PENDIDIKAN KARAKTER DI
PONDOK PESANTREN
M
IHSAN DACHOLFANY
A.
Pendahuluan
Perilaku manusia pada mulanya didorong
oleh keinginan untuk mamaksimalkan terpenuhinya berbagai kepentingan hidup.
Kepentingan setiap orang pada umumnya
bersifat kompleks dan tak terukur. Semakin hari kepentingan manusia semakin
bertambah, sementara kemampuan manusia semakin hari semakin berkurang. Kondisi
itulah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan. Kesenjangan yang makin
bertumpuk akan menjadi faktor pendorong timbulnya perilaku jalan pintas. Kesenjangan
itu sumber konflik yang dapat menimbulkan stres dan depresi. Orang yang selalu
berbenturan dengan konflik cenderung melakukan jalan pintas dengan
“menghalalkan” berbagai hal.
Kondisi yang demikian akan semakin parah
apabila menimpa pada orang yang jauh dari agama dan jauh dari perasaan takut
pada Allah SWT. Orang yang tidak takut pada Allah SWT seolah tidak ada
penghalang bila mereka melakukan kemasiatan dan kedholiman. Terlebih apabila di
dalam dirinya tidak tertanam bibit iman. Orang-orang yang jauh dari Allah SWT
dan tidak merasa takut pada Allah SWT serta tidak merasa diawasi oleh Allah
SWT, umumnya adalah orang-orang pencinta dan pengagum dunia yang terkadang
mempertuhan harta benda dan kenikmatan dunia. Kehidupan orang-orang seperti itu
rentan kena stres dan depresi. Hidupnya serba melelahkan dan penuh ketakutan.
Takut akan hari esok, takut kehilangan harta, takut kehilangan dunia, takut
kehilangan hak dan takut mati. Padahal Allah SWT mengingatkan bahwa : “(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang sombong
lagi membanggakan diri” (QS Al-Hadid 23).
Masyarakat yang dihantui oleh ketakutan,
cenderung bersikap negative thinking atau suudhon pada orang lain. Sikap inilah yang menjauhi
seseorang dari persaudaraannya dengan orang lain. Mereka hidup di seolah-olah.
Seolah-olah benar padahal salah, seolah-olah baik padahal tidak sopan,
seolah-olah penolong padahal menjerumuskan, dan sebagainya. Atas dasar itu perlu disusun suatu konsep pendidikan
karakter yang mencerminkan akhlakuk karimah . dengan pendidikan tersebut
diharapkan masyarakat memahami apa, mengapa dan bagaimana menjalankan tugas
hidup dan kehidupan secara benar serta memahami akan ke mana manusia kembali.
Pendidikan karakter menjadi sangat
penting untuk diwujudkan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia dan pendidikan di Indonesia. Dengan banyaknya fenomena
karut marutnya sistem manajemen diri dan perilaku anak-anak bangsa di Indonesia
akhirnya upaya pembentukan karakter menjadi bahan diskusi yang luar biasa.
Upaya pembentukan karakter ini sudah dilalkukan sejak zaman dahulu tetapi belum
kelihatan hasilnya secara signifikan. Dengan dasar tersebut, perlu dilakukan
revitalisasi pada paradigma mendidik yang berkarakter bagi generasi penerus
bangsa, khusunya bagi guru dan dosen. Dengan terbentuknya karakter yang kuat
bagi guru dan dosen diyakini akan mampu menjadi insipartor bagi peserta
didiknya di sekolah dan kampus untuk mewujudkan pendidikkan karakter di
Indonesia
Meskipun pesantren
memiliki otonomi yang tegas, namun pesantren tidak pernah melepaskan diri dari dinamika komunitas di
luarnya. Fungsi utama pesantren dalam bidang pendidikan, terbukti juga berperan
dalam bidang sosial kemasyarakatan dan politik, misalnya pesantren berperan
dalam melahirkan tokoh-tokoh perjuangan di Indonesia. Pesantren juga menjadi
wadah dan lambang perjuangan rakyat.
Pesantren sebagai
lembaga yang mencetak kader-kader umat untuk siap terjun
ke masyarakat, berdakwah dan mensosialisasikan misi dan visi agama Islam dan
yang utama mengenai pokok ibadah dan sosial. Sebagai lembaga pendidikan,
pesantren juga melibatkan diri dengan perubahan masyarakat di Indonesia. Untuk
itulah pesantren secara lambat laun merubah dirinya serta merespon sesuai
dengan perubahan lingkungan atau masyarakat.
B.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan
karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan
di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi
serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud
dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan
karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah,
yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar
sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra
sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia,
apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan
pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di
sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik.
Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai
serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan
internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan
karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design
pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan
pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development), Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan
dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand
design tersebut.
Pendidikan karakter
bukanlah pengajaran ilmu pengetahuan tentang karakter bangsa yang dilakukan
dengan cara menghapal fakta-fakta dan peristiwa semata. Bukan pula hanya
sekedar proses mentransfer ilmu, konsep dan teori semata. Juga bukan sekedar
proses pembelajaran nilai yang menenkankan pada hapalan dan angka-angka. Akan tetapi, pendidikan karakter pada hakikatnya adalah proses pembentukan
jati diri manusia yang dilakukan dengan cara membangun kualitas logika, akhlak
dan keimanan. Pembentukannya diarahkan pada proses pembebasan manusia dari
ketidakmampuan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidakadilan dan dari buruknya
akhlak dan keimanan. Dengan proses tersebut diharapkan terbentuk jati diri manusia yang berwatak, berakhlak, dan bermartabat.
Pendidikan karakter
merupakan proses penularan nilai-nilai luhur bangsa yang dilakukan dengan cara
membangun logika, akhlak dan keimanan, diselenggarakaan melalui pendekatan
keteladanan, kecintaan, perhatian dan kasih sayang. Ini dimaksudkan untuk
merangsang tumbuhnya empati, simpati, kesadaran dan tanggungjawab peserta didik
sehingga mereka dapat hidup harmonis di tengah keragaman dan perbedaan. Dikemas
dengan cara memberikan pengalaman langsung kepada para peserta didik agar
mereka dapat melihat, mengetahui, merasakan, dan mengalami langsung tentang
suatu peristiwa yang akan ditularkan.
Pendidikan tersebut
diharapkan mampu mendorong terciptanya masyarakat
yang tertib, teratur, ramah tamah, mengutamakan kebersamaan, gotong
royong dengan memperhatikan prinsip-prinsip toleransi dan kesantunan juga
dikembangkan melalui sikap saling memahami, saling bekerjasama dan saling
menitipkan diri. Pendidikan tersebut dilangsungkan di lingkungan
keluarga, masyarakat dan sekolah. Penyelenggaraannya bersifat aplikatif dengan memperhatikan tujuan dan
program yang jelas dan terukur hasilnya. Kebijakan pendidikan yang
berpedoman pada pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi dengan titik berat
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, berpeluang besar menciptakan proses
pendidikan karakter secara efektif.
Menurut bahasa, character
adalah watak atau sifat.characteriscally adalah watak yang khas dimiliki
dan melekat pada seseorang. Temperamen adalah kombinasi dari sifat-sifat
bawaan sejak lahir yang diantaranya melekat dalam tipe kepribadian Sanguin,
Kolerik, Melankolis dan Plegmatis. Kepribadian adalah gambaran ekspresi
dari karakter yang telah melembaga.
G. Allport memandang bahwa, “Kepribadian adalah organisasi dinamis di
dalam individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisik yang menentukan
tingkah-laku dan pikirannya secara karakteristik dalam menyesuaikan diri
terhadap lingkungan.“ sedangkan watak (character) dan kepribadian (personality)menurutnya
merupakan sesuatu yang sama, namun
apabila ditinjau dari sudut yang bersifat normatif maka yang paling tepat
adalah menggunakan istilah “watak”; tapi bila ingin menggambarkan apa adanya
lebih tepat dipakai istilah “kepribadian.” Dalam konteks itu. karakter dapat
diartikan sebagai jati diri yan sebenarnya.
Dalam hal lain Allport memandang
bahwa, “Temperamen adalah gejala karakteristik daripada sifat emosi
individu, mudah-tidaknya terkena rangsangan emosi, kekuatan
serta kecepatannya bereaksi, fluktuasi dan intensitas suasana hati. Gejala
ini bergantung pada faktor hormon yang diturunkan.” Sedangkan G. Ewald
menyatakan bahwa, “Temperamen
bergantung pd konstelasi hormon. Dan konstelasi hormon itu bersifat tetap
seumur hidup. Karena itu temperamen itu bersifat tetap seumur hidup dan tak mengalami perubahan dan perkembangan”.
Sedangkan watak, walaupun pada dasarnya telah ada tetapi
masih mengalami pertumbuhan atau perkembangan.Watak sangat bergantung
pada faktor-faktor eksogen (lingk. pendidikan, pengalaman, dsb)
Apabila dikaitkan dengan konsep
bangsa, maka karakter bangsa adalah karakter Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Artinya mengkaji karakter bangsa, tak lepas dari konsep pembentukan masyarakat
yang berke-Tuhanan YME, yang tercermin dalam nilai-nilai kemanusiaan dan
keadaban, persatuan dan kesatuan bangsa, demokratisasi dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut ditempatkan sebagai fondasi bagi
berkembangnya jati diri bangsa yang hidup di tengah keragaman dan perbedaan.
Sejalan dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman dan perbedaan budaya, agama, suku,
daerah, dan golongan, maka perlu terus dibangun semangat Bhineka Tunggal Ika,
yakni semangat, “Bersatu dalam ragam” . Semangat tersebut akan mendorong tumbuhnya iklim kehidupan yang harmoni di tengah
perbedaan dan keragaman. Itulah inti dari semangat kebangsaan (nasionalisme).
Semangat itulah yang akan
mencerminkan karakter bangsa. Apabila dihubungkan
dengan tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan karakter diarahkan pada :
(1) pengembangan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) berkembangnya
manusia yang beriman dan bartqwa kepada Tuhan YME; (3) berakhlak mulia; (4)
sehat; (5) berilmu (6) cakap; (7) kreatif;
(8) mandiri; (9) demokratis (10)
bertanggungjawab.
Dalam sambutannya pada Hardiknas 11
Mei 2010 di gedung Istana Negara, Presiden SBY mengemukakan ciri-ciri karakter bangsa, yang baik antara lain: (1)
Berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti yang luhur, (2) berjiwa mandiri, (3)
memiliki keyakinan diri, (4) bersikap ulet, (5) tegar, (7) tidak mudah
menyerah, (8) toleran, (9) semangat (kebangsaan), (10) bersikap otpimis, (11)
kemampuan berpikir positif dan menghasilkan energi positif.
Dalam pandangan lain bahwa terdapat
sembilan pilar karakter yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain: (1) responsibility
(tanggung jawab); (2) respect (rasa hormat); (3) fairness (keadilan);
(4) courage (keberanian); (5) honesty (kejujuran); (6) citizenship
(kewarganegaraan); (7) self-discipline (disiplin diri); (8) caring
(peduli), dan (9) perseverance (ketekunan). sumber: www.google.com
C.
Pesantren Sebagai Pusat
Pendidikan Karakter
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia telah terbukti banyak melahirkan para pejuang
dan pahlawan nasional. Pesantren mempunyai andil besar dalam mempersiapkan masa
depan bangsa. Orang-orang besar, baik itu ilmuwan, pejuang, pahlawan dan atau
penyelenggara negara dan pemerintahan umumnya pernah mengalami sentuhan
pendidikan di pesantren.
Atas dasar itu, perlu dikaji secara mendalam ada
apa dengan pesantren ? mengapa pesantren
mampu melahirkan orang-orang besar di tatar nasional bahkan internasional ?
1.
Pesantren
didirikan, dibentuk dan diselenggarakan oleh keikhlasan kyai/ ulama. Oleh
karena itu, motifnya bukan materi atau kekuasaan. Motifnya adalah ibadat untuk
memperoleh ridho Allah SWT swt.
2.
Pesantren
dibesarkan oleh kepercayaan masyarakat yang dengan kepercayaan tersebut
masyarakat memberikan dukungan material dan spiritual secara penuh.
3.
Program pembelajaran di pesantren diarahkan
pada terbentuknya pribadi santri yang taat pada Allah SWT, berjiwa mandiri, dan
memberikan manfaat bagi sesama.
4.
Proses
pembelajarannya dilakukan melalui pola sorogan dan bandungan. Sorogan merupakan
pola pembelajaran individual dimana para santri datang ke kyai/ ustadz secara
perseorangan. Dengan pola itu, kyai yang menentukan berapa banyak materi yang
diajarkan disesuaikan dengan tingkat kemampuan masing-masing santri. Pola
sorogan mirip dengan proses pembelajaran
yang menggunakan pola mastery learning (belajar tuntas). Sedangkan
sistem bandungan ialah sistem pembelajaran yang menggunakan sistam klasikal
dimana pengajian diikuti oleh umum dengan membahas kitab yang sama.
5.
Kyai
memerankan diri sebagai pelayan belajar yang bertugas membantu kesulitan
belajar para santri. Dengan demikian kyai mengajar dengan teladan
6.
Pesantren
tidak mengotori jiwa dan pikiran santri dengan angka-angka dan ijasah, karena
itu proses pengajiannya diarahkan pada kualitas jati diri dan kematangan
kepribadian santri.
7.
Pendidikan
di pesantren didisain untuk mencetak santri-santri yang jujur, benar, ahli
ibadah, menjauhi kemunkaran/ kemaksiatan, dan bermanfaat bagi sesama.
Oleh karena itu, proses pendidikan di pesantren
diarahkan pada pembentukan kualitas iman, logika dan akhlak. Terkait dengan
itu, pembangunan pendidikan di lingkungan pondok pesantren tidak sekedar
membangun fasilitas belajar semata karena yang lebih penting adalah melakukan
proses pembentukan kualitas jati diri dan kematangan keperibadian santri secara utuh dan total.
Pimpinan pondok pesantren meyakini bahwa
pendidikan kepribadian jauh lebih penting dari sekedar mentransfer sejumlah
teori atau konsep-konsep ilmu pengetahuan. Namun demikian, tidak berarti bahwa
di lingkungan pesnatren tidak diajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan. Konsep
itu diberikan, tapi bukan sebagai tujuan, tapi sebagai sarana untuk membentuk
kualitas kepribadian santri.
Berhasil tidaknya program
pendidikan karakter bangsa tidak diukur dari meningkatknya jumlah lulusan dan
angka-angka dalam ijasah seperti di pendidikan formal, tapi ukuran keberhasilan
pendidikan karakter adalah meningkatnya kematangan kualitas peserta didik yang
berakhlak mulia. Oleh sebab itu, pendidikan
karakter di lingkungan pondok pesantren memang didisain untuk mencetak
manusia-manusia yang beriman, ahli ibadah, jujur, cerdas, benar, bermanfaat,
adil, dan berkeadaban.
Proses pembelajarannya ditekankan pada peningkatan kualitas
proses. Dengan demikian diyakini bahwa,
kyai tidak pernah takut para santri dan alumninya menganggur, yang ditakuti
oleh kyainya adalah ketika santri dan para alumninya tidak bermanfaat bagi
masyarakat. Boleh takut pada buruknya angka-angka dalam ijasah, tapi takutlah pada
sikap, pemikiran dan perilaku peserta didik yang buruk. Guru boleh gagal dalam melaksanakan sebagian
tugasnya, namun guru tidak boleh kehilangan keperibadian
dan teladan. Untuk meningkatkan strategi pembelajaran dalam pendidikan karakter di lingkungan pesantren, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
Kyai mengupayakan terciptanya
suasana lingkungan belajar yang mendorong para santri merasa dirinya penting, berharga, berkemampuan dan
bermartabat.
2.
Penyelenggaraan pendidikan
karakter dilakukan melalui proses penularan
nilai-nilai luhur
3.
Pendidikan karakter dikembangkan
melalui pendekatan keteladanan dan kepribadian unggul yang dilakukan dengan
penuh kecintaan, perhatian dan kasih sayang dari dari kyai/ ustadznya.
4.
Proses pembelajaran/ pengajian
dilakukan dalam suasana belajar yang demokratis, terbuka, hangat, dinamis dan
menyenangkan.
5.
Mengajar itu bukan
mendemonstrasikan kemampuan ustadz/ guru di hadapan peserta didik, tapi
mengajar itu membantu kesulitan belajar peserta didik. Karena itu, ajari mereka
sesuai tingkat kemampuan, minat,kecepatan belajar dan gaya belajarnya.
6.
Selalu
belajar dari kesalahan dan kegagalan dalam proses pembelajaran, serta tidak
melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang yang telah gagal dalam
mendidik.
7.
Menghargai sekecil apapun pandangan, pendapat dan kreativitas peserta didik,
serta tabu melakukan penghinaan yang dapat menurutkan semangat dan motivasi
belajar peserta didik
Di bawah ini dikemukan beberapa konsep tentang
pendidikan karakter bangsa yang dikembangkan di pesantren, antara lain bahwa :
1.
Pendidikan
karakter mengacu pada nilai-nilai akhlakul
karimah yang berasaskan keimanan, keilmuan, amal shaleh dan keikhlasan.
2.
Di lingkungan masyarakat luas atau bangsa Indonesia,
pendidikan karakter mengacu pada nilai-nilai luhur bangsa (Pancasila
dan Bhineka Tunggal
Ika) yang perilakunya tercermin
dalam perilaku keimanan, kejujuran,
keadilan, kemanusiaan, semangat kebangsaan, toleransi, dsb
3.
Arah dan kebijakan pendidikan
berorientasi pada tuntutan dan tantangan masa depan, dan bukan sekedar merujuk pada kepentingan sesaat yang bersifat
kuantitatif ,
4.
Menggunakan
pendekatan keteladanan, dimana pendidikan karakter diajarkan dan diaplikasikan
melalui contoh yang baik. Guru dan lingkungan (keluarga dan masyarakat) harus
berperan sebagai teladan yang patut dicontoh,
5.
Proses pendidikan/ pengajiannya tidak terjebak pada
transfer pengetahuan semata, tapi diarahkan pada proses pembentukan jati diri
manusia. Yang benar adalah pendidikan keimanan dan bukan pengajaran ilmu
pengetahuan tentang keimanan; yang benar adalah pendidikan kemanusiaan bukan
pengajaran ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan. Yang benar adalah Pendidikan keadilan, dan bukan pengajaran
ilmu pengetahuan tentang keadilan, dst.
6.
Ciptakan
suasana yang mendorong para siswa/ santri
/ bangsa
merasa dirinya penting, berharga dan terhormat,
7.
Diarahkan
pada pembentukan semangat kebangsaan yang lebih mengutamakan keutuhan,
kebersamaan dan persatuan, serta menghindarkan
konflik dan perpecahan,
8.
Menggunakan
metode yang dapat menumbuhkan suasana yang menyenangkan serta dapat merangsang
tumbuhnya semangat, motivasi,disiplin, keuletan, kejujuran dan kepercayaan
diri,
9.
System
evaluasi tidak merujuk pada sesuatu yang bersifat kognitif semata, tapi lebih
bersifat utuh, komprehensif dan mendalam.
10. Pendidikan karakter tidak menekankan pada
hapalan tapi lebih mengutamakan pada lingkungan dan suasana yang patut
diteladani.
11. Pendidikan karakter yang dikembangkan
dengan merujuk pada pendidikan nilai, dilakukan melalui praktik hidup
keseharian dan latihan demi latihan.
D.
Pentingnya Pendidikan
Karakter
Mengkaji karakter tidak lepas dari
kajian kepribadian, karena kepribadian adalah gambaran ekspresi dari karakter yang telah melembaga.
Terkait dengan itu, Florence Litteur, dalam bukunya “Personality
Plus” membagi kepribadian manusia dalam empat pola, yaitu Sanguin, Kolerik, Melankolis dan Plegmatis.
Sanguinis adalah tipe kepribadian yang cenderung mengutamakan
popularitas. Perilaku yang lain akan dikesampingkan demi popularitas. Sikapnya
bersifat terbuka, emosinya bergejolak, bersifat ekstrim dalam merespons sesuatu
artinya terkadang ia berteriak histeris karena kegirangan, namun dalam sisi
lain ia bisa meratap karena harapan/ keinginannya tidak terpenuhi. Karena itu,
terkadang ia tidak berpikir cermat – cepat menerima atau cepat menolak – tidak
ulet dan kerja terkadang tidak teratur serta berantakan.
Kedua, tipe Melankoli, yakni kepribadian yang cenderung mengutamakan
kesempurnaan dan keteraturan. Bersikap rasional yang lebih menghargai fakta,
data, angka-angka. Dalam menghadapi masalah atau isu-isu ia tidak banyak bicara
namun lebih banyak memikirkan, melakukan analisa dan pertimbangan-pertimbangan.
Isi pembicaraanya adalah apa yang ia pikirkan secara matang.
Ketiga, tipe Koleris,
yaitu kepribadian yang memiliki naluri kuat untuk mengatur dan menertibkan
lingkungan. Ia selalu ingin menjadi pemain yang terkadang tidak menghargai
aturan main. ia menganggap bahwa dirinyanyalah yang mampu mengatasi berbagai
hal (orang kuat). Ia senang berpetualang dan menyenangi tantangan. Ia yakin dengan pandangannya dan
ia buktikan keyakinannya itu dalam bentuk tindakan yang tanpa menyerah dan
tidak mau kalah.
Keempat, Phlegmatis, yaitu
kepribadian yang lebih mencintai kedamaian dan berusaha menghindari terjadinya konflik.
Ia bersikap moderat yang selalu berusaha mencari solusi untuk damai. Ia rela
berkorban demi kedamaian. Tipe orang ini kurang dinamis, tenang dan menjadi
pendengar yang baik. Ia terkadang tidak senang apabila didorong ke depan, namun
marah apabila didiamkan.
Hasil riset yang dilakukan oleh D. W. Fiske (1949)
yang kemudian diperluas oleh Normandia (1967), Goldberg (1981), dan McCrae
&Kosta (1987), menemukan lima kategori kepribadian yaitu: (1) Conscientiousness yaitu
kepribadian dengan pengertian yang mendalam, sikap berdaya cipta dan sikap keingintahuan, keberhati-hatian;
selalu memberikan penghargaan pada seni,
emosi, petualangan, gagasan-gagasan yang tidak biasa, kecurigaan; dan variasi
pengalaman. (2) Conscientiousness
(ketelitian ). Kepribadian
yang cenderungan menunjukkan disiplin diri, kepatuhan dan
sikap hormat, dan mencoba mencapai prestasi secara terencana dan tidak bersifat
spontan. (3) Extraversion yaitu kepribadian yang mudah dirangsang,
keramahan, banyak bicara, ketegasan, dan emosi yang bersifat ekspresif. (4) Agreeableness yaitu kepribadian bersahabat, sikap mengasihi dan
ingin menghibur, namun bersikap dingin dan terkadang bersikap kejam. Kepercayaan, azas mengutamakan orang lain, kebaikan, kasih
sayang, dan perilaku-perilaku prosocial lain. (5) Neuroticism yaitu keperibadian yang sensitif, gelisah, ketidakstabilan emosi,
ketertarikan, kemurungan, sifat lekas
marah, dan kesedihan.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui
pencapaian indikator antara lain meliputi sebagai berikut:
1.
Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan
tahap perkembangan remaja;
2.
Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3.
Menunjukkan sikap percaya diri;
4.
Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam
lingkungan yang lebih luas;
5.
Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan
golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6.
Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan
sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7.
Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif;
8.
Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai
dengan potensi yang dimilikinya;
9.
Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10.
Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11.
Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12.
Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara
kesatuan Republik Indonesia;
13.
Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14.
Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan
untuk berkarya;
15.
Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan
memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16.
Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan
santun;
17.
Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam
pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18.
Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah
pendek sederhana;
19.
Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20.
Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti
pendidikan menengah;
21.
Memiliki jiwa kewirausahaan.
E.
Pendidikan Karakter
dalam Islam
Masyarakat muslim yang berkarakter
adalah masyarakat taat agama yang menjadikan dunia sebagai alat untuk
mengumpulkan perbekalan akhirat. Masyarakat yang menjadikan kenikmatan sebagai
alat untuk menitipkan diri kepada Allah SWT dengan cara membangun kehidupan
yang bermakna dan bermanfaat, menghindari perbuatan dosa dan kemaksiatan, serta
menumbuhkan sikap saling mengingatkan, saling menolong dan saling menitipkan
diri. Masyarakat muslim adalah masyarakat taqwa yang menjadikan iman, amal
shaleh dan keikhlasan sebagai fondasi hidupnya. (http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/05/11/115140-presiden
akhlak-baik-ciri-karakter-kuat).
Nabi saw
mengingatkan bahwa “Tidak sekali-kali aku diutus ke dunia kecuali untuk
memperbaiki akhlak manusia”. Tugas utama Nabi Muhammad saw diutus ke dunia
adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Mengapa akhlak dipandang penting ?
karena tanpa akhlak sikap, pemikiran dan perilaku manusia cenderung liar,
ganas, tak beraturan dan merugikan sesama. Terlebih menurut teori perilaku
bahwa, “perilaku manusia pada mulanya didorong oleh keinginan untuk
memaksimalkan terpenuhi berbagai kepentingan”.
Dorongan
itulah yang ditengarai akan merusak tatanan kehidupan masyarakat yang
ujung-ujungnya berdampak pada lingkungan yang tidak stabil, tidak harmonis serta
merugikan semua pihak. Mengapa pendidikan karakter dibutuhkan ?
Pertama, makin pesatnya tuntutan perubahan dan tantangan masa
depan, berdampak pada perilaku manusia
sikap, pemikiran dan perilaku manusia yang semakin kompleks yang tercermin
dalam
a.
Dampak
dari gerakan kebebasan, keterbukaan, demokratisasi dan HAM yang berlebihan. Hal itu dapat mengakibatkan melemahkan
budaya bangsa yg bercirikan budaya santun, gotong royong, kebersamaan,
kekeluargaan, toleran, dan s emangat
kebangsaan.
b.
Dampak
dari kompleksitas
perubahan politik yang diwarnai oleh makin menguatnya persekongkolan
politik, perebutan kekuasaan dan “pemusnahan”
karakter lawan.
c.
Permasalahan ekonomi menyangkut masalah
pengangguran, pertumbuhan, pemerataan, kesejahteraan dan daya beli masyarakat yang relatif rendah. Dampak dari
permasalahan ekonomi tercermin dari sikap penghalalan berbagai cara untuk
tercapainya kebutuhan hidup.
d.
Dampak
dari kompleksitas perubahan budaya tercermin perilaku masyarakat yang menggambarkan adanya
gejala disorientasi
budaya lokal dan nasional ke arah budaya global. Akibatnya budaya individualis,
materialis, pragmatis, dan hedonis
semakin menguat, sementara budaya santun, kekeluargaan,
gotong royong dan toleransi semakin melemah.
e.
Dampak
dari menguatnya kompleksitas perubahan hukum yang dilandasi oleh adanya konflik
kepentingan antar pihak-pihak di lingkungan lembaga penegak hukum dan atau di
lingkungan masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan lemahnya
keadilan, jaminan kepastian dan perlindungan hukum saja.
Kedua,
banyak anggota masyarakat yang gagal dalam mengikuti tuntutan perubahan yang
berkembang amat pesat. Padahal kegagalan hidup seseorang pada mulanya
disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan
perubahan. Perubahan yang bergerak secara tak beraturan, mempunyai sifat saling
mengubah, saling bergantung, saling berbenturan, penuh ketidakpastian dan
terkadang mempunyai efek yang saling mematikan antar satu peristiwa dengan
peristiwa yang lainnya. Perubahan tersebut cenderung
mendorong munculnya gejala disorientasi nilai, disharmoni social, disorder
system, dan disfungsi peran dan profesi. System nilai bukan saja menjadi
kabur tapi sudah disalahfungsikan, kehidupan social berkembang ke arah chaos,
peran dan profesi tenaga di lingkungan lembaga pemerintahan dan lembaga
kemasyarakatan akan semakin jauh dari fungsi pokoknya. Akibatnya sistem tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Ketiga, Memasuki
era reformasi, bangsa Indonesia dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang
sangat kompleks. Permasalahan itu tidak hanya menyangkut hal yang bersifat
material belaka, tapi juga sudah berhubungan dengan urusan yang berdimensi
spiritual. Arahnya tidak hanya bersifat linear, tapi sudah berkembang memasuki
lintas aspek. Permasalahan politik, bukan hanya menyangkut perebutan kekuasaan
belaka, tapi sudah berkembang ke arah “pemusnahan” lawan. Permasalahan ekonomi
juga tidak hanya menyangkut masalah pengangguran,
pertumbuhan,
pemerataan, dan kesejahteraan belaka, melainkan sudah berkembang ke arah
penghilangan batas antara yang halal dan yang haram. Permasalahan budaya, tidak
hanya berhubungan dengan kesenjangan antara budaya lokal, regional, nasional
dan global saja, melainkan sudah berkembang ke arah “pemusnahan” budaya lawan
secara mendasar. Permasalahan hukum tidak hanya berhubungan dengan makin
melemahnya keadilan, jaminan kepastian dan perlindungan hukum saja, melainkan
sudah berkembang ke arah mafia peradilan, dan sebagainya.
Keempat, menguatnya prinsip-prinsip kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi, cenderung
melahirkan watak bangsa yang asing terhadap budayanya dan asing terhadap
dirinya sendiri. Akibatnya, manusia hidup di tengah keberpura-puraan. Hidup di
tengah seolah-olah. Seolah-olah benar padahal salah, seolah-olah jujur padahal
menipu, seolah-olah menolong padahal menjerumuskan, seolah-olah adil padahal dhalim, seolah-olah pintar padahal bodoh, seolah-olah maju padahal
terbelakang, dan sebagainya. Perilaku sebagian warga masyarakat bersifat
temperamental, garang, brutal, mudah merusak, melakukan huru-hara dan
kekerasan, persekongkolan jahat dalam berpolitik, penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan, penyimpangan pemikiran, sikap dan perilaku, dan sebagainya.
Kelima, permasalahan-permasalahan tersebut pada
hakikatnya bersumber pada lemahnya akal sehat dan kepribadian manusia. Dalam
kondisi inilah diperlukan penataan kembali program pembangunan karakter bangsa,
melalui program pendidikan karakter, pembangunan ekonomi, politik, hukum,
budaya dan peningkatan kualitas clean goverment (pemerintahan yang bersih
) dan good governance (tatakelola pemerintahan yang baik). Dengan
demikian, pendidikan karakter hanya merupakan bagian dari pembangunan karakter
bangsa.
Permasalahan-permasalahan itulah yang memperkuat alasan pentingnya
menumbuhkan kembali pendidikan karakter bangsa. Pendidikan ini tidak hanya
menjadi urusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi merupakan tanggungjawab
masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan karakter bangsa sebaiknya
dikembangkan sejak dini, baik melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah
maupun di lingkungan keluarga (informal) juga di lingkungan masyarakat umum
melalui proses pendidikan non formal.
F.
Metode dan Landasan Pengembangan
Karakter
Adapun metode
pengembangan karakter menurut Prof. Dr. Achmad, MPA[1] selaku
Direktur Pasca Sarjana Uninus antara lain dengan metode pendidikan melalui
keteladanan, pengasuhan dan
pembiasaan, pelatihan, partisipasi dalam
kegiatan, ganjaran dan hukuman. Di samping itu beberapa indikator yang dapat
membentuk masyarakat muslim yang berkarakter adalah masyarakat taat
agama yang menjadikan dunia sebagai alat untuk mengumpulkan perbekalan akhirat.
Masyarakat yang menjadikan kenikmatan
sebagai alat untuk menitipkan diri kepada Allah SWT dengan cara membangun
kehidupan yang bermakna dan bermanfaat, menghindari perbuatan dosa dan
kemaksiatan serta menumbuhkan sikap saling mengingatkan, saling menolong dan
saling menitipkan diri. Masyarakat muslim adalah masyarakat taqwa yang
menjadikan iman, amal shaleh dan keikhlasan sebagai fondasi hidupnya.
Adapun landasan dan rujukan pada sistem
nilai karakter dapat diidentifikasi dan tersusun sebagai driving force secara
menyeluruh dan bisa dipertanggung jawabkan, yaitu:[2]
1.
Nilai-nilai teologik
atau ketuhanan yang Maha Esa
2.
Nilai-nilai
fisik-fisiologik
3.
Nilai-nilai etik
4.
Nilai-nilai estetik
5.
Nilai-nilai logik,
rasional
6.
Nilai-nilai teleologik
Dengan demikian,maka tugas dan peran
fungsional dari pendidikan karakter bagi para pembelajar adalah supaya
menyadari, memahami dan mengembangkan
sistem nilai-nilai itu, di dalam konteks sosial budaya dan lingkungan
alamnya yang relevan. Dengan bantuan konsep-konsep ilmu psikologi dan lainnya,
bahan belajar berikut tujuan spesifiknya disesuaikan dengan berbagai tahap dan
tingkat kedewasaan para peserta didik yang bersangkutan.
G. Indikator Pengembangan Karakter
Dengan demikian beberapa indikator
Karakter masyarakat muslim menurut Dedi Mulyasana dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1.
Beriman
dan Bertaqwa pada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
SWT sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam. QS 3 Ali-Imron 102).
2.
Takut
pada Allah SWT, Bersikap sederhana dan Berlaku adil, Nabi saw bersabda: Tiga perkara yang
dapat menyelamatkan (dari siksaan Allah SWT Ta’ala) yaitu: Takut kepada Allah
SWT dalam keadaan tersembunyi dan dalam keadaan ramai; Berlaku sederhana pada
waktu kaya dan saat fakir; Berlaku adil pada waktu senang dan ketika marah (HR. Al Bazzar, Thabrani)
3.
Pemberi
manfaat bagi sesame, Nabi
saw bersabda bahwa, sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
sesama manusia.
4.
Gemar mencari Ilmu, Nabi saw bersabda bahwa, “Mencari ilmu itu
diwajibkan bagi semua muslim dan musliman sejak buaian ibu sampai meninggal
dunia”. Artinya kaum muslimin yang tidak mencari ilmu hukumnya dosa. Seorang
anak, kakek-kakek, nenek-nenek, guru,
dosen, santri, kyai atau pejabat yang mengaku dirinya muslim, hukumnya wajib
mencari ilmu. Mereka berdosa apabila meninggalkan kewajiban tersebut.
5.
Pekerja Keras, Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain, (QS. Alam Nasyroh: 7).
6.
Bermotif mencari ridho Allah SWT, Nabi SAW bersabda: Kelak pada hari
kiamat akan didatangkan beberapa buku yang telah disegel (catatan amal harian
dari Malaikat Raqib
dan ‘Atid), lalu dihadapkan kepada Allah SWT (pada waktu itu) Allah SWT
berfirman: “Buanglah ini semuanya” Malaikat berkata: “Demi kekuasaan
Engkau, kami tidak melihat di dalamnya melainkan yang baik-baik saja”.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya isinya ini dilakukan bukan
karena-Ku dan Aku sesungguhnya tidak akan menerima kecuali apa-apa yang
dilaksanakan karena mencari keridhoan-Ku” (HR. Bazzar dan Thabrani).
7.
Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, mencinta sesama manusia dan
benci melakukan kemaksiatan,
Nabi saw bersabda: “Tiga perkara yang apabila dimiliki oleh
seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman. Yakni mencintai Allah SWT dan
Rosul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lain; mencintai orang lain
semata-mata hanya mencari keridhaan Allah SWT;
dan merasa benci mengulangi perbuatan maksiat sebagaimana dia
merasa benci dibuang ke dalam siksa neraka (HR. Bukhari). Saling mencintai karena Allah SWT. Sahabat Ibnu Umar RA berkata, bahwa Nabi Saw
telah bersabda: “Di antara hamba-hamba Allah SWT ada sekelompok manusia yang
mereka bukan nabi dan bukan pula syuhada, tapi mereka mendapatkan kemuliaan di
sisi Allah SWT sejajar dengan para nabi dan para syuhada. Lalu para sahabat berkata:
“Ya Rasulullah, khabarkanlah kepada kami, siapakah mereka itu ? Jawab
Rasulullah: “Mereka adalah sekelompok orang yang saling memadu kasih karena Allah
SWT, bukan karena kekerabatan dan bukan karena (motivasi) materi. Demi Allah
SWT, wajah mereka bersinar bagaikan cahaya, bahkan mereka adalah cahaya
di atas cahaya. Mereka tidak pernah takut ketika umat manusia dilanda
perasaan takut”.
Lalu Rasulullah Saw membaca ayat: “Dan ingatlah, bahwa para kekasih Allah SWT
tidak akan pernah dilanda perasaan takut dan tidak pernah pula dilanda perasaan
sedih” (HR. Abu Dawud).
8.
Mencari dunia untuk akhirat, Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah SWT kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan (QS Al-Qhashas : 77).
9.
Berjiwa penolong dan Pemberi Kemudahan, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan
bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya.
(QS 5 AL-Maidah : 2). Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menolong
orang mumin dari suatu kesusahan dunia, maka Allah SWT akan menghilangkan
baginya kesusahan kelak di hari kiamat, dan barangsiapa memudahkan orang mukmin yang sedang berada dalam
kesempitan (ekonomi), maka Allah SWT akan memudahkan kehidupannya di dunia dan
di akhirat. Allah SWT selalu menolong hamba-Nya, selama dia menolong saudaranya. Barang siapa
malas beramal, maka Allah SWT akan memperlambat dalam hasil kasabnya (HR Muslim).
10.
Berjiwa stabil (tidak cemas thd sesuatu yang hilang dan tidak terlalu gembira thd
apa yang diperoleh), “(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang sombong
lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid 23).
11. Menjadi
sumber ketentraman bagi sesama,
Sahabat
Anas bin Malik RA berkata, bahwa Rasulullah
SAW telah bersabda: “Yang dikatakan orang mukmin adalah orang yang bisa membuat
ketentraman terhadap sesama manusia (lingkungannya ) (HR. Ahmad, Abu Ya’la).
12. Ucapan dan Perbuatannya tidak merugikan orang lain, Nabi saw bersabda: “Yang dikatakan orang
muslim adalah orang yang ucapan dan perbuatannya tidak merugikan
kepada sesama manusia yang berada dalam lingkungan masyarakat, tidak akan masuk
surga seseorang yang tetangganya belum bisa merasa tentram karena berdekatan
dengannya (HR. Ahmad,
Abu Ya’la).
13. Saling
mengingatkan dan
saling menitipkan diri, (watawa shaubil haq watawa shaubis-shobr – ta’awanu
‘alal birri wataqwa)
14. Bersikap
toleran terhadap sesama (Tassamuh), Untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku" (QS Al-Kaafiruun: 6).
15.
Pemaaf dan penyambung
silaturahmi, Bersabda Nabi SAW Kepada Uqbah bin Amir R.A: "Wahai Uqbah!
Maukah engkau ku beritahu budi pekerti ahli dunia dan akhirat yg paling utama?
Yaitu: Melakukan silaturrahim (Menghubungkan kekeluargaan dengan orang yang telah
memutuskannya), memberi pada orang yang tidak pernah memberimu
dan memaafkan orang yang pernah menganiayamu), (Ihya Ulumuddin 111;
Hal 158).
Teori tentang Pendidikan Bergaya
kepemimpinan (Sauri S. 2006).
Pemimpin yang baik harus memberikan keteladanan dalam berhasa santun Benar, Jujur, Baik, Lurus, Halus, Sopan, Pantas, Penghargaan, Khidmat, Optimisme, Indah, Menyenangkan, Logisi, Fasih, Terang, Menyentuh
Hati, Selaras, Mengesankan, Tenang,Efektif, Dermawan, Lemah
lembut, Rendah hati.
H. Penutup
Pendidikan
karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap
mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Terkait dengan
sejumlah konsep dan permasalahan sebagaimana dikemukakan pada bagian atas
tulisan ini, perlu dilakukan berbagai upaya sehingga pendidikan karakter mampu
mempersiapkan masa depan bangsa yang bermutu dan bermartabat. Upaya
tersebut antara lain:
1.
Kebijakan pendidikan lebih
menitikberatkan pada kebutuhan belajar dari sekedar mengutamakan tertib
administrasi.
2.
Pendidikan
karakter adalah pendidikan akhlak mulia yang berorientasi pada realita,
tuntutan perubahan dan tantangan masa depan. Oleh karena itu, landasannya
adalah keimanan, keilmuan, amal shaleh dan keikhlasan
3.
Ukuran keberhasilan belajar / mengaji tercermin dalam semangat menata masa depan atas
dasar ketatan pada Allah SWT dan Rosul-Nya.
4.
Proses pembelajaran/ mengaji tidak sekedar mentransfer sejumlah
informasi, teori dan ilmu pengetahuan keagamaan semata, tapi lebih ditekankan pada pembentukan
spirit, motivasi dan budaya mutu
5.
System pembelajaran/ mengaji yang menggunakan pola sorogan dan
bandungan tidak sekedar menekankan pada hapalan semata tapi dikembangkan menjadi system
yang mampu mengembangkan potensi
dan jati diri santri secara utuh.
6.
Konsep-konsep
keagamaan yang bersumber dari wahyu dan hadits Nabi saw harus dijadikan sebagai
pedoman dalam mengembangkan Teori-teori dan konsep dalam pengembangan pendidikan karakter
DAFTAR
PUSTAKA
1. Dedi Mulyasana (2006) Pancasila dan Amandemen Uud 1945,
Universitas Islam Nusantara, press. Bandung
2. Dedi Mulyasana (2010) Guru,
Problematika Pendidikan Dan Pembangunan Karakter Bangsa, PPs Press Bandung
4. Kemendiknas. 2010. Pembinaan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta
5. Darmiyati
Zuchdi. 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang
Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
6. Firdaus
M Yunus. 2004. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial: Paulo Freire dan YB
Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Press.
7. Magnis
Suseno, Franz. 1998. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius.
8. Pungky
Setiawan. 2001. ”Metode Klarifikasi Nilai Dalam Pendidikan Budi Pekerti”. Kompas
Edisi Senin 22 Januari 2009.
9. Dr.
Muhammad Rohmadi, M.Hum. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dengan
tema “Aktualisasi Pendidikan Karakter Bangsa dalam Rangka Memperingati Dies
natalis Universitas Pendidikan Indonesia ke-56 tanggal 15 November 2010 di
Auditorium Sekolah Pascasarjana UPI bandung
10. Adnan,
Zainal Arifin. 2010. “Pembangunan Karakter dalam Perspektif Agama”. Makalah
Seminar Internasional, 10 November 2010 di FKIP UNS.
11. Hidayatullah,
M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa.
Surakarta: Yuma Pustaka.
[1] Hasil Wawancara penulis
dengan Prof.Dr.Achmad, MPA selaku Direktur PascaSarjana Uninus, tanggal 8 April
2011 di Ruang Direkttur Pasca sarjana Uninus Lantai 2
[2] Achmad Sanusi, Perilaku,
Kepribadian, Karakter dan Sistem Nilai (Beberapa Implikasinya Bagi Pendidikan),
3 maret 2011, hal. 2
[3] Dedi Mulyasana (2010) Guru,
Problematika Pendidikan Dan Pembangunan Karakter Bangsa, PPs Press Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar