REFORMASI
PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI: SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN
M.
Ihsan Dacholfany
Universitas Muhammadiyah Metro
Lampung
Jl. Ki Hajar Dewantara, Metro Tim.,
Kota Metro, Lampung 34124, Indonesia
+62 725 42445, Hp. 081213022488 |
e-mail: mihsandachofany@yahoo.com.
Abstrak
Masalah Pendidikan Islam adalah
masalah yang sangat menarik dan unik dikaji apalagi yang berhubungan dengan reformasi Pendidikan
Islam yang tentunya mendapat berbagai tantangan yang krusial di era globalisasi
sehingga akan mempunyai pengaruh positif dan negatif yang merupakan tantangan dan harapan pada
pendidikan Islam, jika peneliti ataupun ilmuwan kritis terhadap fenomena
perkembangan globalisasi akan mengajak dan
membawa ikatan persatuan atau perpecahan dari orang-orang yang mempunyai
perbedaan pola pikir dan sikap sebab masalah yang timbul di antaranya adanya pemikiran, usulan dan usaha serta kemampuan pada
orientasi pendidikan, sumber daya
manusia, dikotomi ilmu, peranan Pemerintah, anggaran, informasi, studi Islam di Timur dan Barat, Kurikulum
sampai dengan faham keagamaan, adanya pengaruh Barat dan lainnya. Metode
Penulisan ini pada dasarnya adalah
penelitian data kepustakaan dan analisa penulis yang berkaitan dengan reformasi
pendidikan Islam dengan harapan ummat Islam dapat mempersiapkan diri dan mengupayakan
dalam membangkitkan kembali visi
pendidikan Islam yang lebih baik untuk membangun dan meningkatkan mutu manusia
dan masyarakat Muslim di era globalisasi dengan tetap merujuk kepada al-Qur’an
dan as-Sunnah sebagai sumber ajarannya
Kata
Kunci:
Reformasi, Pendidikan Islam, Tantangan dan Harapan.
Abstract
Islamic Education issue is a very interesting and unique assessed especially relating to the reform of Islamic education that certainly got the crucial challenges in the era of globalization so that it will have positive and negative influences that are challenging and hopes on Islamic education, if researchers or scientists critical of the phenomenon of globalization will encourage and bring the bond of unity or disunity of the people who have different mindset and attitude problems that arise because of which their thoughts, suggestions and efforts and capabilities on the orientation of education, human resources, science dichotomy, the role of government, budget, information, study Islam in the East and the West, curriculum through religious ideology, the influence of the West and others. This writing method is basically the study of literature and analysis of data related to the author of Islamic education reform in the hopes of Muslims can prepare and seek in reviving the Islamic educational vision better to build and improve the quality of human and Muslim communities in the era of globalization with fixed refer to the Qur'an and Sunnah as the source of his teachings.
Keywords: Reform, Islamic Education, Challenges and Expectations.
A.
Pendahuluan
Globalisasi sebagai
fenomena yang bisa mempengaruhi pendidikan Islam, apalagi dengan adanya banyak
pendapat dan sikap dalam memaknai globalisasi, di antaranya ada yang bersikap
pesimis dalam menyikapi globalisasi ini disebabkan oleh pengertian
global, karena cepatnya teknologi dan
informasi media akan berakibat pada ketidaksiapan masyarakat dalam
menghadapinya baik berupa sosial, budaya, agama, ekonomi, pendidikan dan
lainnya, kemudian ada yang bersikap secara kritis positif tentang fenomena
globalisasi dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam dan yang lain ada juga yang
bersikap bahwa globalisasi mempunyai pengaruh positif pada pendidikan Islam,
jika peneliti ataupun ilmuwan kritis terhadap fenomena perkembangan globalisasi
karena dianggap akan mengajak dan
membawa ikatan persatuan dari orang-orang yang mempunyai perbedaan pola
pikir dan sikap seperti agama, ras, suku, bahasa, agama dan lainya. Dengan
adanya globalisasi akan timbul pemikiran, usulan dan usaha serta kemampuan di
seluruh dunia yang dengan sangat cepat dan mudah untuk diakses sehingga
dapat memberikan kesempatan baru bagi
peneliti atau ilmuwan untuk menganalisis, mengadopsi berbagai bentuk kegiatan
pendidikan dan yang terakhir cara orang dalam menghadapi globalisasi ini adalah
orang-orang yang bersikap mendukung dengan adanya globalisasi sebab mereka
mempunyai kepercayaan bahwa pendidikan akan mendapat wadah yang bermanfaat
dalam melihat fenomena globalisasi, dikarenakan pendidikan merupakan investasi
yang mempunyai nilai lebih serta pendidikan merupakan elemen yang dapat berguna serta dijual di negara
manapun. Maka seyogyanya para ilmuwan Islam mampu menanggapi perbedaan
pandangan dan sikap ini sehingga dapat berkonsentrasi kepada pendidikan Islam
yang keperluannya untuk kemajuan ummat dan perkembangan agama Islam dengan tetap merujuk kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber ajarannya.
B.
Pendidikan Islam: Antara Reformasi
dan Globalisasi
Kata Arab untuk
“reformasi”, menunjukkan gerakan reformasi di dunia Islam pada tiga abad
terakhir. Dalam konteks Islam modern, kata islah
terutama merujuk pada “upaya”. Dalam kamus dan al-Qur’an, kata ini juga
bermakna “rekonsiliasi”, artinya lawan penyimpangan.[1] Dalam
bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd
berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid.
Dalam pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki
tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera
memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah.[2]
Reformasi merupakan perubahan
secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) disuatu
masyarakat atau negara; ekonomi perubahan
secara drastis untuk perbaikan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara.[3]
Menurut Emil Salim reformasi adalah menekankan untuk perubahan dengan melihat
keperluan masa depan. Sedangkan menurut Din Syamsudin sebagaimana dikutip
H.A.R. Tilaar menekankan kepada kembali dalam bentuk asa.l[4] Dalam
masalah ini, jelaslah bahwa reformasi merupakan suatu upaya pembaharuan
menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi,
hukum juga termasuk pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Sejak awal abad
ke-20, masyarakat muslim di Indonesia telah melakukan reformasi (pembaharuan).
Reformasi ini dirintis oleh tokoh pelopor pembaharu pendidikan Islam
Minangkabau, seperti Syekh Abdullah Ahmad, Zainudin Labai El-Yunus dan
lain-lain, juga dalam bentuk organisasi-organisasi Islam seperti Jamiat Khair,
Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), dan
Nahdatul Ulama di daerah lain.[5]
Sementara itu, globalisasi
dapat dipahami berasal dari asal kata globe,
yang berarti bola bumi. Istilah ini digunakan karena akselerasi penyebaran
informasi yang luar biasa. Dalam waktu sekejap saja, melalui fasilitas
teknologi komunikasi yang teramat canggih, arus informasi dari satu belahan
bumi bisa menyebar secara merata ke seluruh bola bumi. Karena kenyataan inilah
kita lalu seolah-olah menjadi bagian dari istilah-istilah itu.[6]
Globalisasi adalah
sebuah term yang telah lama mewacana
sampai sekarang ini, globalisasi masih terus menjadi materi perbincangan di
kalangan ilmuwan dari varian disiplin keilmuan yang biasanya ditandai dengan
kemajuan teknologi komunikasi informasi dan transportasi telah menghasilkan
perubahan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Globalisasi selalu dihubungkan
dengan modernisasi dan modernism. Para pakar budaya mengatakan bahwa ciri khas
modernisasi dan manusia modern itu adalah tingkat berfikir, iptek, dan sikapnya
terhadap penggunaan waktu dan penghargaan terhadap karya manusia.[7]
Menurut Abuddin Nata dari
sudut peristilahan kata globalisaasi sebenarnya masih mengalami problem karena
realitas serta subyektifitas pemakaian kata tersebut, namun globalisasi
secara sederhana dapat ditunjukkan dalam bentuk perluasan skala, pengembangan
wilayah, dan percepatan pengaruh dari arus dan pola-pola inter-regional
dalam interaksi sosial.[8]
Berkaitan dengan
reformasi dan globalisasi, pendidikan merupakan harapan pasar ekonomi dan
kebutuhan pasar global. Misalnya, penyediaan bidang studi yang dibutuhkan pasar
domestik sampai yang menjadi trand
bagi kebutuhan pasar global. Hal ini amat penting untuk dicermati, agar output pendidikan benar-benar terjual
dan bersaing di pasar global. Pendidikan menurut pandangan Islam merupakan
salah satu bagian tugas kekhalifahan manusia yang mesti dilaksanakan dengan
tanggung jawab, pertanggungjawaban itu dapat dituntut jika ada aturan dan
pedoman pelaksanaan. Oleh karenanya, Islam memberikan pedoman dan konsep
tentang pelaksanaan pendidikan secara baik dan benar sebagaimana konsep tabula rasa
dari John Locke (1632-1704). Menurut aliran konsepnya, manusia pada mulanya
kosong dari pengetahuan[9],
lantas pengetahuannya mengisi jiwa yang kosong itu, lalu ia memiliki pengetahuan
yang memandang jiwa manusia dilahirkan sebagai kertas putih bersih yang
kemudian sepenuhnya tergantung pada tulisan yang mengisinya kemana jiwa itu
akan dibentuk dan dikembangkan, atau dengan kata lain, tergantung pada
kepribadian macam apa yang ingin dikembangkan oleh pendidik dan masyarakat dan
ini sesuai ajaran Islam, dalam hadist Nabi yang berbunyi :
كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوّدَانِهِ اَوْ
يُنَصّرَانِهِ اَوْ يُمَجّسَانِهِ.
Artinya:
“Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanya lah yang menjadikan dia Yahudi,
Nasrani atau Majusi…”[10]
Penjelasan
mengenai pendidikan Islam memberikan adanya penekanan terhadap makna pendidikan
kepada pembinaan kepribadian, penerapan
metode dan pendekatan yang bersifat teoritis dan praktis ke arah perbaikan
sikap mental yang memadukan antara iman sekaligus amal sholeh yang tertuju
kepada individu dan masyarakat luas. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang
teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.[11]
Walaupun pada awal kemerdekaan pendidikan Islam dianggap sebagai musuh oleh
kaum penjajah. Sebab pendidikan Islam kerap mengajarkan melawan akan kebatilan
yang dilakukan oleh para penjajah namun
kini pendidikan Islam berkembang subur, laksana rumput di tanah yang
luas tersiram air hujan. Tumbuh tiada terbendung.
C.
Eksistensi Pendidikan Islam
Eksistensi pendidikan
Islam selalu berhubungan dan bergumul dengan realitas atau keyataan yang
terjadi didalamnya. Dalam perspektif historis, pergumulan antara pendidikan
Islam dengan realitas sosio kultural menemui dua kemungkinan;
Pertama, pendidikan Islam memberikan
pengaruh terhadap lingkungan sosio kultural dalam arti memberikan wawasan
filosofis, arah, pandangan, motivasi perilaku dan pedoman perubahan sampai
terbentuknya suatu realitas sosial baru, contoh dengan adanya gerakan Modernisasi
Muhammad Abduh dalam pembaharuan Islam adalah membenarkan pikiran dari ikatan
taqlid.[12] Kedua,
Pendidikan Islam dipengaruhi oleh realitas atau kenyataan perubahan sosial,
lingkungan sosio kultural, dalam arti penentuan sistem pendidikan, institusi
dan pilihan-pilihan prioritas juga eksistensi dan aktualisasi dirinya.[13]
Menurut Yunus, pada
dasarnya dua pengertian tentang pendidikan, yang seringkali diperdebatkan,
yakni: Pertama, yang berpandangan
bahwa pendidikan pada dasarnya adalah merupakan proses pewarisan, penerusan dan
sosiolisasi perilaku individual dan sosial, yang telah menjadi model anutan
masyarakat secara baku. Kedua, yang
mengartikan pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan terciptanya
situasi atau lingkungan di pelbagai potensi dasar yang dimiliki anak didik
dapat berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan mereka pada zaman mereka
harus survive[14],
khususnya dalam menghadapi era globaliasi ini yang tantangannya semakin berat
dan berdaya saing.
kedua sudut pandang yang
berbeda tentang pengertian pendidikan ini, masing-masing mempunyai implikasi
yang luas terhadap penyelengaraan pendidikan secara praksis selama ini. Menurut
Yunus, di lingkungan lembaga pendidikan Islam sekarang ini rasanya penekanan
pada penegertian yang pertama, tadi lebih kuat dari pada pengertian yang kedua,
sehingga pendidikan diterjemahkan sebagai usaha mencetak anak didik dengan
sebuah model idola yang bersifat statis. Lain halnya jika penekanan pengertian
pada yang kedua, akan memungkinkan lebih aktual dalam konteks lingkungan dan
waktu di mana mereka sedang atau akan mengambil peran dalam hidupnya.[15]
D.
Reformasi Pendidikan Islam di Era
Globalisasi: Sebuah Tantangan
dan Harapan
Munculnya anggapan dan
persepsi bahwa reformasi Pendidikan Islam dalam menghadapi era globalisasi
sebuah keniscayaan di antaranya adalah ajaran dan nilai agama sudah berubah dan
kabur, kerusakan akhlak, kebebasan remaja yang telah melanggar norma agama dan
etika, narkoba, minum keras, dan penyakit sosial lainnya dan selain itu kurangnya
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Namun demikian apa yang
diharapkan dari pendidikan Islam sebagai karakterisasi memberikan bimbingan dan
arahan serta pembinaan potensi pribadi menuju terbentuknya pribadi muslim
seutuhnya bahagia di dunia dan di akhirat. Suatu kepribadian yang terus menjaga
keseimbangan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia (QS.3:112) dalam
perspektif masyarakat, fungsi pendidikan Islam sebagai sosialisasi terbentuknya
masyarakat Islam adalah ummat wasatan
(umat tengah) (QS.2:143), umat terbaik (QS.3:110) dan ummat yang utuh (ummatan wahidah).
Menurut Djamali bahwa
dalam perspektif global ada beberapa faktor yang disoroti oleh sebagai fonomena
kemuduran umat Islam, yaitu: kemunduran bidang agama, akhlak, keterbelakangan
ilmu pengatahuan, dan teknologi, keterbelakangan ekonomi, sosial, kesehatan,
politik, manajemen, dan bidang pendidikan secara global di dunia Islam,
faktor-faktor tersebut yang memperlemah peran umat Islam dalam memaksimalkan
kemampuan atau daya saing dalam pecaturan dunia global[16],
dan itu semua merupakan tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi era
gobalisasi dan ummat Islam seyogyanya mampu menyikapinya dengan arif dan bijak
sehingga mendapatkan solusi yang benar berdasarkan al-Qur’an, al-Hadist dan
ijtihad para ulama dan ilmuwan di tanah air.
Globalisasi merupakan
‘kata sakti’ yang bisa mengubah sikap dan pemikiran setiap orang di seluruh
dunia terhadap dunia pendidikan. Pemahaman dan kesadaran bahwa satu-satunya
yang dapat mempermudah jalan di abad global ini adalah melalui pendidikan. Ada
yang menganggap pendidikan tidak lagi dianggap barang mewah, malah sebaliknya
pendidikan menjadi suatu kebutuhan dalam mempersiapkan kehidupan hari esok yang
tidak lagi dapat diramalkan. Namun demikian pendidikan adalah sebenarnya,
esensi dari pendidikan itu sendiri adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan
(ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika dan nilai-nilai spiritual serta
estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam
setiap masyarakat atau bangsa[17].
Proses tranformasi ini diharapkan mampu untuk menjadi nilai hidup dalam
mempersiapkan sumber daya manusia generasi berikutnya untuk menghadapi
perubahan masa depan yang lebih baik.
Berdasarkan pada
keterangan diatas dapatlah diidentifikasi beberapa tantangan dalam mereformasi pendidikan Islam
dalam menghadapi era globalisasi dan beberapa usaha yang seyogyanya dapat
dilakukan, diantaranya orientasi pendidikan Islam, sumber daya manusia,
anggaran pendidikan, kurikulum, pengaruh Barat dan lainnya sebagai harapan
untuk membangkitkan kembali kemajuan ummat Islam.
1.
Orientasi
Pendidikan
Islam
Pendidikan
Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi
yang semakin tidak jelas,[18]
semestinya “sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri
kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita
sebagai konsekuensi logis dari perubahan[19],
jika tidak, maka pendidikan Islam di Indonesia akan mengalami ketinggalan dalam persaingan global.
Orientasi
pendidikan Islam di Indonesia masih mengalami perbedaan pendapat, terutama
dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga
pendidikan Islam belum mendapat pengakuan secara internasional dalam era global
ini maka seyogyanya orientasi pendidikan Islam bukan hanya dengan model-model
pendidikan dan pembelajaran seperti yang sudah ada sekarang ini, yang
seharusnya terus menerus melakukan reformasi (pembaruan) dan inovasi serta
kerja keras untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan menuju langkah baru ke
arah kemajuan dan perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman sehingga
pemerataan, mutu, relevansi, dan efektif dan efisiensi dari pendidikan dapat
diselesaikan dengan baik dan benar, hal itu karena tuntutan globalisasi bukan
lagi hanya sampai tingkat mengenyam pendidikan akan tetapi keperluan akan
keterampilan yang bisa menjadi nilai jual bagi diri, masyarakat dan negaranya.
Selain itu juga perlu usaha penelaahan
kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada rumusan
tujuan yang baru.[20]
Yang berhubungan dengan keperluan
dan kepentingan serta perubahan di suatu masyarakat dan negara yang
berorientasi pada pandangan masa depan.
Lembaga
pendidikan Islam sekarang lebih pada orientasi yang bersifat transfer of knowledge and skill dalam
mengembangkan proses intelektualisasi dan kurang memperhatikan dalam pembinaan
“qalbun salim” dengan berupaya
terwujudnya generasi yang memiliki “bastatan fil-ilmi wal jism” yang diliputi oleh spritualisasi dm disiplin
moral yang islami. Pada akhirnya wawasan pendidikan agama menjadi terbelah. Di satu
pihak mengarah kepada “prophetic religion”
(agama kekaryaan) dan dipihak yang lain mengarah kepada priestly religion (agama kewalian). Pendidikan agama kerapkali
hanya dipahami esensinya, tapi tidak dipahami substansinya. Prinsip Filosofi
pendidikan Qur’ani yang memadukan “tilawah”,
ta’lim dan tazkiyah kurang memperoleh perhatian.
2.
Sumber Daya Manusia
Sumber
daya manusia yang dimiliki oleh lulusan muslim di Indonesia belum kapabel dan
masih rendahnya mutu, maka diharapkan mutu lulusan di sekolah atau perguruan
tinggi dapat menghasilkan sumber daya manusia yang dapat berdaya saing di era globaliasasi ini sehingga mempunyai nilai jual yang siap kerja agar
tidak menjadi “budak” di negeri sendiri. Semua permasalahan yang memperlemah kondisi umat harus
diselesaikan melalui upaya strategis dalam memperkuat sumber daya umat Islam
dengan cara memperoleh pendidikan keterampilan mulai dari bahasa asing,
komputer, internet, teknologi dan pemberian beasiswa untuk belajar ke dalam dan luar negeri
sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing,
hendaknya setiap individu harus memiliki landasan dan kemampuan yang meliputi
perilaku, kerja keras disiplin, tanggung jawab yang dapat dipercaya dan
sejenisnya dengan berpedoman pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadit’s.[21]
Sebagaimana
di perguruan tinggi masih belum banyaknya tersedianya sumber daya manusia (SDM)
dosen yang bergelar doktor dan professor, mengingat persyaratan untuk mencapai
gelar doktor dan professor itu terasa sulit di antaranya harus menulis di
jurnal Nasional dan internasional yang terakreditasi, melakukan penelitian dan
lain sebagainya.
Dalam
peningkatan sumber daya manusia yang handal dan kompeten adalah merupakan
tanggung jawab dan kapasitas pemerintah dan masyarakat termasuklah orangtua
yang seharusnya memperhatikan pembinaan dan pendidikan anak-anak sebagai
generasi penerus, dan tidak membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa
bimbingan, atau diserahkan pada guru sekolah saja atau pembantu rumah tangga.
Inilah kekeliruan yang banyak terjadi dalam realitas kehidupan kita. Hal yang
tidak boleh dilupakan adalah jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah
dibalakang, dalam hal ini sesuai firman
Allah swt:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلا
سَدِيدًا
Artinya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapakan
perkataan yang benar.” (QS an-Nisa`: 9).
Konsep
pendidikan Islam sangat mementingkan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas, sekaligus juga mementingkan kualitas kehidupan duniawi dan ukhrowi
secara integral, sedangkan Noeng Muhadjir menyebutnya sebagai sosok manusia
integral-integratif.[22]
3.
Anggaran Negara
Anggaran
negara yang dialokasikan untuk pendidikan di Indonesia selalu bertambah dari
tahun ke tahun. Sungguh ironis memang, anggaran selalu naik tetapi mutu sumber
daya manusia atau lulusan tetap rendah dan justru pendidikan dirasakan semakin
mahal. Ini akibat dari minimnya falilitas sarana prasarana, ketenagaan, dan
pengelola manajemen yang kurang kompeten. Masyarakat hanya diberi “jampal” atau
yang diartikan dengan janji palsu
anggaran atau kebijakan bertemakan “alokasi”. Faktanya mimpi masyarakat ini
sulit terkabul dengan alasan-alasan yang politis. Pejabat yang mayoritas ummat
Islam di Indonesia belum bersungguh-sungguh menempatkan dunia pendidikan Islam
sebagai penyangga kemajuan bangsa, kalaupun ada subsidi pemerintah perlahan
menyurut sehingga tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan pendidikan bahkan sering
terjadi penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh pejabat negara
dan aparat dinas pendidikan serta aparat
sekolah/perguruan tinggi. Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama
dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana
sekolah/perguruan tinggi serta dana operasional dari tingkat pendidikan Taman
kanak-kanak sampai dengan perguruan
tinggi.[23]
Padahal, tujuan utama dari pengucuran dana pendidikan tersebut adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan dan menaikkan kualitas tenaga pendidik supaya
siswa atau mahasiswa Indonesia agar supaya apa yang dihasilkan dari sekolah
atau perguruan tinggi mempunyai daya saing di tingkat nasional maupun
internasional apalagi dalam dalam menghadapi era globalisasi.
4.
Informasi dan Teknologi
Adanya
keinginan untuk melakukan perubahan paradigma pendidikan dari buta huruf dan melek huruf menjadi melek informasi,
keinginan ini menjadi sebuah capaian
tujuan baru bagi pendidikan Islam, sehingga pemimpin Islam harus merubah
strategi pendidikan yang ada disesuaikan dengan tuntutan globalisasi. Disadari
atau tidak, bersamaan dengan derasnya arus globalisasi yang tidak bisa
dikendalikan itu, kemajuan-kemajuan tersebut secara meyakinkan mengubah dan
mengarahkan kebudayaan dan bahkan melebihi angan-angan. Kemajuan teknologi
beserta dampaknya telah menguasai hampir seluruh masyarakat dunia. Karena
itulah, barangkali, Lucian W. Pye menetapkan modernitas adalah budaya dunia.[24]
Teknologi
komputer, jaringan telepon dan televisi (ICT) mempunyai peranan yang paling
menonjol terhadap globalisasi. Kemajuan ICT ini menjadikan dunia semakin
sempit, di mana orang dari satu belahan dunia dapat berhubungan dengan orang
dari belahan dunia lain. Teknologi virtual mampu menghubungkan orang satu
dengan yang lainnya sehingga terjadi kematian jarak, sehingga tidak ada lagi
yang dapat disembunyikan artinya teknologi dapat diakses oleh orang lain begitu
pula sebaliknya bahwa dapat dengan mudah mengakses teknologi orang lain. Karenanya,
pendidik Islam harus tetap waspada dan mengontrol dengan derasnya informasi dan
kemajuan teknologi dengan memberikan pengetahuan, wawasan dan skill yang merujuk kepada pendidikan
Islam yang sebenarnya sehingga dapat menjadi filter dalam menghadapi era
gobalisasi ini.
5.
Kurikulum
Setiap
kegiatan pendidikan agama Islam seharusnya diorientasikan pada pencapaian
kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kecerdasan emosional, sosial,
intelektual, intelligence, terlebih
lagi pada aspek spiritual maka dalam mencapai tujuan yang diharapkan maka
diperlukan media yang relevan di antaranya yang berupa kurikulum.
Menurut
Dedi Mulyasa, kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar dan hasil belajara
serta yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan.[25] Kurikulum adalah suatu program
pendidikan yang direncanakan, di programkan, dan dirancang sedemikian rupa
secara sistematis yang berisi bahan ajar serta pengalaman belajar sehingga
dalam program pendidikan memiliki arah dan tujuan yang akan di capai dan dari
hasil yang dicapai kita dapat merevisi ulang dan mengembangkan program
pendidikan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya sehingga suatu
kurikulum pembelajaran dapat dikatakan selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan pendidikan. Berikut ini penulis uraikan Skema Sejarah
Perkembangan Kurikum di Indonesia.[26]
Periodesasi
|
Paradigma
|
Kekhasan
Distribusi Mapel
|
Rencana
Pelajaran 1947
(Disempurnakan
beberapa
kali)
|
Pendidikan
Watak sebagai landasan dan bingkai dari pendidikan kognitif serta
kontekstualisasi mapel dalam kehidupan sehari-hari
|
Munculnya
mapel:
Budi Pekerti
|
Rencana
Pendidikan
1964
|
Pendidikan
Gotong Royong Terpimpin bersendikan lima nilai pendidikan (Pancawardhana)
|
Sistem
Klafikasi Mapel Pancawardhana: Moral. Kecedasan,Emosional/artistik,
ketrampilan dan jasmani
|
Kurikulum
1968
|
Pendidikan
yang berorientasi pencetakan manusia Pancasilais Sejati
|
Sistem
Klafikasi Mapel berbasis Tiga Kategori: Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan
Dasar dan Kecakapan Khusus
|
Kurikulum
1975
|
Pendidikan
yang berorientasi pada tujuan yang ditetapkan Pemerintah dengan Kreteria yang
terukur secara Behavioralis (Melalui Ransang Jawab dan Drill)
|
Mapel
Budi Pekerti dihilangkan, diganti dengan Dua Mapel terkait yakni Pedidikan
Agama dan Pendidikan Moral pancasila (PMP)
|
Kurikulum
1984
|
Paradigma
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan penekanan kepada aspek kognitif.
|
Mulai
muncul mapel sejarah dengan tajuk Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
|
Kurikulum
1994
|
Sistem
Kurikulum yang seragam di seluruh Indonesia ditambah muatan lokal yang
berbeda di tiap daerah serta peningkatan penekatan pada aspek kognitif.
|
Serupa
dengan
Kurikulum
1984
|
Kurikulum
2004
|
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang berorientasi pada pencapaian pengetahuan dan
keahlian dibidang yang spesifik
|
Pembentukan
Empat gugus Kompetensi utama:
Pengembangan Kepribadian (MK), Pengembangakan Keahlian Ketrampilan (MKK), Pengembangakan
Keahlian Berkarya (MKB),
Pengembangakan Perilaku Berkarya
(PPB), Pengembangakan Berkehidupan Bermasyarakat (PKB)
|
Kurikulum
2006
|
Kurikulu
Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) yang bercorak Desentralistis dengan memberi
kewenangan pada masing-masing sekolah untuk merancang Kurikulum berdasarkan
Kerangka umum yang ditetapkan Pemerintah.
|
Serupa
Kirikulum 2004
|
Kurikulum
2013
|
Orientasi
utama pada pendidikan berbasis
karakter dan menjadikan evaluasi sikap serta penghayatan agama peserta didik
sebagai komponen integral dari penilaian kesuksesan studi di setiap mapel
|
Pendididikan
agama kini disebut Pendidikan agama dan budi pekerti sementara pendidikan
Pancasila (seperti halnya sejak kurikulum 2004) disebut pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan. Pada jenjang pendidikan menengah, kini terdapat mapel
wajib Prakarya dan Kewirausahaan.
|
Kurikulum
2013
|
Masih
dievaluasi oleh Pemerintah dalam Pelaksanaan Kurikulumnya
|
|
Dalam
mereformasi kurikulum pendidikan agama Islam diharapkan dilakukan secara
terencana, ini semua dalam rangka menyiapkan peserta didik agar mengenal,
memahami, menghayati, sampai menyakini dan mengamalkan ajaran Islam secara
sempurna. Kurikulum pendidikan agama Islam bersumber dari tujuan pendidikan
Islam menjadikan manusia muslim yang bertakwa, beriman dan berilmu pengetahuan
yang dapat mengabdikan dirinya kepada Allah dengan sikap dan kepribadian yang
penuh dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mengharap ridho Allah.
Menurut
Husain Haikal bahwa dalam bidang pendidikan, hanya sibuk bergulat dengan
kurikulum atau mengganti nama sekolah, sementara mutu pendidikan makin merosot.
Indonesia seakan-akan berlari di tempat sementara Negari Jiran makin berkembang
serta bermutu dunia pendidikannya. Akibatnya, Indonesia makin kekurangan SDM
yang bermutu dan kekurangan ini diisi orang asing sehingga mereka berjumlah
sekitar 7000 orang dan menyarankan untuk bercermin pada kiprah berbagai
Perguruan Tinggi di luar negeri. Namun juga, perlu bercermin pada dinamika
Pondok Modern Darussalam Gontor, sebuah ponpes yang terus berkembang walau
dimulai dengan pendidikan anak usia dini. Dengan tekad yang kuat dan terus
melakukan berbagai terobosan, pondok mampu bertahan dan berkembang. “Salah satu
sebabnya barangkali Pondok Modern Darussalam Gontor tidak pernah mengikuti
jejak pengelolaan pendidikan Indonesia yang asyik dengan gonta-ganti kurikulum,
sementara pihak luar melihatnya sebagai salah satu contoh proyek untuk meraih
rupiah. Menariknya, Pondok Modern Darussalam Gontor tetap bertahan dengan
kurikulum yang dimilikinya dan tidak tertarik untuk berganti-ganti yang
melelahkan serta membingungkan semua pihak yang terlibat terutama para guru,
siswa, dan orang tua.[27]
Kurikulum
Pondok Gontor baru diakui pemerintah tahun 1998, jadi para alumni Pondok Gontor
sebelum tahun 1998 harus ikut paket C atau ujian persamaan. Bahkan tidak
diterima di kampus negeri sehingga hanya masuk kampus swasta. Tapi ijazah
Gontor justru diakui dunia internasional salah satunya mesir, maka banyak
lulusan Pondok Gontor yang justru kuliah keluar negeri. Tahun 1998 ijazah
gontor baru diakui oleh pemerintah. Pemimpin Gontor tidak bergeming kepada
pemerintah. Pondok Gontor tetap mempertahankan kurikulum dan buku-buku pegangan
pembelajaran gontor yang mereka susun dan tulis sendiri dan sekarang alumni
Pondok Gontor banyak diterima di STAIN, IAIN, UIN, Universitas Indonesia,
Universitas Gajah Mada dan kampus lainnya, begitu juga ke luar negeri. Pondok
Gontor telah mendapat Mua’adalah (Persamaan) dari Pemerintah Indonesia dan
melakukan MoU dengan kampus-kampus yang ada di dalam dan luar negeri.
Dengan
adanya perubahan kurikulum di Indonesia yang sudah berapa kali mengalami
perubahan akibat dari kebijakan Pemerintah yang menjabat saat itu bahkan berapa
macam metode mengajar yang ditatarkan kepada guru dianggap kurang sesuai dengan
era globalisasi dan stakeholder.
Reformasi
kurikulum pendidikan agama Islam dalam menghadapi era globalisasi diharapkan
adanya perubahan, perbaikan dan penataan kembali secara struktur menjadi lebih
baik. Kaitannya dengan kurikulum pendidikan agama Islam, agar dapat direformasi
kembali agar kurikulum pendidikan agama Islam sesuai dengan tujuan pendidikan
agama Islam sehingga dapat menghadapi berbagai masalah-masalah yang terjadi
sekarang ini khusunya dalam menghadapi era globalisasi sehingga dapat memainkan
perannya secara dinamis dan proaktif.
Usaha
yang harus dilakukan oleh para pemikir muslim dalam rangka mereformasi
kurikulum di era globalisme ini adalah dengan adanya pendidikan ilmu
pengetahuan dan perkembangan teknologi yang terkait dengan sistem agama Islam.
Ajaran Islam hendaknya dioperasionalkan dalam kenyataan, sehingga akan terlihat
dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar-benar mengikuti
prinsip-prinsip agama Islam. Berkaitan dengan era globalisasi yang cenderung
pada perubahan yang sangat cepat dan ketidakpastian ini, maka ilmuwan muslim
melalui lembaga pendidikan Islam memerlukan suatu desain kurikulum yang
berorientasi pada masa depan, memiliki fleksibelitas tinggi, diversifikasi
keahlian, serta mudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan
masyarakat dalam menghadapi era
globalisasi.
6.
Pengaruh Barat
Adanya
kekuatan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat
menimbulkan pendidikan liberalisme dan neoliberal yang konsepnya adalah
kompetisi dan persaingan. Hampir semua sekolah, taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi, didasarkan ideologi kompetisi. Kompetisi bisa memberi
manfaat, baik individual maupun sosial, tetapi dengan kondisi tertentu. Orang
yang sudah kuat dan mapan dalam ekonomi, pendidikan dan modal tidak fair jika
berkompetisi dengan mereka yang lemah. Ini bukan kompetisi yang sehat, tetapi
bisa menjadi eksploitasi dan kontraproduktif.[28]
Ketika
ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan, pendidikan tidak akan peduli
dengan nasib mereka yang kalah. Pendidikan tidak akan peduli dengan pertanyaan:
akan dikemanakan mereka yang bodoh, tidak mampu dan miskin? Pertanyaan seperti
ini tidak hanya relavan bagi kaum neoliberal, tetapi sudah jelas jawabannya:
mereka akan menjadi pecundang, tersingkir dan jadi warga kelas dua di
masyarakat. Ini adalah konsekuensi logis dari ideologi kompetisi.[29]
Pada waktu ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan, sesungguhnya
pendidikan kita hanya didesain untuk kepentingan para pemenang, yaitu mereka
yang cerdas, pandai dan kuat ekonomi dan sosial. Pendidikan kita tidak mampu,
bodah dan lemah ekonomi dan sosial. Dengan demikian sebenarnya ideologi hanya menjustifikasi
privilese orang-orang yang sudah
kuat. Kemudian pola kapitalisme pendidikan di Indonesia yang tidak lepas dari grand design paham kapitalisme global.
Kalau dulu pemerintah kolonial Belanda hanya memberikan kesempatan kepada
penduduk pribumi untuk sekolah sampai SR, sementara itu golongan ningrat saja
yang memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ada
beberapa faktor munculnya kapitalisme pendidikan di Indonesia diantaranya
adalah orientasi pendidikan bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau
membangun karakter bangsa menuju insan kamil,
akan tetapi berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk pemenuhan teknis perusahaan asing yang jelas pro
Barat dan kapitalis.[30]
Adanya
pengaruh Barat berupa pendidikan liberal, neoliberal dan kapitalisme akan
berakibat kepada nila-nilai agama Islam yang mulia yang telah tercipta akan
terpengaruh dengan pola pikir Barat ini sehingga nilai-nilai ajaran pendidikan
agama Islam telah banyak luntur karena pengaruh Barat di era globalisasi ini
yang tidak mengenal moral dan akhlak, ini juga disebabkan menjunjung tinggi kebebasan
berpendapat dan melakukan sesuatu sesuai hak asasinya, oleh karena itu umat
Islam melalui pendidikan Islam harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi
arus globalisasi ini.
Selain
itu, tantangan yang dihadapi oleh dunia muslim di era globalisasi ada dua hal,
yakni yang bersifat subyektif dan bersifat obyektif.[31]
Yang bersifat subyektif berasal dari perasaan terasing yang sedemikian mendalam
terhadap kebudayaan sendiri, sebagai akibat dominasi budaya barat yang berlangsung
sedemikian lama. Perasaan terasing ini nampak jelas dalam rasa rendah diri,
dalam sikap agresif terhadap orang lain, dan dalam sukarnya mencari kesepakatan
untuk bertindak. Sedangkan masalah obyektif disebabkan oleh banyaknya kaum elit
berpendidikan barat yang berkuasa di Negara kita untuk menjalankan dan
mengandalkan lembaga-lembaga budaya warisan barat.
Kelompok
ini telah dididik jauh untuk melaksanakan tugas-tugas atau tujuan tertentu, dan
mereka memiliki ketrampilan yang memadai dan memanipulasi lembaga-lembaga
imperial agar bekerja sesuai dengan kehendak penjajah. Imperialism budaya barat
telah berhasil mempengaruhi dan menggerogoti keyakinan, nilai-nilai, sikap dan
etika.
Dalam
konteks ini pendidikan agama Islam memainkan peranan yang penting di dalam
proses globalisasi. Reformasi pendidikan agama Islam bukan hanya pelengkap
tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam
berbagai proses globalisasi sebab begitu urgenya peran pendidikan agama Islam
dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya memahami sejauh mana posisi
pendidikan agama Islam di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan dan
negara. Untuk itu, perlu usaha-usaha yang keras menghadapi globalisasi harus
dikerjakan oleh pemikir muslim. Reformasi Pendidikan merupakan salah satu
bentuk terwujudnya human capital
harus didesain sedemikian rupa sekiranya mampu mencetak sumber daya manusia
yang tetap kukuh keimanan dan ketakwaannya, siap berlaga dan sukses di era
globalisasi.[32]
7.
Paham Keagamaan
Para
pemegang kebijakan dan para pemikir Islam hendaknya tetap melakukan pengawasan
terhadap masuknya paham keagamaan yang ekstrim, eksklusif dan fundamentalis di
era globalisasi ini. Karena paham keagamaan mudah terpengaruh untuk melakukan
kegiatan yang akan mengganggu ketertiban masyarakat, bangsa dan negara, dan
akan merusak citra Islam sebagai agama
damai, sejahtera, tentram, ramah, toleransi dan kasih sayang.
Mohammad
Daud Ali mengemukakan ciri-ciri pemahaman keagamaan gerakan sempalan sebagai
berikut: (1) pemahaman yang tekstual yang statis terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadis; (2) pemahaman yang bersifat dupikasi tetadap pola umat Islam awal
(masa Nabi dan para sahabat), (3) pemahaman keagamaan yang berdimensi sufisme
dan menilai kehidupan kini sebagai realitas yang tidak Islami.[33]
Sementara
itu Azyumardi Azra berpendapat, bahwa kemunculan dan perkembangan kelompok
“sempalan” yang cenderung eksklusif, ekstrim dan radikal dalam Islam memiliki
sejarah yang panjang dengan akar historis yang amat kompleks. Karena itu,
kajian tentang kelompok sempalan yang eksklusif dan radikal dikalangan kaum
muslimin lebih khusus lagi mahasiswa, harus melibatkan pendekatan multi
dimensional, doktrinal, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Pendekatan
yang melihat hanya dari satu sisi saja tidak hanya akan menimbulkan pemahaman
yang tidak tepar, tetapi juga akan menciptakan mis persepsi dan distorsi
terhadap citra Islam itu sendiri.[34]
Berdasarkan
hal tersebut, maka reformasi pendidikan Islam perlu memberikan pemahaman dan
penjelesan kepada masyarakat Islam khususnya terhadap paham keagamaan yang
ekstrim, eksklusif dan fundamentalis dalam rangka menghalangi atau filter serta
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan didalam suatu masyarakat atau lembaga
pendidikan.
8.
Karakter
Di dalam kehidupan sehari-hari masih ada anggota
masyarakarakat yang memiliki karakter jelek atau yang sering disebut dengan
kebobrokan akhlak, ini salah satu akibat dari era globalisasi, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui media cetak dan elektronik, mulai dari
prilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan kehidupan yang dipraktekkan,
dipertontonkan dan dicontohkan oleh orang-orang luar negeri (Barat) yang
akhir-akhir ini semakin menjurus pada kemaksiatan sehingga mengakibatkan
hilangnya karakter muslim yang sejati. Bagi
pendidikan Islam, arus global bisa menimbulkan paradoks atau gejala kontra
moralitas, yakni pertentangan dua fisi moral secara diametral, contoh guru
menekankan dan mendidik para siswanya berdisiplin berlalu lintas tetapi realita
di lapangan sopir bus tidak berlalu lintas, guru mengajar anak didiknya untuk
tidak dan menghindar tawuran antar pelajar akan tetapi siswa melihat dilayar
televisi anggota DPR RI tidak bisa mengendalikan emosinya sehingga menimbulakan
keributan dan tawuran, di sekolah diadakan razia pornografi di media televisi,
internet menampilkan pornografi termasuk iklan-iklan yang merangsang hawa nafsu
syahwat, dan lain-lain.[35]
Begitu
juga dengan pola kehidupan di barat, tentunya nilai-nilai dan pandangan-pandangan
hidup itu sangat erat hubungannya, bahkan sangat mempengaruhi Kerusakan akhlak,
moral, adab, akhlak, dan perilaku manusia. Namun di Barat dan Indonesia
mengenai nilai-nilai dan pandangan hidup itu tidak sama, maka pancarannya dan
pengalamannya dalam bentuk perilaku hidup pun menjadi tidak sama. Dalam
ketidaksamaan itu berlangsung pula proses persaingan dan berlomba untuk
mempengaruhi pola pikir dan perilaku hidup manusia penghuni bumi ini.
Pengaruhnya sangat besar pada kehidupan manusia baik sifatnya jasmaniah maupun
rohaniah (fisik, dan mental, materiil dan spiritual).[36]
Sehingga globalisasi yang cenderung bersifat westernisasi akan sangat berefek
negatif bagi umat Islam yang mudah terpengaruh dan belum kuat imannya. Seperti
mereka minum alkohol, pergi ke diskotik, mempunyai hubungan diluar nikah dan
lain sebagainya. Bagi muslim yang tidak menerima sistem kelas asli, meraka akan
cenderung menirunya, faktor pendidikan dan berkembangnya pemikiran/pandangan
seperti pada perubahan pandangan akan mencuci otak pikiran mereka hingga mereka
menerima kebiasaan-kebiasaan orang barat dan menjadikannya hal biasa.
Oleh
sebab itu, maka perlu reformasi pendidikan Islam di masyarakat atau lembaga
bahkan di dalam suatu keluarga untuk melakukan pembinaan sumber daya manusia
islami yang tetap kukuh keimanan dan ketakwaannya, siap bersaing dan tidak
terpengaruh dengan arus globalisasi yang berakibat fatal. Upaya reformasi
pendidikan Islam yang memiliki wawasan global sekarang ini bukan permasalahan
yang mudah sebab pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan, menumbuhkan nilai ajaran Islam dan dipihak lain
berusaha untuk menanamkan karakter budaya nasional Indonesia dan budaya global.
9.
Peranan Pemerintah
Pemerintah
di Indonesia yang terdiri dari pejabat yang mayoritas beragama Islam mempunyai
peranan dalam membuat kebijakan dalam mendukung pelaksanaan akan kelancaran
pendidikan Islam berupa bantuan fasiltas sarana dan prasarana, bimbingan dan
pelatihan berupa soft skill maupun hard skill kepada anak didik, tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan yang islami dalam menghadapi era globalisasi
ini.
Diharapkan
pemerintah segera mengeluarkan dan mengimplementasikan kebijakannya tentang
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang berorientasi pada kebutuhan masa
depan dan Kebijakan tentang Undang-undang Standar Nasional, yang dapat
dijadikan panduan oleh masyarakat dalam mengelola pendidikan serta mengeluarkan
kebijakan tentang UU Guru dan Dosen dan mengimplementasikan keseluruh
masyarakat sehingga kualifikasi dari tenaga pendidik dan kependidikan dapat
ditingkatkan, dengan harapan hasil dari proses pendidikan juga meningkat agar
generasi yang terproses dalam pendidikan siap untuk menghadapi kompetisi era
global dalam dunia kerja. Bermula dari tingginya tingkat kompetisi yang akan
dialami seluruh warga di dunia dengan terbukanya pintu globalisasi, maka setiap
negara tidak ada yang bercita-cita untuk menjadi tamu di negeri sendiri,
semuanya bagai berlomba untuk mempersiapkan warga negaranya untuk mampu
bertahan dalam berkompetisi global tersebut bahkan lebih tinggi lagi adalah
mampu memenangkan persaingan global tersebut, sehingga negaranya menjadi
predator utama di masa yang akan datang.
Begitu
pula dengan Indonesia, pemimpin negara atau pemerintah yang mayoritas beragama
Islam harus menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor utama dalam
mempersiapkan generasi yang akan datang sehingga mampu bertahan terhadap persaingan global
tersebut, untuk itu pendidikan menjadi prioritas utama dengan mengeluarkan
kebijakan bahwa pendanaan pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari APBN dapat
terealisasi dan tepat sasaran dalam penyalurannya. Harapannya agar pemerintah
memberikan jaminan pendidikan dan sangatlah wajar jika ada ide Jaminan
Pendidikan Nasional (Jamdiknas), yang menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan
penyelenggaraan jaminan pendidikan gratis dan berkualitas hingga sarjana (S1)
kepada seluruh anak Indonesia[37]
dan argumen tersebut bahwa jika alokasi anggaran pendidikan nasional yang
mencapai Rp 371 Trilyun ditambah APBD dan alih subsidi BBM maka alokasi
anggaran tersebut dianggap cukup untuk menyelenggarakan Jamdiknas.[38]
Tingginya
kualifikasi manusia untuk menyongsong globalisasi berdampak pada tingginya juga
standar pendidikan di Indonesia, bagaimana pemerintah menciptakan strategi yang
tepat untuk menghadapi permasalaanh pokok yang pertama yaitu tentang pemerataan
pendidikan, yaitu terlaksananya kebijakan bantuan BOS (biaya Operasional
Sekolah) atau jaminan pendidikan Nasional (Jamdiknas) yang tepat sasaran dengan
harapan dapat dijadikan pijakan mudah untuk setiap warga negara mengakses dan
mengenal serta mengikuti dunia pendidikan yang ada di Indonesia.
Sebagaimana
telah dirancang oleh Kementrian Agama dengan program 1000 Doktor pada tahun
2015 untuk kuliah di dalam maupun luar negeri dapat terealisasi dengan baik
serta bertekad mencetak 5000 Doktor yang rencana program yang akan digarap
selama 5 tahun tersebut di launching
langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.[39]
10. Dikotomi
Ilmu
Saat
ini berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Islam tersebut
sudah ada yang dapat diselesaikan, namun lebih banyak lagi yang belum
diselesaikan. Di antaranya adalah mengatasi dikotomi ilmu sudah dapat
diselesaikan melalui konsep integrasi ilmu dan berbagai pendekatan. Integrasi
Ilmu di UIN Sunan Kalijaga diselesaikan melalui konsep interkoneksitas
fungsional atau jaring laba-laba yang digagas oleh Amin Abdullah, mantan Rektor
UIN Sunan Kalijaga; konsep pohon ilmu yang digagas oleh Imam Suprayogo, mantan
Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, konsep integrasi antara ilmu-ilmu yang
berbasis ayat-ayat Qur’aniyah dengan ilmu-ilmu yang berbasis ayat kauniyah yang
digagas, Sementara Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; konsep Iman memandu ilmu, dan ilmu memandu amal yang digagas oleh
Nanat Fatah Natsir, mantan Rektor Sunan Gunung Jati, Bandung.
Dengan
demikian, apakah konsep integrasi dan integrasi ilmu ini secara substansial dan
fungsional telah diimplementasikan ke dalam konstruksi kurikulum, silabus,
proses belajar mengajar, atmosfir akademik, evaluasi dan komponen atau
manajemen pendidikan lainnya, masih memerlukan
penelitian lebih lanjut tentunya, apakah ini berhasil atau belum.
Adapun
usaha lain untuk menghilangkan dikotomi ilmu ini salah satunya dengan cara
merumuskan semua cabang ilmu pengetahuan (umum) harus diintegralisasikan dengan
ajaran-ajaran agama Islam. Artinya, ilmu-ilmu umum harus berjalan dengan
sentuhan agama Islam. Begitu juga sebaliknya, ilmu-ilmu agama Islam juga harus
berjalan dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak terdominasi
oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual, dan eskatologis, maka untuk
mewujudkan gagasan ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami, dibutuhkan
keberanian untuk melakukan ijtihad dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan
teknologi secara bersungguh-sungguh dan membangun kembali semangat reformasi
atau pembaharuan.
Selama
ini masyarakat Islam cenderung statis dan takut menerima reformasi atau
pembaharuan, karena adanya anggapan bahwa apa yang telah dirumuskan oleh
generasi terdahulu telah sempurna dan cukup lengkap untuk menjawab masalah globalisasi
apalagi adanya kerja sama yang baik antara para ilmuan dengan pemerintah. Para
ilmuan muslim diharapkan dapat mencurahkan segala kemampuannya dalam
mengembangkan, menguasai dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
dengan menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman, sedangkan pemerintah
diharapkan dapat memberikan jaminan kesejahteraan kepada para intelektual
muslim sehingga mereka mampu mencurahkan segala kemampuannya dalam usaha
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern maka dalam penyusunan
kurikulum pendidikan agama Islam yang fleksibel, dinamis, efektif dan efisien.
11. Studi
Islam di Timur dan Barat di Era Globalisasi
Pendidikan
Islam di Indonesia dihadapkan berbagai tantangan dengan berkembangnya
model-model pendidikan di era globalisasi yang dilaksanakan oleh anggota
masyarakat. Mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, pencarian
yang ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan
cita-cita pendidikan Islam.
Yang
tidak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan sebuah
lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf
internasional. Sebagaimana diketahui, orientasi pendidikan Islam di Indonesia
masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian
tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara
internasional. Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki
kualifikasi internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang
selama ini diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat.[40]
Secara
garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam di Barat;
teologis dan sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang bersumber
dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman
normatif mengenai agama-agama. Karena itu, kajian-kajian diukur dari
kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi keimanan. Tetapi dengan terjadinya
marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa atau Barat pada umumnya, kajian
teologis yang normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji
agama-agama.[41]
Sedangkan
pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman tentang fenomena
historis dan empiris sebagai manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat
agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau
kurang mempertimbangkan klaim-klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati
para pemeluk agama itu sendiri. Dan, sesuai dengan perkembangan keilmuwan di
Barat yang sejak abad ke-19 semakin fenomenologis dan positivis, maka
pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian
agama, termasuk Islam di Barat.[42]
Studi
Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan peradaban, dan bukan sebagai
agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum Muslimin melihatnya, tetap
merupakan ciri yang tak mungkin dihapus. Oleh karena Islam diletakkan semata-mata
sebagai obyek studi ilmiah, maka Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek
studi ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Hal ini dapat
dimengerti karena apa yang mereka kehendaki adalah pemahaman, dan bukannya
usaha mendukung Islam sebagai sebuah agama dan jalan hidup. Penempatan Islam
sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni “ilmiah”
tanpa komitmen apa pun terhadap Islam. Penggunaan berbagai metode ilmiah
mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, memungkinkan
lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah cukup mengagumkan,
walaupun bukan tanpa cacat sama sekali.[43]
Studi
Islam era globalisasi di Barat, yang berusaha keras menampilkan citra yang
lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam sebagai agama dan peradaban,
dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih canggih dalam
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang dipelopori oleh
sarjan-sarjana Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak perhatian dari
generasi baru pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan memberikan
dorongan lebih besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi tingkat
pascasarjana ke Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman dosen-dosennya
ke Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki dan Asia Selatan.[44]
Sementara
di tempat lain, studi Islam di Timur Tengah dianggap hanya melakukan pendekatan normatif dan ideologis terhadap
Islam. Kajian Islam di Timur merujuk dari penerimaan terhadap Islam sebagai
agama wahyu dari Allah yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan
semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada
prinsip-prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diposisikan secara mulia sesuai dengan kedudukannya
sebagai doktrin yang kebenarannya dapat dipercaya, diyakini tanpa keraguan.
Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan.
Upaya studi ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam keyakinan
dan kebaikan bagi kepentingan umat.
Orientasi
studi di Timur lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan
yang cenderung normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan
tradisi dan menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai
batas-batas tertentu, menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya
penghafalan daripada mengembangkan kritisisme. Meskipun kecenderungan ini tidak dominan,
namun pengaruh kebangkitan fundamentalisme di Timur Tengah telah mempengaruhi
orientasi pendidikannya yang lebih normatif.
Dua
orientasi studi Islam yang dikembangkan di lingkungan Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI) di Indonesia, masih dijalankan sesuai dengan tingkat keperluannya.
Namun demikian, jika dilihat dari kemajuan dan
perkembangan yang ada di STAIN, IAIN dan UIN menunjukkan kecenderungan
orientasi studi ke Barat. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya jumlah
mahasiswa yang dikirim ke universitas-universitas Barat, seperti Ohio
Institute, McGill University, Leiden University, dan sebagainya. Pasca generasi
Harun Nasution dan Mukti Ali menunjukkan meningkatnya gelombang pengiriman
mahasiswa ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis.
Walaupun
orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat, studi di Timur
Tengah tetap mempunyai nilai penting, terutama dalam memahami aspek doktrinal,
yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam. Dengan demikian, orientasi
studi islam di Timur dan Barat tetap signifikan dalam rangka pengembangan
pendidikan Islam di lingkungan PTAI seluruh Indonesia.
E.
Gerakan Reformasi Pendidikan Islam
dalam menghadapi Era Globalisasi
Gerakan reformasi
pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa mempunyai hubungan yang signifikan
dengan rekayasa bangsa tersebut di masa yang akan datang. Pendidikan selalu
dihadapkan pada perubahan, baik perubahan bentuk dan cara dalam menyikapinya
maupun perubahan suatu masyarakat. Oleh sebab itu, pentingnya reformasi
pendidikan yang relevan dengan waktu dan kebutuhan masyarakat, baik pada
konsep, kurikulum, proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga pendidikan, dan
sumber daya pengelolah pendidikan maka diharapkan pendidikan Islam harus didesain
mengikuti irama perubahan tersebut, selama tidak melanggar norma agama dan
mengikis akidah.
Dalam rangka gerakan
reformasi Pendidikan Islam secara konsesional umat Islam Indonesia memiliki
peran besar dan tanggung jawab atas perkembangan dan kemajuan Indonesia dalam
semua aspek pembangunan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Gerakan
reformasi atau pembaharuan dalam pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan
kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga ajaran Islam yang hendak dididik
dapat dimengerti dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar dapat
dirasakan makna dan faedahnya bagi rakyat Indonesia khususnya ummat Islam.
Pada awal abad 20, di
dunia muslim muncul kesadaran baru untuk melakukan reformasi pendidikan Islam
secara komprehensip dan tidak terpisahkan dari usaha islamisasi ilmu.[45]
Ini bermakna reformasi pendidikan Islam itu digagas oleh para pakar sebagai
jawaban langsung terhadap arus sekularisasi yang sangat membahayakan bagi umat
Islam. Secara subtantif, para pakar berusaha mengadakan reformasi pendidikan
Islam untuk mengembalikan pendidikan Islam ke dalam pengaruh Islam, seperti
pada masa kejayaan peradaban Islam. Akan tetapi, secara teknis pendidikan Islam
dapat beradaptasi dengan perkembangan ilmu-ilmu kontemporer, inilah yang
merupakan harapan agar reformasi pendidikan Islam dapat terlaksana dengan baik.
Ada beberapa harapan
yang menjadi faktor yang menyebabkan reformasi pendidikan Islam di Indonesia
dapat terlaksana dengan baik dan benar di antaranya adalah:
1. Telah banyak pemikiran untuk kembali
ke al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan
agama dan kebudayaan yang ada.
2. Perlawanan rasional terhadap
penguasa kolonial Belanda.
3. Adanya usaha-usaha dari umat Islam
untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.
4. Berasal dari pembaharuan pendidikan
Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas
dengan metode tradisional dalam mempelajari al-Qur’an dan Studi Islam.[46]
Selain harapan di atas, reformasi pendidikan Islam perlu
juga melibatkan lembaga pendidikan yang
terdiri atas dosen, guru, kepala sekolah dan pengawas dan sebagainya sebagai
tokoh yang digugu dan ditiru harus menjadi teladan yang baik bagi siswa. Ada
peribahasa mengatakan guru kencing
berdiri siswa kencing berlari. Ini berarti guru harus menjadi contoh yang
baik bagi siswa, jika gurunya memberi contoh yang tidak baik maka siswanya akan
lebih tidak baik lagi. Sehingga pendidikan Islam yang dijalankan guru atau
dosen tidak akan tercapai. John Locke pernah mengemukakan dalam pandangan
filsafatnya bahwa di samping membekali dengan pengetahuan akademis, tujuan
utama pendidikan adalah to instill virtue
atau menanamkan nilai-nilai kebajikan.[47]
Gerakan reformasi pada
pendidikan Islam di Indonesia mempunyai alasan di antaranya konsepsi dan
praktek pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada kelembagaannya dan isi
programnya didasarkan pada konsep atau pengertian pendidikan Islam yang sangat
sempit terutama hanya mementingkan kehidupan akhirat kelak kemudian lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang saat ini contohnya, seperti pesantren, lembaga keagamaan
keislaman, perguruan tinggi Islam swasta dianggap kurang mampu memenuhi
keperluan umat Islam dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan daya saing
masyarakat yang selalau mengalami perubahan ditambah politik bangsa Indonesia
yang sedang mengalami perubahan apalagi setelah pemilu.
Untuk itu dalam
menghadapi era globalisasi, perlu adanya gerakan dalam upaya reformasi
pendidikan Islam sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat maka
diperlukan upaya secara terencana, sistimatis dan mendasar, yaitu perubahan
pada konsepsi, isi, praktek, dan program pendidikan Islam dilakukan upaya
pembaruan sebagai berikut: (1) perlu pemikiran untuk menyususun kembali “konsep
pendidikan Islam yang benar-benar didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia,
terutama pada fitrah atau potensinya[48]
dengan memberdayakan potensi-upaya yang ada pada diri manusia sesuai dengan
harapan, tuntutan dan perubahan masyarakat, (2) pendidikan Islam hendaknya
didisain menuju pada integritas antara ilmu-ilmu naqliah dan ilmu-ilmu ‘aqliah,
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara ilmu-ilmu yang disebut ilmu umum
dan agama sebab dalam pandangan Islam, semua ilmu pengetahuan bersumber dari
Allah SWT. (3) “pendidikan didisain menuju tercapainya sikap dan perilaku
“toleransi”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam
perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau
prinsipnya yang diyakini, (4) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk
berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, (5) pendidikan yang menumbuhkan etos
kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur[49]
(6) pendidikan Islam hendaknya didisain untuk menyiapkan generasi Islam yang
berkualitas untuk mampu menjawab tantangan dan perubahan masyarakat dalam semua
sektor kehidupan, (7) pendidikan Islam perlu dikonsep secara terencana,
sistimatik, dan mendasar agar fleksibel terhadap perubahan masyarakat di era
globalisasi.
Kemudian melakukan gerakan reformasi pada kelembagaan pendidikan
Islam diaataranya yaitu menyusun visi
dan misi pendidikan Islam menghadapi era
globalisasi dan penataan dan revisi manajamen pendidikan Islam secara serius,
transfaran, demokratis, berkualitas, relevan,
berani mengambil resiko dengan kemungkinan yang ada, fleksibel dengan
masuknya siswa atau mahasiswa yang bergama non muslim, rekrutmen tenaga
pendidik dan kependidikan secara murni dan profesional terlepas dari pengaruh KKN (korupsi, kolusi, Nepotisme).
Sebagai agen of change, pendidikan Islam yang
berada dalam atmosfir globalisasi sekarang ini diharapkan dapat
memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Eksistensinya ilmuwan
Islam sebagai pembaharu diharapkan bisa melakukan perubahan dan memberikan kontribusi
yang bermakna bagi perubahan dan perbaikan umat Islam, baik pada tataran
intelektual teoritis maupun praktis dengan cara mempertahan dan menjaga hal-hal
yang masih baik dan membuat atau mengambil hal baru yang baik. Sebagaimana
ungkapan bijak: Al muhafadhoh ‘ala qodimi
al-sholih wal akhdzu bil jadidi al-ashlah.
Organisasi-organisasi
Islam hendaknya diisi dua hal yaitu, disamping pembinaan keimanan dan ketaqwaan
juga perlu mendapatkanperhatian untuk diisi peningkatan skill, produktivitas, komunikasi yang berkaitan dengan kemajuan
ekonomi, kemajuan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi serta masalah
sosial, hukum budaya, politik dan lainya. Untuk menghasilakn Sumber Daya
Manusia yang berkualitas, setiap individu harus memiliki landasan dan kemampuan
yang meliputi perilaku, kerja keras disiplin, tanggung jawab dapat dipercaya
dan sejenisnya dengan berpedoman pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.[50]
Pendidikan Islam bukan
hanya proses tranmisi dan transformasi untuk membentengi diri dari pengaruh dan
hal-hal negatif di era globalisasi.
Tetapi yang paling urgent adalah bagaimana nilai-nilai nilai akhlak, etika,
estetika moral yang telah ditranmisi dan ditransformasi melaui pendidikan Islam
tersebut dapat teraktualisasikan di dalam kehidupan sehari-hari dan mampu
berperan sebagai kekuatan untuk menghadang semua permasalahan hidup mulai dari
kebodohan, kesengsaraan, kemiskinan, pengaruh barat, faham keagamaan yang
menyesatkan dan keterbelakangan di bidang ekonomi, pendidikan , sosial dan
budaya khususnya dalam menghadapi era globalisasi.
Bagi Lembaga Pendidikan
Islam, jika agama telah dijadikan sebagai landasan untuk kemajuan di dunia dan
akhirat maka dalam menghadapi globalisasi, di Indonesia hendaknya model
pendidikan perlu dipararelkan dan diintegrasikan dan inipun bisa
dilakukan di lembaga pendidikan umum yang di dalamnya ada guru atau dosen yang
beragama Islam agar berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu alam (qauniyyah) yang dikuasainya dengan
ayat-ayat al-Qur’an (qauliyyah)
ditambah dengan nilai-nilai karakter mulia.
Sebagaimana tujuan
pendidikan Islam ditegaskan bahwa: ”The
aim of education in Islam is to produce a good man” yang bermakna bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah menghasilkan pribadi manusia yang baik. Adapun
hal yang berkenaan dengan kebaikan selalu dihubungkan dengan etika, estetika, moral,
akhlak, dan adab dalam percapaian mutu kebaikan dimensi spiritual dan material
manusia. Pendidikan Islam diharapkam dapat membantu dalam menyenpurnakan
kepribadian seseorang atau kelompok untuk melakukan tugas-tugas kekholifaannya
di muka bumi secara baik dan benar. Sebab itu pendidikan Islam selain sebagai
proses pembinaan fitrah/potensi pribadi sekaligus merupakan transformasi
kebudayaan dan peradaban sehingga eksistensi dan pengembangan hidup umat Islam
berlangsung dengan damai, sejahtera dan bahagia dunia dan akhirat.
Usaha dalam mereformasi
pendidikan Islam yang berwawasan global diharapkan dapat dilaksanakan dengan
cara yang benar dan memiliki strategi yang tersusun rapi, jika nilai dan ajaran
tersebut dapat memasuki reliung-reliung pendidikan Islam sampai pada
akar-akarnya kemungkinan pendidikan akan menemukan jalan keluar, pendidikan
Islam yang bewawasan global yang diinginkan adalah pemikiran yang berkelanjutan
yang harus dikembangkan melalui pendidikan untuk menghadapi persaingan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika tidak pendidikan akan semakin
tertinggal terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
F.
Simpulan
Globalisasi bagi umat
Islam tidak penting untuk diributkan, diterima ataupun ditolak, namun yang
paling penting dari semua adalah seberapa besar peran Islam dalam menata umat
manusia menuju tatanan dunia baru yang lebih maju dan beradab. Ada atau
tidaknya istilah globalisasi tidak menjadi masalah, yang penting ajaran Islam
sudah benar-benar diterima secara global, secara mendunia oleh segenap umat
manusia, diterapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi, dalam berkeluarga,
bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Globalisasi ini dapat
menjadi peluang dan bisa juga menjelma sebagai tantangan bagi pendidikan Islam
atau arus globalisasi itu bukan lawan atau kawan bagi pendidikan Islam,
melainkan sebagai dinamisator. Jika pendidikan Islam mengambil posisi anti
global, maka akan stagnan tidak bergerak dan pendidikan Islam akan mengelami
penghambatan intelektual. Sebaliknya bila pendidikan Islam terseret oleh arus
global, tanpa daya identitas keislaman sebagai sebuah proses pendidikan akan
dilindas. Oleh sebab itu, pendidikan
Islam harus memposisikan diri dengan menakar arus global, dalam arti yang
sesuai dengan pedoman dan ajaran nilai-nilai Islam agar bisa direformasi, diadopsi dan dikembangkan. Sedangkan jika ada
yang tidak sesuai dengan pedoman dan ajaran nilai-nilai Islam tidak perlu
dipakai bahkan ditinggalkan. Namun jika pendidikan Islam itu menutup diri akan
ketinggalan zaman, sedangakan jika membuka diri beresiko kehilangan jati diri
atau kepribadian. Namun jika agama dapat dijadikan sebagai pedoman untuk kemajuan di dunia dan akherat, maka
dalam menghadapi globalisasi, di Indonesia hendaknya model pendidikan
diintegrasikan. Apalagi jika bisa diintegrasikan antara ilmu-ilmu alam (qauniyyah) yang dikuasainya dengan
ayat-ayat al-Qur’an (qauliyyah) maka
pendidikan Islam yang harus dipertahankan adalah sikapnya yang tetap selektif,
kritis, dan terbuka terhadap munculnya pergolakan arus global, bukan dengan
sikap yang menutup diri atau terseret arus global sehingga mengikis identitas
pendidikan Islam itu sendiri maka perlu upaya memformulasikan kembali teori dan
praktek pendidikan Islam secara benar sehingga kontekstual terhadap arus global
dengan menghilangkan batas pendidikan Islam yang dikotomik menuju pendidikan
yang integralistik.
Selain itu Pendidikan Islam hendaknya kembali kepada
sumber aslinya yaitu Qur’an dan Hadits, dengan tetap berusaha menambah dan
memperluas wawasan terhadap kemajuan zaman, modernitas, sain dan teknologi.
Sehingga pada gilirannya out put pendidikan Islam akan mempunyai kesalehan
berfikir, kesalehan berbudi, dan kesalehan dalam perbuatan maka Pendidikan
Islam sebagai dasar, pedoman landasan,
dan inspirasi untuk kemajuan dunia dan akherat harus diajarkan sejak di sekolah
yang paling rendah sampai dengan studi Islam informal di majlis taklim dan
pengajian-pengajian samapi perguruan tinggi.
Harapannya agar para
ilmuwan muslim, pejabat pemerintah yang beragama Islam dan praktisi pendidikan
Islam serta partisipan harus berusaha untuk dapat mengatasi segala permasalahan
di era globalisasi ini dan dapat memberdayakan segala potensi berupa pemikiran,
jiwa, raga atau harta yang yang dimiliki serta lembaga Islam untuk kemajuan
pendidikanIslam dan kemaslahatan ummat [.]
REFERENSI
al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz, Bab
Ma Qila fi Auladil Musyrikin, dan Bab Idza
Aslamash Shabiyyu fa Mata hal Yushalla ‘alaihi. Dan Muslim dalam Kitabul Qadar, Bab Ma’na Kullu Mauludin
Yuladu ‘alal Fithrah.
Al-Djamali, Fadhil, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam,
Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1993
Ali, A. Mukti., Ijtihad, Dalam Pandangan Muhammad abduh, Ahmad
Dahlan dan Muhammad Iqbal, Jakarta: Bulan Bintang 1990
Asrohah, Harun., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos, 1999
Azizy Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran
Islam, 2003
Azra, Azyumardi., Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju
Milinium Baru, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2000
Bakar, M Yunus Abu., Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, Ponorogo: Darussalam, 2012
Danim, Sudarman., Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Daulay, Haidar Putra.,
Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007
Ensiklopedi
Islam, Jakarta: Penerbit
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern,
(terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 2001
Fadjar, A. Malik., Visi Pembaharuan Pendidikan Islam,
Jakarta: LP3NI. 1998
Faisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995
Gibb, HAR. Modern Trends In Islam, New York:
Octagon Book, 1978
Hidayat, Komaruddin.,
Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995
Ja’far, Syah Idris
Ahmad Farid., (ed), Perspektif Muslim
Tentang Perubahan Sosial, Terjemahan, Budiman: Bandung. 1988
Jasin, Anwar.,
“Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis”, Makalah Seminar Nasional, Jakarta, 1985
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
Yayasan Bintang Budaya, 1995
Locke, John, Some Thoughts Concerning Education, 1963
Lubis, M. Solly, Umat Islam Dalam Globalisasi, Jakarta:
Gema Insani Press. 1997
Muhadjir, Noeng.,
“Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Persepektif Modern” Makalah
Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem Metodologi dan
Materi di Pondok Modern Gontor, 31 Agustus 1996
Mulyasa, Dedi., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
Bandung: Rosda, 2007
Nata, Abuddin., Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Bandung: Angkasa, 2003
Qodri, Azizy., Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta:
Erlangga, 2005
Siradj, Sa’id Aqiel.,
Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban
Modern: Pesantren Masa Depan, Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial, Tiara Wacana, Yogya, 2000
Tafsir, A., Cakrawala Penididikan Islam, Bandung:
Mimbar Pustaka, 2004
Tafsir, Ahmad., Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, Bandung: Rosda, 2008
Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Islam
dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998
Usa, Muslim., Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita
dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991
Yusril Ihza Mahendra,
“Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam
Indonesia”, Jurnal Ulumul Qur'an,
No. 3 Vol. 5 Tahun 1994
Jurnal,
Laman dan Web
Antara News, diakses
pada tanggal 30 April 2014
http://birokrasi.kompasiana.com,
diakses tanggal 2 Januari 2014
http://kamusbahasaindonesia.org/reformasi/mirip,
diakses tanggal 20 Desember 2014
http://nasional.kompas.com, diakses
tanggal 2 Januari 2014.,
http://pendis.kemenag.go.id, diakses pada
tanggal 28 Desember 2014
http://pjjpgsd.dikti,, diakses pada
tanggal 5 September 2014.
http://www.merdeka.com,
diakses tanggal 2 Januari 2014
http://www.uny.ac.id/berita/uny,
diakses tanggal 29 Desember 2014
Khamami Zada, “Orientasi
Studi Islam di Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan
PTAI”, Istiqro: Jurnal Penelitian
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam
RI, Vol, VI/No. O2/2003, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia,
2003
Republika, diakses
pada tanggal 28 April 2014
[1] John L.
Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), (Bandung:
Penerbit Mizan, 2001), h. 345.
[4] H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Islam
dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera
Indonesia, 1998), h.
25.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2008),
h.24
[10] HR. al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz,
Bab Ma Qila fi Auladil Musyrikin, dan Bab Idza Aslamash Shabiyyu fa Mata hal
Yushalla ‘alaihi. Dan Muslim dalam
Kitabul Qadar, Bab Ma’na Kullu Mauludin Yuladu ‘alal Fithrah.
[12] Dalam hal ini Abduh mengajak memahami agama
Islam dengan mengikuti ulama-ulama salaf sebelum timbulnya perpecahan, untuk
itu ummat Islam dalam usaha memahami ajaran Islam harus kembali kepada
sumbernya yang pertama yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Langkah selanjutnya
adalah memperbaiki bahasa Arab dan memperbaiki pergaulan hidup ummat Islam
khususnya bangsa Mesir, dengan menginsyafkan pemerintahan dan rakyat tentang
hak dan kewajiban. Lebih lengkap lihat A. Mukti Ali, Ijtihad, Dalam Pandangan Muhammad abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad
Iqbal (Jakarta: Bulan Bintang 1990);
lihat juga HAR. Gibb, Modern Trends In Islam, (New York: Octagon Book, 1978), h.92
[13] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Transisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 64
[14] M Yunus Abu Bakar, Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Ponorogo: Darussalam, 2012), h.137
[16]Al-Djamali, Fadhil, Menerebas
Krisis Pendidikan Dunia Islam. (Jakarta: PT. Golden Terayon Press,1993), h.23
[17] Sedangkan John
Dewey, seperti yang dikuti oleh A. Malik Fadjar mengatakan bahwa pendidikan
merupakan suatu kebutuhan hidup (a necessity of life), sebagai
bimbingan (a
direction),
sebagai sarana pertumbuhan (a growt) , yang mempersiapkan dan
membukakan serta membentuk disiplin hidup. Pendidikan mengandung misi
keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan terjadi. Lihat A.
Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI.
1998), h.
54
[18] Muslim Usa, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita
dan Fakta, (Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1991), h. 11
[19] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Melenium Baru, Logo
(Macana
Ilmu, Jakarta, 1999), h.57
[21] Komaruddin
Hidayat, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 114
[22] Noeng Muhadjir, “Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Persepektif
Modern” Makalah
Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem Metodologi dan
Materi di Pondok Modern Gontor, 31 Agustus 1996
[23] Beberapa contoh
kasus yang sedang diselidiki dan disidik oleh aparat hukum ialah pengadaan alat
laboratorium komputer di Kampus Universitas Negeri Jakarta, lihat;
http://birokrasi.kompasiana.com, diakses tanggal 2
Januari 2014;
Kasus selanjutnya adalah korupsi proyek instalasi Informasi Teknologi (IT)
perpustakaan Universitas Indonesia (UI), lihat http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 2 Januari 2014., Kasus serupa juga terjadi pada level SD
terdapat sebuah kasus yang melibatkan salah satu Kepala SDN Nursia Nainggolan
di Nadeak Bariba, Kecamatan Ronggur Nihuta, Kabupaten Samosir, dijatuhi hukuman
setahun penjara pada sidang di Pengadilan Tipikor, Medan. Dia terbukti
mengorupsi dana BOS periode Juli 2009- Desember 2010 senilai Rp 30,7 juta.
Selain hukuman penjara, Nursia juga dibebani hukuman denda sebesar Rp 50 juta
subsider sebulan penjara, lihat http://www.merdeka.com, diakses tanggal 2 Januari 2014
[24] Sa’id Aqiel
Siradj, Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern: Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 2
[28] Sesuai dengan paradigma berfikir
neoloberal, dalam kompetisi harus ada pemenang dan pecundang. Ketika ideologi
kompetisi dijadikan basis pendidikan, output pendidikan hanya akan menghasilkan
pemenang dan pecundang. Kita tidak sadar, ideologi kompetisi yang diciptakan
neoliberal didesain untuk kepentingan pemenang. Karena yang mendesain,
menyebarkan dan mendesakkan kepada publik adalah pemenang, yaitu mereka yang
kuat secara ekonomi, politik, pendidikan dan modal. Di sini pertautan antara
pengetahuan dan kekuasaan ala foucaltion
atau pengetahuan dan kepentingan ala Habermas menjadi jelas.
[29] Ideologi kompetisi tidak pernah mempertanyakan secara kritis: mereka mereka
kalah? Apakah mereka tidak mampu atau karena ada faktor lain yang memuat mereka tidak bisa
bersaing ? Tentu tidak adil dan tidak fair, anak yang sejak kecil mendapat
pendidikan yang memadai dan elite bersaing dengan anak yang hanya sekolah di
madrasah pelosok desa/ Karena, kompetisi mensyaratkan adanya kesetaraan dari
partisipan yang berkompetisi.
[30] Kebijakan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Riatas perbandingan, lihat M Yunus Abu Bakar, Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, h. 152
[31] Syah Idris
Ja’far, Ahmad Farid (ed), Perspektif Muslim Tentang Perubahan Sosial., Terjemahan, (Budiman:
Bandung. 1988) h.
146
[33] Khamami Zada, Orientasi
Studi Islam di Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan
PTAI”, Istiqro: Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam RI, Vol, VI/No. O2/2003, (Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia, 2003, h.12
[34] Azra, Azyumardi, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:Logos Wacana
Ilmu, 1999), h.23
[35] Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan
Sistem Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 64
[39] http://pendis.kemenag.go.id,
diakses pada tanggal 28 Desember 2014
[40] Khamami Zada, “Orientasi Studi Islam di Indonesia
Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI”, Istiqro:
Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Vol, VI/No. O2/2003,
(Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2003), h.1.
[43] Yusril Ihza
Mahendra, Studi Islam di Timur dan Barat
dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia, dalam Jurnal
Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun 1994), h 14.
[46] Haidar Putra
Daulay, (Sejarah Pertumbuhan
dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia , (Jakarta:
Kencana, 2007), h.
57-59
[48] Anwar Jasin, “Kerangka
Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis”, Makalah Seminar Nasional, (Jakarta, 1985), h. 7
[50] Azizy Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, (Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 2003), h.
122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar