EKPEKTASI
MASYARAKAT TERHADAP DOSEN
PERGURUAN
TINGGI
M. Ihsan Dacholfany[1]
1.
Pendahuluan
Dunia perguruan tinggi
merupakan bagian yang sangat urgent dan vital dalam dunia pendidikan, sebab ia
memiliki muatan akademis, pengabdian
kepada masyarakat dan penelitian, dengan harapan ekpektasi masyarakat dalam ruang
lingkup kebutuhan dunia kerja baik di suatu lembaga, perusahaan bahkan negara dapat
terpenuhi, apapun masalah yang sedang dihadapi oleh perguruan tinggi dapat diselesaikan dengan baik dan lancar, maka
eksistensi dosen itu sangat penting dalam upaya mencapai harapan dan cita-cita
perguruan tinggi tersebut, yang tentunya
telah dituangkan dalam visi, misi dan tujuan pada perguruan tinggi.
Dengan demikian sangat dibutuhkan dosen yang profesional dan
ilmuwan serta perlunya pembinaan kepada seluruh dosen, terutama para dosen baru dan masih muda yang perlu arahan dan bimbingan serta nasehat dalam usaha
lebih memaksimalkan peran serta mereka
dalam pencapaian cita-cita perguruan tinggi tersebut yang merupakan
ekpektasi masyarakat luas.
Dosen adalah pendidik yang
merupakan tenaga profesional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi[2]. Menurut UU No 14
Tahun 20105 Pasal 1 bahwa Dosen
adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat [3].
Adapaun Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tentang pengangkatan Dosen Tetap pada Perguruan Tinggi. Dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh
waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan
tinggi tertentu, sementara
itu sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada dosen sebagai tenaga profesional[4].
Dosen merupakan komponen yang
paling esensial dalam dunia pendidikan. Dosen sebagai
jantung perguruan tinggi yang sangat
menentukan kualitas
pendidikan dan alumni yang
dilahirkan oleh perguruan
tinggi dan merupakan
ekpektasi masyarakat, semua tidak lepas dari peran serta
dosen, jika para dosennya berkualitas tinggi, maka kualitas
perguruan tinggi tersebut juga akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Sebaik
apapun program dan rancangan pendidikan
yang dicanangkan, jika tidak
didukung dan dibantu oleh
para dosen bermutu tinggi, maka akan berakhir pada hasil yang tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan dalam
visi, misi dn tujuan dalam sebuah perguruan tinggi.
Dosen yang baik menurut Hartono
adalah yang mempunyai metode pedagogik yang mengena dan tidak pernah dilupakan
oleh mahasiswanya. Peran dosen adalah sebagai produsen atau pelayan karena
memproduksi bahan-bahan pelajaran dan melayani para mahasiswa dengan sepenuh
hati[5]
Berusaha dalam proses menuju
kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (profesionalisasi), pendidik dan
tenaga pendidikan secara bertahap dapat mencapai standar tersebut. Hal itu
ditegaskan dalam kebijakan pemerintah dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005
yaitu berpendidikan akademik S-1 atau D-III / D-IV dan telah lulus Sertifikasi
Pendidikan. Pada dasarnya profesionalisasi merupakan sutu proses
berkesinambungan melalui berbagai program pendidikan dalam jabatan.
Sanusi mengatakan bahwa
seseorang yang memiliki kemampuan untuk kerja
secara baik yang ditunjang oleh pengetahuan (kognitif), komitmen dan sikap
(afektif) terhadap profesi, keterampilan (psikomotor), serta sikap sosial yang
baik, di mana ketiga hal tersebut dibentuk melalui latihan khusus dan memakan
waktu yang relatif lama. Di mana seluruh kemampuan tersebut ditujukan bagi
pelaksanaan dan pengembangan jenis pekejaan[6].
Dosen zaman sekarang bukan lagi menjadi golongan ‘elit’ alias ekonomi
sulit. Tetapi memang menjadi golongan elit dalam strata kelompok masyarakat
yang profesional dan bergaji lumayan. Kalau dulu ‘dosen’ sering diplesetkan
dengan kerjaannya satu ‘dos’ dan penghasilannya satu ‘sen’. Namun sekarang, dosen
setara dengan tenaga profesional lainnya. Dosen setiap bulannya memperoleh gaji
pokok, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi jika sudah lulus sertifikasi
dosen. Bahkan jika dosen sudah Guru Besar, akan memperoleh 2 kali gaji pokok
pada setiap bulannya. Dosen sebagai pendidik profesional tentunya meniscayakan
ada peningkatan dalam hal pembelajaran dan pendidikan yang telah menjadi tugas
pokok dan fungsinya. Bukan sebaliknya dengan gaji yang tinggi tetapi tidak ada
korelasi positif dengan peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikan.[7]
Ada perbedaan
tugas antara guru dan dosen. Guru bertugas menyampaikan ilmu yang sudah ada
kepada siswa, profesi guru lebih menekankan kepada proses mendidik,
mengarahkan, membimbing dan mengevaluasi siswa, lebih utama guru SD/MI sebagai
pemberi pondasi dasar pendidikan bagi siswa, guru SD/MI mengajari siswanya yang
belum bisa menulis menjadi bisa menulis begitu juga membaca serta dari serta
dari yang belum mengenal angka menjadi mahir dalam berhitung.
Sejak lahirnya UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP
RI Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen, seorang dosen telah dipandang sebagai
sebuah profesi. Karena menjalankan dharma pada Perguruan Tinggi, maka pada diri
dosen juga seorang ilmuwan. Dosen yang profesional, yang juga seorang ilmuwan,
sejauh undang-undang menyatakan hal itu, hendak diposisikan sebagai sasaran
kebijakan mutu pendidikan tinggi yang hendak diselesaikan oleh pemerinbtah.
Dosen dianggap sebagai komponen terpenting pendidikan tinggi, yang dianggap
sebagai jalan yang tepat membantu para kaum muda untuk dapat menjadi insan yang
sempurna, yang memiliki ciri cerdas dan kompetitif,[8] sebagaimana harapan dunia pendidikan adalah menjadi pribadi atau sumber daya
manusia yang berkribadian luhur dan kukuh,
pribadi yang berimana dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk sosial yang mampu memanfaaatkan
mengelola dan menjaga kelestarian alam[9]
Dosen adalah sebuah pekerjaan
yang dilakukan oleh para pendidik dan pekerjaan tersebut itu adalah sangat mulia dan
terhormat, dan merujuk pada sistem pendidikan nasional,
yang secara garis besar menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tenaga pendidik
adalah semua pihak yang berperan dan bertugas menjalankan pengajaran, menilai
hasil belajar, penelitian, pengabdian masyarakat dan pendidikan baik sebagai
guru, dosen, konselor, staf pengajar, instruktur, tentor, pelatih, widyaiswara, pamong belajar, fasilitator atau apapun
sebutannya yang pada prinsipnya sama dan tidak dibedakan satu dengan yang lain[10]. Walaupun
masalah kesejahteraan bagi para pendidik sampai saat ini masih menjadi
permasalahan utama. Jika dalam konstitusi dicantumkan cita-cita tanah air untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, maka perwujudan cita-cita luhur tersebut saat
ini ditujukan bahwa pendidikan harus dapat meningkatkan daya saing bangsa
menuju bangsa yang bermartabat di pentas dunia, maka untuk menjadi dosen harus mempunyai tanggungjawab yang besar
dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
untuk membina dan mengembangkan potensi mahasiswa guna mencapai tujuan perguruan tinggi. Pada gilirannya
lulusan perguruan tinggi berpengaruh besar pada masa depan bangsa.
Hal
ini tersurat dalam persyaratan untuk menjadi dosen yakni : Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME Berwawasan Pancasila dan UUD 1945. memiliki kualifikasi sebagai tenaga
pengajar dan mempunyai moral
dan integritas yang tinggi serta memiliki
rasa tanggungjawab yang besar
terhadap masa depan bangsa dan negara[11]. Kebijakan
kebijakan yang menyangkut profesionalisasi pendidik dan tenaga pendidik di antaranya
: Undang- Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen, berbagai
peraturan pemerintah (PP), berbagai Peraturan Mentri (Permen), Peraturan Daerah
(Perda) dan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan.
II. Dosen sebagai Ilmuwan dan Profesional.
Menurut
Fathur Rokhman, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) bahwa dosen mempunyai dua tugas sebagai pendidik
profesional dan ilmuwan. Sebagai pendidik profesional, dosen harus memahami
kurikulum berkompetensi dan konservasi, kreatif dan inovatif dalam merancang
pembelajaran, dapat mengembangkan materi ajar, serta mampu mengevaluasi proses
pembelajaran dan sebagai ilmuwan, dosen juga harus mampu mengembangkan dan
mengaplikasikan ilmunya di masyarakat sehingga dapat menjadi pendidik dengan reputasi di atas rata-rata, sumber daya manusia yang memiliki talenta,
di samping itu, ada tiga kewajiban yang harus dilakukan dosen dengan berusaha
agar mampu menulis buku, membuat artikel di jurnal nasional maupun internasional.[12]
Ilmuwan merupakan profesi,
gelar atau capaian professional yang diberikan masyarakat kepada seorang yang
mengabdikan dirinya pada kegiatan penelitian ilmiah dalam rangka mendapatkan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam semesta, termasuk fenomena
fisika, matematis dan kehidupan sosial dan istilah ilmuwan dipakai untuk
menyebut aktifitas seseorang untuk menggali permasalahan ilmuwan secara
menyeluruh dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja
mereka kepada dunia dan juga untuk berbagi hasil penyelidikan tersebut kepada
masyarakat awam, karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada dipundaknya[13]
Professional mempunyai makna yang
mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan
tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn
profesinya. Penyandangan dan penampilan professional ini telah mendapat
pengakuan, baik segara formal maupun informal. Pengakuan secara formal
diberikan oleh suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu,
yaitu pemerintah dan atau organisasi profesi[14].
Syah
menyebutkan bahwa profesonal (profesional) aslinya adalah kata sifat dari kata profession yang berarti sangat mampu
melakukan pekerjaan. Sebagai kata benda profesional kurang lebih berarti orang
yang melaksanakan sebuah profesi dengan menggunakan profesiensi sebagai mata pencaharian. Sedangkan Sanusi et al.
menyatakan bahwa profesional menunjuk pada dua hal, yaitu : pertama, orang yang
menyandang suatu profesi, kedua, penampilan sesorang dalam melakukan pekerjaan
yang sesuai dengan profesinya dalam pengertian kadua ini, istilah profesional
dikontraskan dengan “ non- profesional” atau” amatiran”[15]
Rochman Natawijaya
(1989;2001:2) mengemukakan ada enam ciri dari suatu profesi, yaitu :
1.
Ada
standar Kinerja yang baku dan jelas.
2.
Ada
lembaga pendidikan yang khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan
jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memadai dan
bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi
tersebut.
3.
Ada
organisasi profesi yang mewadahi para pelakunya untuk mempertahankan dan
memperjuangkan eksistensi dan kesejahtraannya.
4.
Ada
etika dan kode etik yang mengatur perilaku etik para pelakunya dalam
memperlakukan kliennya.
5.
Ada
sistem imbalan terhadap jasa layanan yang adail dan baku.
6.
Ada
pengakuan masyarakat (profesional, petugas, dan awam) terhadap pekerjaan itu
sebagai profesi.[16]
Sahertian mengemukakan dalam
kriteria profesi yang meliputi :
a. Jabatan tersebut harus merupakan suatu
pelayanan yang khas dan esensial, serta dengan jelas dapt dibedakan dari
jabatan-jabatan lain (A unique, definite,
and essential service).
b. Untuk pelaksanaan tidak sekedar diperlukan
keterampilan (skill), melainkan diperlukan
pula kemampuan intelektual (An emphasis
upon intellectual techniques in performing igts service).
c. Diperlukan suatu masa studi dan latiah
khusus yang cukup lama (A long priode of
specialized service).
d. Para praktisnya, secara induvidual maupun
kelompok, memiliki otonomi dalam bidang (A
broad range of outonomy for both the individual paracticooners and the
occupational group as whole).
e. Tindakan dan keputusan dapat diterima oleh
praktisi yang bertanggung jawa (An
acceptance by the practioner of broad personal rsponsibility for judgment made
and act performed within the scope of profesional autonomy).
f. Pelayanan tersebut tidak semata-mata untuk
kepentingan ekonomis (An emphasis upon
the service to be rendered, rather than economic gain to the practioners, as
the basis for the organization and performance of the social service delegated
to the occupational group).
g. Para praktisinya memiliki suatu organisasi
profesonl yang berdiri sendiri
(Acomprehensive self-governing organizational of practioners).
h. Mereka memiliki satu kode etik – yaitu
seperngkat aturan/nilai yang jelas
dan tandas yang mengikat para praktisinya (A code of ethics which has been clarified and interpreted at
cmbiguous and doubtful point by concrete cases[17]).
Adapunn profesi
dosen diharapkan
berusaha semaksimal mungkin agar mampu mentranformasikan dan pengembangan ilmu kepada mahasiswa sehingga
menghasilkan orang-orang yang profesional di bidangnya, maka dari itu dosen
juga mempunya tugas melakukan penelitian yang tujuannya untuk pengembagan ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Walaupun terdapat perbedaan tugas utamanya, tetap saja
guru dan dosen memiliki peran yang sama yaitu menyampaikan ilmu kepada siswa
atau mahasiswa yang dididik. Dalam dunia kampus dikenal dengan istilah Guru
Besar atau Profesor yang merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi dosen,
maka dari itu wajar saja jika dosen disebut juga guru dan juga ikut serta
memperingati dan merayakan hari guru setiap tanggal 25 November.
Sebagaimana ekpektasi
(harapan) masyarakat agar dosen berusaha sebagai pendidik profesional dan menjadi
ilmuwan yang ditugaskan sehingga mampu
mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat[18]. Peran
strategis dosen sebagai komponen dalam sistem pendidikan bukan hanya berfungsi
mengantarkan mahasiswa menjadi lulusan yang berkompeten, tetapi juga perlu
mengangkat peran perguruan tinggi dalam
pembangunan nasional dan tentunya meniscayakan ada peningkatan
dalam hal pembelajaran dan pendidikan yang telah menjadi tugas pokok dan
fungsinya.
III. Tujuan dan
Fungsi Pendidikan Tinggi
Sebaga lembaga pendidikan tinggi yang ada di
Indonesia, maka harus bertujuan untuk:
a. Mengembangkan
potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
b. Menghasilkan lulusan yang menguasai
bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang dipelajari serta mampu
mengaplikasikan dalam peningkatan daya saing bangsa serta memiliki sikap
toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk
kepentingan nasional;
c. Menghasilkan
karya penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat
bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia[19].
Sedangkan fungsi pendidikan tinggi
disebutkan berfungsi membentuk dan mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik, serta sikap kooperatif a melalui pelaksanaan tridharma perguruan
yinggi yaitu: a. dharma pendidikan b. dharma penelitian; dan c. dharma
pengabdian kepada masyarakat[20]. Pendidikan yang
berkualitas baik secara filosofis-teosentris maupun teknis-praktis akan
meningkatkan kualitas yang utuh bagi pendidikan nasional, oleh karena itu
pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan kita semua[21].
Pendidikan diharapkan mampu
mendorong terciptanya masyarakat yang tertib, teratur, ramah tamah,
mengutamakan kebersamaan, gotong royong dengan memperhatikan prinsip-prinsip
toleransi dan kesantunanan juga dikembangkan melalui sikap saling memahami, saling kerjasama dan saling
menitipkan diri[22].Pendidikan yang bermutu tidak hanya
dilihat dari mutu lulusannya, tetapi juga mencakup bgaimana lembaga pendidikan
yan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan standar mutu lmuan
pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat dan pemakai lulusan) [23]
Mencermati tujuan dan fungsi pendidikan tinggi selama ini, di atas kertas
memang ideal dan baik sekali. Namun realitasnya belum menunjukkan bukti yang
mengembirakan. Banyak anomali-anomali terhadap tujuan dan fungsi yang ideal.
Mencermati tujuannya benarkah perguruan tinggi sudah mengembangkan potensi
mahasiswa menjadi beriman, bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia ?
benarkah perguruan tinggi sudah mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu,
pengetahuan, seni dan teknologi? benarkah perguruan tinggi sudah menghasilkan
penelitian dan sumber daya manusia \yang
bermanfaat bagi nusa, bangsa dan Negara ?, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan.
IV. Komptensi Dosen Yang Profesional dan
Keilmuwan
Sebagai dosen yang profesional
dan ilmwuan haruslah
mempunyai Kompetensi yang
harus dimiliki, yaitu Kompetensi Profesional, Kompetensi Mengajar (Pedagogik), Kompetensi Kepribadian (Personaliti), Kompetensi Sosial, Oleh
karena itu, selain terampil mengajar, seorang pendidik juga memiliki
pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik [24].
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru dan Dosen,
adapun macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru dan Dosen
antara lain: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi
dalam kinerja guru dan Dosen.
1) Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru dan Dosen terhadap peserta
didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator
esensial sebagai berikut;
Ø Memahami peserta didik secara mendalam
memiliki indikator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan
prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan
memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal ajar awal
peserta didik.
Ø Merancang
pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan
pembelajaran memiliki indikator esensial: memahami landasan kependidikan;
menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran
berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan
materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang
dipilih.
Ø Melaksanakan
pembelajaran memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran;
dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
Ø Merancang
dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indikator esensial: merancang
dan melaksanakan evaluasi (assessment)
proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode;
menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat
ketuntasan belajar (mastery learning);
dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program
pembelajaran secara umum.
Ø Mengembangkan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensinya, memiliki indikator esensial:
memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan
memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi nonakademik.
2) Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Secara rinci subkompetensi tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:
Ø Kepribadian
yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan
norma hukum; bertindak sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai guru dan
Dosen; dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
Ø Kepribadian
yang dewasa memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam
bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru dan Dosen.
Ø Kepribadian
yang arif memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan
pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan
keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
Ø Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator
esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan
memiliki perilaku yang disegani.
Ø Akhlak
mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator esensial: bertindak sesuai
dengan norma religius (iman dan takwa,
jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta
didik.
3) Kompetensi Sosial
Kompetensi
sosial merupakan kemampuan guru dan dosen untuk berkomunikasi dan bergaul
secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini
memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:
Ø Mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik memiliki
indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.
Ø Mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan.
Ø Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
4) Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi
kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi
materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya. Setiap
subkompetensi tersebut memiliki indikator esensial sebagai berikut:
Ø Menguasai substansi keilmuan yang terkait
dengan bidang studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada
dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang
menaungi atau koheren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antar mata
pelajaran terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan
sehari-hari.
Ø Menguasai
struktur dan metode keilmuan memiliki indikator esensial menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis
untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
Keempat kompetensi tersebut di atas bersifat holistik
dan integratif dalam kinerja guru dan Dosen. Oleh karena itu, secara utuh sosok kompetensi guru dan Dosen
meliputi (a) pengenalan peserta didik secara mendalam; (b) penguasaan bidang
studi baik disiplin ilmu (disciplinary
content) maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah (c) penyelenggaraan
pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan
pengayaan; dan (d) pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara
berkelanjutan sehingga guru dan dosen yang memiliki kompetensi akan
dapat melaksanakan tugasnya secara profesional
Maksud dari
kompetensi tersebut adalah Kompetensi Profesional, yakni, keluasan wawasan
akademik dan kedalaman pengetahuan dosen terhadap materi keilmuan yang
ditekuninya dan Kompetensi Pedagogik,
adalah penguasaan dosen pada berbagai
macam pendekatan, metode, pengelolaan kelas, dan evaluasi pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik materi dan perkembangan mahasiswa, sedangkan
kompetensi kepribadian, yakni, kesanggupan dosen untuk secara baik menampilkan dirinya sebagai teladan dan
memperlihatkan antusiasme dan kecintaan terhadap profesinya dan terakhir adalah
Kompetensi sosial, yakni, kemampuan dosen untuk menghargai kemajemukan, aktif
dalam berbagai kegiatan sosial, dan mampu bekerja dalam team work.
V. Ciri-ciri Dosen Profesional dan Ilmuan
Untuk menjadi dosen
yang profesional adalah harapan dan impian setiap dosen dalam rangka meningkatkan harga dirinya
sebagai manusia yang akademis maka
ia berusaha bekerja di perguruan tinggi
yang sering disebut sebagai garda
ilmiah, tempat bersemai dan berkembang ilmu pengetahuan. dosen dianggap sebagai peneliti yang
mengajar. Ia meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan ia juga
mengajar atau mendidik calon-calon praktisi yang profesional yang akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
menerapkan hasil-hasil penelitian untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
yang ada di masyarakat.
Ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir yang
dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang keilmuan
sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk di bawah wibawa ilmu. Karena ilmu merupakan
alat yang paling mampu dalam mencari dan mengetahui kebenaran. Seorang ilmuwan
tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi ataupun pragmatis,
kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan
kebenaran pada akhirnya netral, tetapi lebih dari semua itu ialah penghayatan
terhadap etika serta moral ilmu di mana
manusia dan kehidupan itu harus menjadi pilihan juga sekaligus junjungan utama[25]
Kewajiban batiniah seorang ilmuwan ialah memberikan sumbangan pengetahuan
baru yang benar saja ke kumpulan pengetahuan benar yang sudah ada, walaupun ada
tekanan-tekanan ekonomi atau sosial yang memintanya untuk tidak melakukan hal
itu, karena tanggung jawabnya ialah memerangi ketidaktahuan, prasangka dan mitos di kalangan manusia mengenai
alam semesta ini. Adapun pedoman kerja yang disepakati dan harus diikuti
para ilmuwan ialah :1. Bekerjalah dengan jujur. 2. Jangan sekali-sekali
memanipulasi data.3. Selalulah bertindak tepat, teliti dan cermat. 4. Berlakulah adil terhadap pendapat orang
lain yang muncul terlebih dahulu.5. Jauhilah pandangan berbias terhadap data
dan pemikiran ilmuwan lain. 6.Usahakanlah
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan tuntas. 7. Perlunya Etika.8. Ketaatan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.[26]
Adapun di antara ciri-ciri
dosen yang profesional dan ilmuwan adalah: a.Kepribadian yang kuat,
b.Komitmen, c.Menguasai
materi kuliah yang dipegangnya, d.Ketrampilan berinteraksi, e.Fleksibilitas dan kreativitas, keterbukaan, f. Mempunyai antusiasme yang dinamis, g. Siap dan terorganisir,
h.Kemampuan berkomunikasi, i.Gaya mengajar yang merangsang belajar, selain itu
tenaga pengajar yang antusias dan berminat untuk memperoleh pengetahuan dan latihan
lebih jau dalam segala bidang[27]
Sedangkan menurut Nana Syaodih
Sukmadinata ada 10 ciri suatu profesi yaitu:1.Memiliki
fungsi dan signifikan sosial, 2.Memilikikeahlian/keterampilantertentu,3.Keahlian/keterampilan
diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah, 4. Didasarkan atas
disiplin ilmu yang jelas, 5.Diperoleh
dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama. 6, Aplikasi dan
sosialisai nilai-nilai profesional, 7.Memiliki kode etik, 8.Kebebasan untuk
memberikan judgemt dalam memesahkan masalah dalam lingkungan kerja, 9.Memiliki
tanggung jawab profesional dan otonomi,10.Adanya pengakuan dari masyarakat dan
imbalan atas layanan profesinya[28].
Selain dosen profesional, ada juga
harapan agar dosen tersebut ideal, ada pandangan mahasiswa bahwa dosen ideal yang dimaksud adalah dosen yang mampu mengendalikan emosi. Hal ini
disebabkan karena masalah emosi adalah berhubungan langsung dengan pribadi
dosen tersebut,
hal ini sesuai dengan pendapat Nasution bahwa sikap
dosen ada yang otoriter yaitu mendidik dengan hukuman dan ancaman untuk dapat
menguasai materi yang dianggap penting[29].
Hal ini sesuai
juga pendapat Hidayatullah bahwa untuk mewujudkan suasana
pembelajaran yang kondusif maka dosen harus mampu menciptakan situasi yang
nyaman untuk belajar, oleh karena itu dosen harus memiliki jiwa yang longgar
dan sabar dalam menghadapi mahasiswa. Namun mengajar dengan sabar atau mengajar
dengan hati bukan berarti tidak boleh tegas dan melibatkan unsur fisik,
melainkan adalah segala sesuatu yang dilakukan dosen semata-mata agar peserta
didik menjadi orang terdidik dan tujuan pendidikannya.[30]
Bahkan selain itu menurut Salam bahwa bagi
mahasiswa, dosen umumnya merupakan figur yang dapat memberi semangat belajar.Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa menurut mahasiswa sebagian dosen
Keperawatan UMS belum ideal karena dalam menjelaskan kurang menarik dan
monoton, lebih mengutamakan kepentingan pribadi, dalam menyampaikan materi
sulit dipahami, tidak disiplin atau tidak datang tepat waktu. Selanjutnya
sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa hal ini mempengaruhi motivasi
belajar, mahasiswa menjadi malas mendengarkan dan juga belajar[31].
Seorang pengajar yang baik akan
melakukan tugasnya bukan semata karena uang atau karena sudah merupakan kewajibannya,
tetapi karena ia menikmati pekerjaannya, dan karena ia menginginkan
pekerjaannya itu. Seorang pengajar yang baik tidak
dapat membayangkan ia akan dapat melakukan hal atau pekerjaan lain selain
mengajar dan mengajar.
VI. Syarat Menjadi Dosen
Yang Profesional dan ilmuwan.
Dosen adalah pengajar, maka
diharapkan dapat mengajar yang baik sehingga dapat menjadi dosen Profesional
dan ilmuwan, tentukan dibutuhkan persyaratan
antara lain :
a. Mengajar yang baik merupakan gabungan dari
kesenangan (passion) dan penalaran (reason). Mengajar yang baik bukan hanya
tentang bagaimana memotivasi mahasiswa agar mau belajar tetapi mengajar mereka
bagaimana belajar dengan baik sehingga apa yang dipelajari menjadi relevan,
memiliki arti, dan dikenang dengan baik. Leblanc mengibaratkan bahwa
memperlakukan mahasiswa (dalam hal mengajar dan mendidik) sama persis dengan
bagaimana kita berbuat memperlakukan sesuatu benda yang kita senangi. Dosen
harus memperlihatkan suatu antusiasme dan kasih sayang dan kemudian membagikannya
kepada mahasiswanya. Cara dosen mengajar
menjadi role model bagi para
mahasiswanya.
b. Mengajar yang baik harus menjadikan
mahasiswa sebagai konsumen atau klien dari ilmu pengetahuan yang kita jual
(artinya kita menganggap bahwa mahasisiwa adalah konsumen yang harus kita treat agar mereka mau membeli apa yang
kita tawarkan).
c. Mengajar
yang baik adalah kesediaan mendengarkan, mempertanyakan, menyikapi dengan
responsif, dan memahami bahwa setiap individu mahasiswa dari setiap kelas
adalah suatu pribadi yang unik dan berbeda. Yang sama dari setiap individu
mahasiswa hanyalah dalam tujuan akhirnya, yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan
dan pendidikan yang berkualitas sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan
mereka setelah lulus dari pendidikannya. Menurut Leblanc, seorang pengajar (dosen) yang baik harus dapat mendorong
mahasiswa mencapai keunggulan, dan secara bersamaan mahasiswa juga harus dapat
menjelma menjadi seorang pribadi yang yutuh, memiliki rasa hormat kepada
sesama, dan selalu menjadi seorang yang profesional. Dengan demikian, bukanlah
sebuah sikap yang baik jika seorang dosen hanya berdiri di depan kelas,
menyampaikan materi ajar secara ‘kering’, tanpa pernah menyisipkan soal etika
dan moral (al-Akhlak al-Karimah),
baik yang berkaitan dengan penerapan ilmu yang diajarkannya maupun etika dan
moral secara umum.
d. Menjadi
pengajar yang baik bukan hanya dibuktikan dengan memiliki program kerja
(agenda) yang tersusun rapih dan secara ketat mengikuti agenda tersebut (rigid). Sebaliknya, dosen haruslah
bersikap fleksibel, fluid (tidak
kaku), selalu bersedia untuk mencoba hal-hal baru (experimenting), dan memiliki kepercayaan diri untuk merespons dan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah.
Menurut Leblanc, sebagus apa pun agenda kerja yang disusun, di kelas, paling banyak hanya 10% yang dapat tercapai. Seorang pengajar yang baik harus bersedia untuk mengubah silabus dan memanage jadwal perkuliahannya jika di tempat lain diketahuinya ada hal-hal yang lebih baik[32].
Menurut Leblanc, sebagus apa pun agenda kerja yang disusun, di kelas, paling banyak hanya 10% yang dapat tercapai. Seorang pengajar yang baik harus bersedia untuk mengubah silabus dan memanage jadwal perkuliahannya jika di tempat lain diketahuinya ada hal-hal yang lebih baik[32].
e. Mengajar
yang baik juga berkaitan dengan cara atau gaya (style). Mengajar di kelas harus juga merupakan suatu ‘pertunjukkan’
yang menarik, bukan hanya berdiri di podium dengan tangan yang seolah melekat
ke meja podium atau pandangan yang hanya tertuju ke layar (jika itu pun sudah
menggunakan alat bantu OHP atau LCD). Mengajar di depan kelas bagi seorang
dosen adalah bekerja, dan mahasiswa
f. Mengajar yang
baik harus mengandung unsur humor (jenaka). Artinya, dalam mengajar, seorang
dosen harus menyisipkan humor-humor, yang akan sangat berguna untuk mencairkan
(ice-breaking) suasana kelas yang
kaku. Harus disadari bahwa mahasiswa adalah manusia yang datang ke kelas dengan
kondisi yang berbeda-beda, dengan permasalahannya masing-masing, baik yang
muncul hari itu maupun yang sudah dimilikinya berhari-hari atau berbulan-bulan
yang lalu. Kelas yang kaku dan terlalu serius akan sangat membosankan. Menurut sumber lain,
contohnya Barbara Gross Davies[33]
jika pun atmosfir kelas mendukung, mahasiswa hanya penuh perhatian terhadap
materi perkuliahan sampai maksimal 20 menit pertama saja. Untuk itu, dosen
harus berusaha semaksimal mungkin untuk memasukkan teknik-teknik jenaka untuk
menarik kembali perhatian mahasiswa terhadap materi perkuliahan.
g. Mengajar
yang baik adalah memberikan perhatian, membimbing, dan mengembangkan daya pikir
serta bakat para mahasiswa. Mengajar yang baik berarti mengabdikan atau
menyediakan waktu kita bagi setiap mahasiswa.
h. Mengajar
yang baik harus didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan visioner serta oleh
institusi yang juga mendukung, baik dalam sumberdayanya, personalianya, maupun
dananya. Mengajar yang baik harus merupakan penggambaran dari pelaksanaan visi
dan misi institusi yang selalu harus diperbaiki dan diperbaharui, bukan hanya
dalam perkataan tetapi juga dalam perbuatan.
i.
Mengajar
yang baik adalah tentang pembimbingan (mentoring) yang dilakukan oleh dosen
senior kepada dosen yunior, tentang kerjasama, dan kemudian kinerjanya dapat
dikenali dan dihargai oleh seorang penilai / pimpinan, sementara mereka yang
mengajarnya masih kurang baik, sudah sepatutnya mereka mendapatkan berbagai
progam pelatihan dan pengembangan (ada Pusat Pelatihan
dan Pengembangan Aktivitas Instruksional).
j.
Akhirnya,
mengajar yang baik adalah memiliki kesenangan, dan kenikmatan batin, yaitu
ketika mata kita menyaksikan bagaimana mahasiswa kita menyerap ilmu yang kita
berikan, bagaimana pemikiran mahasiswa menjadi terbentuk, sehingga mahasiswa
kemudian menjadi orang yang lebih baik.
VII. Langkah
UntukMenjadi Dosen Profesional dan Ilmuwan.
Hasil penelitian dari Harvard University Amerika Serikat
yang mengagetkan dunia
pendidikan di Indonesia di mana menurut penelitian tersebut, kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill),
tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Bahkan,
penelitian ini mengungkapkan, bahwa
kesuksesan hanya ditentukan
sekitar 20% dengan hard skill dan sisanya 80% dengan soft skill. Hal
ini diperkuat sebuah buku
berjudul Lesson From The Top karangan Neff dan Citrin (1999) yang
memuat sharing dan
wawancara terhadap 50
orang tersukses di Amerika. Mereka sepakat bahwa yang
paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis melainkan kualitas
diri yang termasuk dalam keterampilan lunak (soft skills) atau
keterampilan berhubungan dengan orang lain (people skills)[34].
Kesulitan
utama yang dihadapi para professional pendidikan sekarang ini adalah
ketidakmampuan menghadapi “sistem yang
gagal” sehingga menjadi tabir bagi para professional pendidikan itu untuk mengembangkan dan menerapkan proses baru
pendidikan yang akan memperbaiki mutu pendidikan[35]
Secara umum ada beberapa langkah yang bisa ditempuh guna menuju
terwujudnya dosen yang profesional, antara lain:
a. Melaksanakan kegiatan Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
b. Dalam mewujudkan Tri
Dharma, maka harus
menempuh studi lanjut (S2 dan S3).
c.
Budaya
baca (tambah ilmu
baru dan informasi mutakhir.
d.
Menciptakan
iklim akademik dan budaya ilmiah (Forum atau Unit).
e.
Mengikuti berbagai forum ilmiah seperti
diskusi, seminar, baik sebagai penyaji materi, moderator, maupun sebagai
peserta.
f.
Membiasakan
menulis makalah, artikel di jurnal, majalah ilmiah, media massa maupun buku
teks) sehingga mampu mengaplikasikan
ilmu
g.
Menambah
buku perpustakaan pribadi.
Menurut
R.D. Lansbury dalam buku
Profesionals
and Management dalam Sudarman Danim dalam konteks profesionalisasi, istilah
profesionalisasi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan
karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik. Pendekatan
Karakteristik maksudnya Pendekatan ini memandang bahwa profesi mempunyai
seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan yang lain. Seorang
penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti
menjadi bagian integral dalam kehidupannya, Pendekatan institusional memandang
bahwa profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional.
Maksudnya adalah kemajuan suatu pekerjaan ke arah pencapaian status ideal suatu
profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan
proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya, Pendekatan
legalistik yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi
oleh Negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan disebut profesi jika dilindungi
undang-undang atau produk hukum
yang ditetapkan pemerintah suatu Negara[37].
Dosen harus memiliki tanggung-jawab yang besar dalam kegiatan proses belajar-mengajar dalam membina, membina dan mengembangkan minat dan potensi
mahasiswa untuk mencapai visi misi dan tujuan perguruan tinggi dan setelah lulus akan bermanfaat dan
berpengaruh pada masa depan bangsa. Hal ini
tersurat dalam persyaratan untuk menjadi dosen, menurut UU No. 2/1989 dan PP
No. 30/1990, yakni: Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME Berwawasan Pancasila
dan UUD 1945. Memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Mempunyai moral dan
integritas yang tinggi. Memiliki rasa tanggung-jawab yang besar terhadap masa
depan bangsa dan negara.
VIII.
Penutup.
Demikianlah beberapa
hal yang berkaitan dengan dosen professional dan ilmuwan yang merupakan
ekpektasi masyarakat, namun yang perlu diingatkan sekali lagi ialah bukan
mendahulukan hak, tetapi yang lebih penting ialah keseimbangan antara kewajiban
yang harus dipenuhi dengan hak yang akan diterima
Di antara beberapa hal yang sangat perlu diketahui oleh seluruh dosen
ialah: dosen adalah pendidik
profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan,
dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan di perguruan
tinggi ada dosen tetap yang merupakan dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus
sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu. Sementara
itu sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada dosen sebagai tenaga profesional.
Untuk menjadi dosen Profesional dan ilmuwan yang menjadi ekpektasi/harapan masyarakat hendaknya harus mempunyai tanggungjawab yang besar dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar, penelitan dan pengabdian masyarakat dalam
rangka untuk membina dan mengembangkan
potensi mahasiswa dan kemajuan kampus dalam
mencapai tujuan, visi dan misi perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Dari Buku:
Davies, Barbara Gross, Tools
for Teaching, Jossey-Bass Publishers, 1993.
Danim, Sudarwan,
Inovasi Pendidikan Dalam Upaya
Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Dacholfany, M Ihsan, Tinjauan
Awal Analisis SWOT Pada Program Sekolah
Kejuruan, Jurnal Ilmiah IAI
Al-Ghurobaa, Jakarta, 2010.
Dacholfany, M Ihsan Manajemen Mutu
Pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal akadimika, STAIN Jurai Siwo, Metro Lampung,
2010.
Dacholfany, M Ihsan Pendidikan
karakter di Pondok Pesantren, Bekasi: Jurnal Lentera Tarbiyah,
STAI Bani Saleh, Bekasi, 2011.
Dacholfany, M Ihsan Manajemen
Mutu Pendidikan dan Kepemimpinan Pendidikan, Jurnal
Manajemen Pendidikan, Nusantara Education
Review, Bandung, 2010.
Dacholfany, M Ihsan Revitalisasi
Perguruan Tinggi Dalam Membangun Peradaban, Prosiding: Seminar Nasional Peran Perguruan
Tinggi Dalam tajdid Ilmu dan Peradaban,
LEMLIT UM Metro, 2013.
Harsono. Model-model Pengelolaan
Perguruan Tinggi Perspektif Sosiopolitik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006.
Hidayatullah, Dalam Rohmadi, Muhammad (Ed), Guru Sejati : Membangun Insan Berkarakter Kuat
dan Cerdas, Yuma Pustaka:
Surakarta,
2009.
Jossey, Tools
for Teaching, Bass Publishers, 1993.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
2002.
Muqawim,
Modul Pengembangan Sof Skil GPAI,
Kementrian Agama RI, 2011.
Natawidjaya, Rochman, Standar Profesi Guru, PPS UPI, Bandung,
2002.
Salam
Cara Belajar yang Sukses di Perguruan
Tinggi, Rineka Cipta: Jakarta., 2004.
Sanusia, A, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Depdikbud – IKIP Bandung, 1991.
Sanusi , A. et al., Studi pengembangan model pendidikan
profesional tenaga kependidikan, Depdikbud–IKIP Bandung, 1991.
Syah, M, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung Rosda Karya, 2001.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan kurikulum -teori
dan praktek , Bandung: Rosda Karya,
2000.
Sahertian, Supervisi
Pendidikan Dalam Rangka In
Service Education, Jakarta:Rineka cipta. 1990.
Undang-Undang No. 14 Th. 2005 dan UU No. 2/1989 dan PP No. 30/1990.
UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Ayat 2UU No. 23
tahun 2003 pasal 1 dan pasal 39
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
RUU Pendidikan Tinggi Pasal 3 dan pasal 4 ayat 1.
B. Dari Internet.
http://ishomyusqi.com
http://Zan-Sher,
[1] Dosen
Universitas Muhammadiyah Metro
[2] Pasal 39 UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas
[3] UU No 14
Tahun 20105 Pasal 1
[5] Harsono.
Model-model Pengelolaan Perguruan Tinggi Perspektif Sosiopolitik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2006, h.17
[6] Sanusi ,A. et al., Studi pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan
, Depdikbud – IKIP Bandung, 1991, h.34
[9]M Ihsan
Dacholfany, Pengambilan Keputusan Dalam
Rangka Menciptakan Inovasi di bidang Pendidikan, Lampung: Jurnal Adz- Dzikri, 2013, h.20.
[14] Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2002, h. 897
[17] Sahertian, Supervisi
Pendidikan Dalam Rangka In Service Education,
Jakarta:Rineka cipta, 1990, h.9-10
[18] UU
Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Ayat 2
[20] RUU Pendidikan Tinggi pasal 4 ayat
1.
[21] M Ihsan
Dacholfany, Revitalisasi Perguruan Tinggi
dalam membangun Peradaban, Prosiding,; Seminar Nasional Peran Perguruan
Tinggi Dalam tajdid Ilmu dan Peradaban,
LEMLIT UM Metro , 2013, h.59
[22] M Ihsan
Dacholfany, Pendidikan karakter di
PondokPesantren, Jurnal Lentera Tarbiyah STAI Bani Saleh, 2011, h.142,
[23]M Ihsan
Dacholfany, Manajemen Mutu Pendidikan dan
Kepemimpinan Pendidikan, Bandung:Jurnal Manajemen Pendidikan, Nusantara Education
Review, 2010, h.17
[27] M Ihsan
Dacholfany, TinjauanAwal Analisi SWOT Pada Program Sekolah Kejuruan, Jakarta:
Jurnal Ilmiah IAI Al-Ghurobaa,
2010, h.66.
[29] Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan
Mengajar, Bumi Aksara: Jakarta, 2008, h.119
[30]
Hidayatullah, Dalam Rohmadi,
Muhammad (Ed), Guru Sejati : Membangun Insan Berkarakter Kuat
dan Cerdas, Yuma Pustaka: Surakarta, 2009, h. 155.
[32] Zan-Sher, Cara Menjadi Penggajar Yang Baik,
diakses tanggal 11 April 2012.
[33] Jossey,
Tools for Teaching, Bass Publishers,
1993, p.43.
[35] M Ihsan
Dacholfany, Manajemen Mutu Pembelajaran
di Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal
akadimika,, STAIN Jurai Siwo, 2010, h.113
[37]Sudarwan Danim, Inovasi
Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan.
Bandung: Pustaka Setia., 2002, h.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar