Perlukah Islamisasi Sains ?
M.
Ihsan Dacholfany
PENDAHULUAN
Upaya menggagas islamisasi sains yang sering
digagas oleh ilmuwan di antaranya dalam kerangka revolusi sains, hal ini pernah di bahas oleh Thomas Kuhn, yang
menerangkan bahwa perkembangan
sains dimulai dari krisis paradigma ilmu normal, diikuti oleh pengajuan
paradigma baru dan periode pengembangan sains normal berbasis paradigma baru,
kemudian diikuti oleh krisis lagi dan seterusnya.
Kerangka krisis paradigma sebagai perangkat revolusi atau pembaruan
ilmu ini juga harus diberlakukan atas ilmu-ilmu agama yang diklaim telah
diturunkan dari Al Qur’an dan Hadits. Penulis menyatakan bahwa perubahan paradigmatik yang
paling mengundang kontroversi adalah perubahan-perubahan pada khasanah
ilmu-ilmu agama karena ini berkaitan dengan dasar-dasar keyakinan manusia. Kata
“Tauhid” sebagai cabang ilmu agama, misalnya, adalah sebuah kata asing dalam al-Qur’an, namun diyakini oleh
mayoritas muslim dunia sebagai semacam pondasi Islam. Padahal, kata “iman” jauh
lebih mendasar dan memiliki rujukan yang jauh lebih banyak dalam Al Qur’an.
Akan tetapi, realitas wacana keislaman menunjukkan seolah “tauhid” lebih
penting daripada “iman”, seperti tercermin dalam istilah “tauhid sosial”,
misalnya. Makalah pendek ini akan mencoba menggagas aspek-aspek epistemologi
sains baru ini.
Upaya melakukan kritik terhadap ilmu-ilmu agama ini bukanlah
hal yang baru, bahkan telah dilakukan oleh pujangga besar Sir Muhammad Iqbal
dalam disertasinya di awal abad 20 dalam “The Reconstruction of Islamic
Thoughts”.
Dalam usaha membangun kembali sains telah dicoba dimulai
melalui upaya-upaya “islamisasi sains” oleh Sir Naquib Allatas pada awal
1970-an, dan diwujudkan dalam sebuah institusi pendidikan, yaitu Universitas
Islam Internasional di Kuala Lumpur pada awal tahun 1980-an yang disponsori
oleh Organisasi Konferensi Islam. Kelahiran beberapa UIN dari eks IAIN di
Indonesia sedikit banyak mencerminkan upaya islamisasi sains ini. Sekalipun
“islamisasi sains” mungkin kontroversial, penulis memahaminya sebagai upaya
membangun sains baru ini. Mudah-mudahan
makalah ini dapat menjadikan kajian bersama dalam memahami sains menurut konsep
Islam dengan kenyataan kehidupan sekarang ini.
SAINS
Secara sederhana sains merupakan tubuh pengetahuan (body
of knowledge), Pengertian itu muncul penemuan ilmiah yang dikelompokkan
secara sistematis. Sains
juga dapat berupa produk. Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta,
prinsip-prinsip, model-model, hukum-hukum alam dan lain-lain. Sains juga dapat berarti suatu metoda
khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Sains
sebagai proses dapat berupa metoda ilmiah merupakan hal yang sangat menentukan
pembuktian suatu kebenaran yang objektif. Sains sebagai proses yang dilakukan
melalu metoda ilmiah ini, terbukti ampuh menyelesaikan permasalahan ilmiah sehingga membuat sains terus
berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada.
Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau
hal baru yang dapat menghasilkan suatu produk. Produk tersebut biasa disebut
dengan teknologi. Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains,
suatu konsekwensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan
sesuatu.
Sumbangan konsep dan ide dalam sains terbukti telah banyak
mengubah pandangan manusia terhadap alam sekitarnya.Contoh-contoh sumbangan
konsep dan ide sains di antaranya
:
- Teori
Relativitas Einstein. Teori relativitas umum ini misalnya telah
mengubah pandangan orang secara drastis akan sifat kepastian waktu serta
sifat massa yang dianggap tetap.
- Pengamatan
bintang-bintang oleh Edwin Hubble melalui teleskop di Gunung Wilson pada
tahun 1920-an misalnya, membawa beberapa implikasi seperti adanya galaksi
lain selain Bimasakti dan adanya penciptaan alam semesta secara ilmiah
dengan makin populernya teori ledakan besar (Big Bang).
- Teori
grafitasi Newton yang dapat membuktikan bahwa planet berputar pada
porosnya dan bergerak mengelilingi matahari pada lintasan tertentu.
Teori-teori dalam sains terus berkembang dengan pesatnya, menggantikan
berbagai teori yang ternyata terbukti salah setelah melalui konfirmasi
percobaan ataupun memperbaiki dan melengkapi teori yang telah ada sebelumnya.
Suatu teori adalah suatu konstruksi yang biasanya dibuat secara logis dan
matematis yang bertujuan untuk menjelaskan fakta ilmiah tentang alam sebagai
mana adanya, suatu
teori yang baik harus mempunyai syarat lain selain dapat menjelaskan, yaitu
dapat memberikan adanya prediksi.
Dari ketiga contoh di atas kadang manusia lupa, siapa yang
menciptakan ruang, masa dan waktu yang disampaikan Einstein tersebut ?. Siapa
yang menciptakan bintang dan benda-benda langit lainnya yang diamati Hubble ?.
Dan siapakan yang menciptakan gravitasi dengan bumi planet lainnya yang diamati
Newton ?. Melupakan yang causal itulah yang membuat orang sekuler !
Jadi
untuk menghindari sekulerisme tersebut dalam sains diperlukan suatu bimbingan.
Dan bimbingan agar manusia tidak takabur adalah agama, agama tersebut di antaranya adalah Islam.
ISLAMISASI SAINS
Islamisasi sains tidak hanya berarti menyisipkan ayat-ayat
suci al-Quran yang sesuai dengan konsep
tertentu dalam sains. Tetapi terfokus kepada bagaimana islam sebagai pondamen
nilai yang mengikat sains (value bound ). Atau bagaimana pemahaman sains
dapat meningkatkan kadar iman dan takwa terhadap sang Kholiq. Jadi penulis
membuat istilah Islamisasi Sains ke dalam dua katagori: (1) Islam to
Sains; (2) Sains to Islam
Dasar pemikiran tersebut berangkat dari lima ayat dalam
Surat al-Alaq ; Bacalah dengan nama Tuhanmu yang
menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang
Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum
diketahuinya (Q. S. al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar
perintah untuk membaca ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk
membaca ayat-ayat kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis
untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu
kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan
pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada
astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.
Jika dilihat kedua katagori tersebut ke dalam
contoh berikut : Teori
klasik menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur yaitu tanah, udara, api dan
air, apabila dianalisa,
disadari atau tidak, isyarat itu mewarnai apa yang dipelajari tetang alam ini; Mengapa
daratan dibuat dengan ketinggian yang berbeda, tentunya agar air dapat mengalir
melewati sungai, sehingga memberi kehidupan pada makhluk yang dilewatinya.
Demikian juga dengan tekanan dan suhu udara, tekanan dan suhu udara dibuat
berbeda-beda di setiap lapisan (atmosfer) dan di setiap tempat. Hal itu
menyebabkan timbulnya angin. Dan angin dapat menimbulkan perubahan cuaca, salah
satunya dapat menimbulkan hujan. Hujan dapat menyuplai air ke permukaan bumi,
di mana air merupakan sumber kebutuhan
utama bagi kehidupan manusia.
Jika dianalisa
dan renungkan, baik fenomena alam yang
terjadi disekitar, maupun aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Berapakah ketinggian gunung, kedalaman
laut, tekanan udara, kelajuan angin dan banyak lagi fenomena alam lainya. Demikian juga
keadaan fisik dan aktivitas yang dilakukan. Berapakah berat badan, tinggi badan , suhu badan,
lama hidup manusia
di dunia, dan banyak hal lain lagi yang dapat dianalisa sebagai bahan renungan dana analisa terhadap kebesaran yang maha kuasa.
Oleh karena itu, ”wajib” diyakini bahwa bukan manusia, hewan
atau tumbuhan yang telah menciptakan benda dengan berbagai ukuran, tetapi
”Allahlah” yang telah menciptakannya seperti apa yang diisyaratkan oleh Allah
dalam al-Quran Surat al- Qomar ayat 49, yang artinya : Sesungguhnya kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
Besaran-besaran yang dapat diukur itu merupakan besaran
fisika atau biasa disebut dengan besaran fisis. Allah telah menciptakan ;
ketinggian, suhu, tekanan, kelajuan, berat, waktu dan banyak lagi besaran
fisika lainnya. Semuanya diciptakan Allah memiliki ukuran tertentu yang
dinyatakan dalam satuan ukur.
Dari salah satu contoh sains di atas, maka dari esensinya,
sains sudah Islami. hukum
hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah, pembuktian teori-teori sains pun
dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia, dalam sains, kesalahan analisis
dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana.
Contoh lain adalah kekeliruan analisis terhadap hukum
kekekalan massa dan energi. Massa tidak dapat diciptakan dan tidak dapat
dimusnahkan, tetapi dapat berubah ke dalam bentuk lain. Hukum konservasi massa
dan energi ini dinilai menentang tauhid. Padahal, hukum ini adalah hukum Allah yang dirumuskan
manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak
bisa dimusnahkan, alam dan manusia hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang
lain, hanya Allah yang kuasa menciptakan
dan memusnahkan, bukankah
itu sangat Islami?
Jadi, Islamisasi sains bukan menempatkan Ayat al-Quran sebagai alat analisis sains.
Dalam sains, rujukan yang dipakai mesti dapat dipahami siapa pun tanpa
memandang sistem nilai atau agamanya. Tidak ada sains Islam dan sains
non-Islam, yang ada saintis Muslim dan saintis non-Muslim. Pada merekalah
sistem nilai tidak mungkin dilepaskan, memang tidak tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem
nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam tulisan populer atau
semi-ilmiah. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset
saintis Muslim berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara
alam serta hanya karena-Nya pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan
riset yang menyingkap mata rantai rahasia alam disyukuri bukan dengan berbangga
diri, melainkan dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa”.
Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia (Q. S. 3:191).
Uraian di atas menunjukan Islam to sains, yaitu riset
saintis muslim yang berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan
pemelihara alam semesta, dan keyakinan itu bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Sekarang bagaimanakah memahami
Sains to Islam ?. Marilah kita mulai dengan sebuah contoh !
Apa yang ada dalam benak pikiran tentang api ? Api adalah
panas, api adalah terang atau berwarna. Api adalah panas dan panas adalah kalor
dan kalor berhubungan dengan suhu / temperature (T). Warna apa sajakah yang terlihat dari api ? merah, kuning,
hijau, biru dan lainnya. Warna adalah gelombang dan gelombang berhubungan dengan
panjang gelombang/ lamda (λ). Panas manakah api merah dan api biru ? besar
manakah panjang gelombang merah dan panjang gelombang biru ?. Hubungan antara
panjang gelombang dengan suhu merupakan sebuah teori dan fakta yang biasa
disebut dengan konsep. Dan konsep merupakan sains. Lalu apa yang merupakan
sumber dari api ? mengapa api panas ? dan siapa yang menciptakan warna ?.
Dari pemahaman konsep sains tersebut dapat menggiring
manusia kepada keyakinan bahwa segala sesuatu ada yang menciptakan yaitu Allah
SWT. Jadi Sains to Islam suatu keyakinan terhadap Allah berdasarkan
analisis terhadap bukti yang diciptakan-Nya. Dan analisis terhadap bukti yang
diciptakaNya dapat dilakukan dengan suatu metode, dan metode tersebut adalah
metode ilmiah, sebagai contoh.
Dalam tulisan ini diajukan sebuah paradigma sains
alternatif. Untuk tujuan ini harus dikatakan, bahwa kata “iman” dan beragam
bentuk turunannya amat banyak dibicarakan dalam al Qur’an, sehingga sesungguhnya
lebih layak dipakai sebagai basis sains daripada kata “tauhid” yang sama sekali
tidak dipakai dalam al-Qur’an. Bahkan jibril seolah membagi
al-Qur’an ke dalam sebuah sistematika
tertentu, yaitu iman, islam, ihsan.
Al Qur’an harus
dipandang sebagai kerangka sistem aksiomatika ilmu, terutama ilmu sosial-
karena tidak ada keraguan di dalamnya (la rayba fii hi), bahkan memberi
penjelasan atas segala sesuatu (tibyaanan li kulli syai’in). Al-Quran
tersusun oleh kerangka teoretik ilmu-ilmu sosial (ayat-ayat muhkamaat),
sedangkan lainnya merupakan penjelasan kerangka teori ilmu-ilmu sosial tersebut
yang disajikan melalui perumpamaan-perumpamaan astronomi, biologi, fisika, dsb.
(ayat-ayat mutasyaabihaat). Jadi, perbedaan antara muhakamat dan mutasyabihat
adalah perbedaan antara isi/kandungan dengan bungkus/kandang, bukan anatara
ayat yang jelas dan yang tidak jelas. Sebab jika hal ini menyangkut ayat-ayat
yang jelas dan tidak jelas, kedudukan al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman
hidup tidak bisa lagi dipertahankan.
Al Qur’an sendiri mengajukan definisi sains, sebagaimana
dinyatakan dalam Surat Ar-Rachman. Lima ayat pertama surat Ar-Rachman memberi definisi sains
alternatif, yaitu saat mendefinisikan al-bayyan sebagai rangkaian informasi dari
Allah swt. tentang astronomi, biologi, dan kehidupan sosial. Model kognitif
atau metodologi sains alternatif bisa dirumuskan dengan memperhatikan surat
Yunus : 5 yang menggambarkan metodologi sains ini melalui perumpaman astronomi.
Jika realisme dan naturalisme dapat diibaratkan sebagai sebuah metode gerhana
bulan (moon eclipse) , dan idealisme sebagai gerhana matahari (sun
eclipse), maka metodologi alternatif ini adalah metode non-gerhana. Jika
bulan melambangkan manusia, bumi melambangkan alam, dan matahari melambangkan
Sang Pencipta, maka gerhana bulan menggambarkan penyembahan manusia atas alam
semesta, sedangkan gerhana matahari menggambarkan penuhanan manusia atas
dirinya sendiri.
Penuhanan diri
sendiri yang sering dilakukan oleh para pemimpin agama gadungan digambarkan al-Qur’an
melalui upaya-upaya kadzdzaba, yaitu “yaktubuuna al kitaaba bi aydii-him,
tsumma yaquluuna haadza min ‘indillah, liyastaruu bihi tsmanan qaliilan”. Sementara penuhanan pada alam
dilakukan oleh para saintis melalui proses-proses “pencurian” ilmu (tawallay),
dengan mengatakan “penemuanku” daripada mengatakan “sunnatullah”.
PERLUKAH
ISLAMISASI SAINS ?
Sebenarnya, perlukah Islamisasi sains ? Dari uraian di atas
sudah jelas, maka untuk memperjelas atas jawaban tersebut dengan kita kaji lima
ayat ini. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan
dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S.
Al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat
quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat
kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai
rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian
didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena.
Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi,
fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.
Maka dari esensinya, sains sudah Islami, Hukum-hukum yang
digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian
teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu
manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah
bencana.
Al-Faruqi menetapkan lima sasaran dari
rencana kerja Islamisasi Sains atau Ilmu, yaitu:
- Menguasai
disiplin-disiplin modern
- Menguasai
khazanah Islam
- Menentukan
relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
- Mencari
cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan
Khazanah ilmu pengetahuan modern.
- Mengarahkan
pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola
rancangan Allah.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering
disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan
dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa
massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa
dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain, hanya Allah yang kuasa menciptakan
dan memusnahkan, bukankah
itu sangat Islami?
Demikian juga Islami sains yang menghasilkan teknologi
kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia memperoleh
keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori evolusi dalam
konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung bukti saintifik, semua prosesnya mengikuti
sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tak mungkin terwujud.
Jadi, Jika ada anggapan bahwa Islamisasi sains kurang tepat, menjadikan ayat-ayat al-Quran sebagai rujukan, yang sering
dianggap salah satu bentuk Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya, dalam sains, rujukan yang digunakan
semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai yang dianutnya, tegasnya, tidak ada sains Islam dan
sains non-Islam.
Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis
non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak
akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang
saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau
semi-ilmiah.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset
saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam
serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap
tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya
disyukurinya dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa, Tuhan
kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia” (Q. S. 3:191), bukan
ungkapan bangga diri.
Apakah
ide Islamisasi Sains Mendesak ?
- Sebab
Ilmu yang rusak, adalah sumber dari kerusakan, dari ilmu yang rusak, lahir
pula ilmuwan atau saintis yang rusak, bahkan ulama yang rusak, padahal
tujuan ilmu mengantarkan manusia tidak syirik, melahirkan kebahagiaan dan
peradaban yang maju
- Imam
Al-Ghazali dalam Ihya ’ Ulumuddin : Rakyat yang rusak gara-gara penguasa /
Pemimpin yang rusak dan penguasa rusak, gara-gara ulama yang rusak dan
ulama rusak terjangkit penyakit “Hubbu dunya (Cinta Dunia)
KESIMPULAN
Dalam rangka keluar dari krisis manusia modern sebagai
krisis ilmu ini, ummat Islam perlu bekerja keras untuk membangun kerangka
paradigmatik sains alternatif, dengan ciri pokok sebagai berikut :
- Menjadikan
al-Qur’an sebagai sebuah sistem
aksiomatika sains sosial (sunnaturasul).
- Sains
alam (ayat-ayat mutasyabihaat) menyediakan data-data penjelasan bagi sains
sosial (ayat-ayat muhkamaat) – sosiologi, ekonomi, politik, sejarah. Sains sosial
berada dalam hirarki ilmu yang lebih tinggi daripada sains alam.
- Ilmu
dikembangkan dengan model kognitif atau metodologi non-gerhana, sebut saja
metode “ibda’ bismillah wa akhir ha bil hamdulillah) di mana Allah
swt sebagai wakil, manusia sebagai mutawakkil, dan alam sebagai ladang
pengabdian manusia pada Allah swt yang senantiasa dilakukan “dengan asma
Allah (bi-ismi-Allah), dan diakhiri dengan “sikap menyanjung
kehidupan menurut ilmu Allah (al-hamdulillah)”.
PENUTUP
Terlepas dari perdebatan tentang perlu tidaknya Islamisasi
Sains atau bagi yang mengganggap perlu kemudian juga berdebat tentang
pengertian dan metode Islamisasi tersebut, adalah sungguh menarik jika melihat perkembangan pemikiran tersebut.
Tradisi berfikir ilmiah, realistis sekaligus idealis, namun tidak ‘jauh’jauh’
dari wahyu ini tentu saja perlu untuk menjadi contoh bagi perkembangan
intelektualitas ummat selanjutnya. Gambaran tokoh-tokoh di atas yang dalam
kurun dua dasawarsa telah menyumbangkan sebuah ‘pentas’ perdebatan yang tidak jarang meninggalkan dokumen
otektik berupa buku, makalah atau dokumentasi lainnya kemudian mungkin
meninggalkan sebuah pertanyaan. Mungkinkah upaya ini masih banyak dibaca oleh
generasi selanjutnya ? Apakah upaya yang menghabiskan waktu, tenaga dan fikiran
itu bisa menjadi dasar untuk bangkitnya ilmuan Islam selanjutnya ?
DAFTAR PUSTAKA
Haedar
Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997)
Herati
Nurhadi dalam M. Sastrapateja dkk., Menguak Mitos-mitos Pembangunan:
Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia, 1986),
Akbar
S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, cet. IV,
(Bandung: Mizan, 1996),
Djamaluddin
Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas
Problem-Problem Psikologi, Cet. IV,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
Abdurrahmansyah,
Prinsip-prinsip Filosofis Kurikulum Pendidikan Islam (Telaah atas Pemikiran
Ismail Raji Al Faruqi), (Yogyakarta: tesis MSI UII, 2000),
Nuim
Hidayat, “Bahaya Sekularisasi Pendidikan”, Harian Umum Republika, (25
Maret 2003), Hal. 5, Kolom V.
Ismail
Raji Al Faruqi dan Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Moh. Ridzuan
Othman et. Al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan
Malaysia, 1992).
Buku
Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan telah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin, Ilamisasi Pengetahuan,
(Bandung: Pustaka, 1995).
Buku
ini telah juga telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti,
Tauhid, (Bandung, Pustaka, 1982).
Abdurrahmansyah,
Prinsip-prinsip Filosofis Kurikulum Pendidikan Islam (Telaah atas Pemikiran
Ismail Raji Al Faruqi), (Yogyakarta: tesis MSI UII, 2000), hal. 29.
Fazlur
Rahman, “Islamisasi Ilmu: Sebuah Respon”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor:4,
Vol. III,1992,
M. Ihsan Dacholfany (Dosen PPs STAIN Jurai Siwo Metro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar