Mereka tidak pernah takut ketika umat manusia dilanda perasaan takut”. Lalu Rasulullah Saw membaca ayat: “Dan ingatlah, bahwa para kekasih Allah SWT tidak akan pernah dilanda perasaan takut dan tidak pernah pula dilanda perasaan sedih” (HR. Abu Dawud).
8.         Mencari dunia untuk akhirat, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS Al-Qhashas : 77).
9.         Berjiwa penolong dan Pemberi Kemudahan, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya. (QS 5 AL-Maidah : 2). Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menolong orang mumin dari suatu kesusahan dunia, maka Allah SWT akan menghilangkan baginya kesusahan kelak di hari kiamat, dan barangsiapa memudahkan orang mukmin yang sedang berada dalam kesempitan (ekonomi), maka Allah SWT akan memudahkan kehidupannya di dunia dan di akhirat. Allah SWT selalu menolong hamba-Nya, selama dia menolong saudaranya. Barang siapa malas beramal, maka Allah SWT akan memperlambat dalam hasil kasabnya (HR Muslim).
10.     Berjiwa stabil (tidak cemas thd sesuatu yang hilang dan tidak terlalu gembira thd apa yang diperoleh), “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid 23). 
11.     Menjadi sumber ketentraman bagi sesama, Sahabat Anas bin Malik RA berkata, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Yang dikatakan orang mukmin adalah orang yang bisa membuat ketentraman terhadap sesama manusia (lingkungannya ) (HR. Ahmad, Abu Ya’la).
12.     Ucapan dan Perbuatannya tidak merugikan orang lain, Nabi saw bersabda: “Yang dikatakan orang muslim adalah orang yang ucapan dan perbuatannya tidak merugikan kepada sesama manusia yang berada dalam lingkungan masyarakat, tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya belum bisa merasa tentram karena berdekatan dengannya (HR. Ahmad, Abu Ya’la).
13.     Saling mengingatkan dan saling menitipkan diri, (watawa shaubil haq watawa shaubis-shobr – ta’awanu ‘alal birri wataqwa)
14.     Bersikap toleran terhadap sesama (Tassamuh), Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku"  (QS Al-Kaafiruun: 6).
15.     Pemaaf dan penyambung silaturahmi, Bersabda Nabi SAW Kepada Uqbah bin Amir R.A: "Wahai Uqbah! Maukah engkau ku beritahu budi pekerti ahli dunia dan akhirat yg paling utama? Yaitu: Melakukan silaturrahim (Menghubungkan kekeluargaan dengan orang yang telah memutuskannya), memberi pada orang yang tidak pernah memberimu dan memaafkan orang yang pernah menganiayamu), (Ihya Ulumuddin 111; Hal 158).
16.     Masyarakat Sholeh, (QS. Ar-Ro’du : 20-24)[3]

Teori tentang Pendidikan Bergaya kepemimpinan (Sauri S. 2006). Pemimpin yang baik harus memberikan keteladanan dalam berhasa santun Benar, Jujur, Baik, Lurus, Halus, Sopan, Pantas, Penghargaan, Khidmat, Optimisme, Indah, Menyenangkan, Logisi, Fasih, Terang, Menyentuh Hati, Selaras, Mengesankan, Tenang,Efektif, Dermawan, Lemah lembut, Rendah hati.




H.      Penutup
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Terkait dengan sejumlah konsep dan permasalahan sebagaimana dikemukakan pada bagian atas tulisan ini, perlu dilakukan berbagai upaya sehingga pendidikan karakter mampu mempersiapkan masa depan bangsa yang bermutu dan bermartabat. Upaya tersebut antara lain:
1.         Kebijakan pendidikan lebih menitikberatkan pada kebutuhan belajar dari sekedar mengutamakan tertib administrasi.
2.         Pendidikan karakter adalah pendidikan akhlak mulia yang berorientasi pada realita, tuntutan perubahan dan tantangan masa depan. Oleh karena itu, landasannya adalah keimanan, keilmuan, amal shaleh dan keikhlasan
3.         Ukuran keberhasilan belajar / mengaji tercermin dalam semangat menata masa depan atas dasar ketatan pada Allah SWT dan Rosul-Nya.
4.         Proses pembelajaran/ mengaji tidak sekedar mentransfer sejumlah informasi, teori dan ilmu pengetahuan keagamaan semata, tapi lebih ditekankan pada pembentukan spirit, motivasi dan budaya mutu
5.         System pembelajaran/ mengaji yang menggunakan pola sorogan dan bandungan tidak sekedar menekankan pada hapalan semata tapi dikembangkan menjadi system yang mampu mengembangkan potensi dan jati diri santri secara utuh.
6.         Konsep-konsep keagamaan yang bersumber dari wahyu dan hadits Nabi saw harus dijadikan sebagai pedoman dalam mengembangkan Teori-teori dan konsep dalam pengembangan pendidikan karakter




DAFTAR PUSTAKA

1.      Dedi Mulyasana (2006) Pancasila dan Amandemen Uud 1945, Universitas Islam Nusantara, press. Bandung
2.      Dedi Mulyasana (2010) Guru, Problematika Pendidikan Dan Pembangunan Karakter Bangsa, PPs Press Bandung
4.      Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama .  Jakarta
5.      Darmiyati Zuchdi. 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
6.      Firdaus M Yunus. 2004. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial: Paulo Freire dan YB Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Press.
7.      Magnis Suseno, Franz. 1998. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius.
8.      Pungky Setiawan. 2001. ”Metode Klarifikasi Nilai Dalam Pendidikan Budi Pekerti”. Kompas Edisi Senin 22 Januari 2009.
9.      Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Aktualisasi Pendidikan Karakter Bangsa dalam Rangka Memperingati Dies natalis Universitas Pendidikan Indonesia ke-56 tanggal 15 November 2010 di Auditorium Sekolah Pascasarjana UPI bandung
10.  Adnan, Zainal Arifin. 2010. “Pembangunan Karakter dalam Perspektif Agama”. Makalah Seminar Internasional, 10 November 2010 di FKIP UNS.
11.  Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.


[1] Hasil Wawancara penulis dengan Prof.Dr.Achmad, MPA selaku Direktur PascaSarjana Uninus, tanggal 8 April 2011 di Ruang Direkttur Pasca sarjana Uninus Lantai 2
[2] Achmad Sanusi, Perilaku, Kepribadian, Karakter dan Sistem Nilai (Beberapa Implikasinya Bagi Pendidikan), 3 maret 2011, hal. 2
[3] Dedi Mulyasana (2010) Guru, Problematika Pendidikan Dan Pembangunan Karakter Bangsa, PPs Press Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar