INISIASI PROGRAM TRANSFORMASI NILAI-NILAI ISLAM
M.
Ihsan Dacholfany[2]
Lembaga pendidikan merupakan suatu wadah di mana aktifitas proses belajar
mengajar dan aktifitas yang di dalamnya ada pendidik dan peserta didik yang
diharapkan adanya inisiasi transformasi nilai-nilai islami dengan melakukan pendekatan dalam bentuk
kegiatan kurikuler
seperti kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di kelas dan Pendekatan
dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler dengan melihat beberapa aspek yang perlu
dilakukan seperti tingkah laku dan
perbuatan, fisik dan aktifitas maupun kegiatan yang ada dalam lingkungan
lembaga pendidikan sehingga apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan, visi dan
misi lembaga pendidikan tersebut yang semuanya
memerlukan waktu yang panjang, keteladanan dan dukungan dari para pengelola, penganjur agama, guru/dosen, orangtua sampai pemerintah serta lingkungan yang mendukung
demi tercapainya cita-cita dan harapan yang diinginkan.
A. Pendahuluan
Pembangunan nasional
di Negara Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan diharapkan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kemajuan mutu manusia Indonesia
yang memiliki keimanan, ketakwaan serta berakhlak mulia dengan menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, berkembang, beradab. adil dan makmur sehingga kemajuan-kemajuan
tersebut mampu memberikan nilai positif dan tentu saja tidak sedikit sisi
negatifnya. Jika setiap orang tidak memiliki
kewaspadaan terhadap ekses negatif
kemajuan ini, maka secara langsung kemajuan pasti berpengaruh terhadap
nilai-nilai, adat budaya, maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
khususnya dunia pendidikan, sebagai akibatnya, media internet dan televisi
khususnya, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang
atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral,
untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang
mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Sementara itu media televisi,
sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya
memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya[3],
namun perlu dicatat bahwa sejak munculnya era televisi dibarengi dengan
timbulnya ratusan channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang
menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang
Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tidak terkecuali televisi.
Hasan mengatakan bahwa kemajuan dan perkembangan
teknologi yang telah berhasil membuat dunia semakin kecil, membawa pengaruh
yang besar pada norma-norma dan sistem nilai masyarakat, perilaku manusia
organisasi, struktur keluarga, mobilitas masyarakat, kebijakan pemerintah, dan
sebagainya”[4]. Mencermati
beberapa gejala-gejala yang terjadi pada akhir-akhir ini maka tugas guru atau
dosen sebagai pendidik adalah menanamkan
nilai-nilai Islam kepada peserta didik dengan kokoh agar nilai-nilai yang
diajarkan kepadanya menjadi sebuah keyakinan yang dapat membentengi diri dari
berbagai ekses-ekses negatif.
Sebagai bangsa yang beragama, sebenarnya mempunyai akar yang sangat kuat dalam hal moralitas dan
etika bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara khusus
menekankan pentingnya pendidikan bagi peningkatan keimanan dan akhlak.
”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia[5]
Pendidikan Agama Islam yang ada di sekolah atau kampus baik
di bawah naungan Kementrian Agama maupun naungan
Kementrian Pendidikan Nasional yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari sistem pendidikan
nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
rakyat menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[6]
Lembaga pendidikan umum dan lembaga Pendidikan Islam
khususnya seyogyanya dapat meningkatkan kualitas warga sekolah/kampus yang beriman, bertakwa, dan
berakhlak mulia yang merupakan ranah Pendidikan Agama dan Keagamaan yang
seyogyanya dirumuskan melalui pendekatan yang komprehensif, sehingga mampu
menjelaskan realitas keagamaan yang sebenarnya. Hal tersebut sebagai
landasan pengembangan cara, proses pengembangan dan pencapaian tujuan
pendidikan.
Dalam rangka mewujudkan lembaga pendidikan yang memiliki
nilai-nilai islami dalam tatanan peran, peluang, dan
tantangan diperlukan proses
yang tidak mudah, oleh sebab itu, diperlukan beberapa upaya yang harus
dilakukan di antaranya dengan memberikan penyadaran dan pendidikan yang optimal
kepada setiap warga sekolah maupun kampus, untuk itulah penulis tertarik menulis
tentang bagaimana inisiasi program transformasi nilai-nilai Islami di lembaga
pendidikan.
B. Permasalahan
a. Apa kendala yang dihadapi dalam mengaktualisaikan program internaslisasi nilai-nilai Islam di lembaga
pendidikan ?
b. Bagaimana Inisiasi Program dalam mengaktualisaikan program internaslisasi nilai-nilai Islam di mbaga
pendidikan ?
C.
Kajian Teori
1.
Transformasi
Kata transformasi berasal dari bahasa latin transformare, yang
artinya mengubah bentuk. Menurut pendapat S. Wojowasito dan Tito Wasito”transformasi”
berasal dari kata formation Inggris) berarti bentuk[7].
Secara etimologi (lughawy)
Komaruddin dalam bukunya Kamus Riset menyebutkan bahwa transformasi
adalah “perubahan bentuk atau struktur, (konversi dari suatu bentuk kebentuk
yang lain)”. Secara terminologi (istilah) kata transformasi memiliki
multi-interpretasi. Keberagaman tersebut dikarenakan berbedanya sudut pandang
dan kajian. Sebagai bahan kajian penulis menyodorkan beberapa pendapat dan
pandangan para pakar, baik yang menyentralkan kajiannya pada disiplin keilmuan
sosiologi, antropolgi, maupun bahasa[8].
Pengertian mengenai istilah transformasi sebagaimana yang diungkapkan
Dawam Raharjo. Pertama, Transformasi berkaitan dengan pengertian yang menyangkut
perubahan mendasar berskala besar dalam masyarakat dunia, yang beralih dari
tahap masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Kedua pengertian
tentang terjadinya transformasi itu timbul dari kajian historis, yang
menyimpulkan bahwa selama kurang lebih dua atau tiga abad terakhir telah
terjadi perubahan fundamental dari masyarakat agraris-tradisional kemasyarakat
industrial modern[9].
Dalam buku yang berjudul Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi,
yang ditulis oleh Kuntowijoyo secara eksplisit menyebutkan bahwa transformasi
merupakan sebuah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia karena
dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat diketahui,
yakni keadaan pra-perubahan dan pasca-perubahan[10].
Hendropuspito menyatakan, “transformasi” dapat berarti juga mengubah kesetiaan
manusia adat kepada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi dan membentuk
kepribadian manusia yang ideal. Bersamaan dengan itu transformasi berarti pula
membina dan mengembangkan nilai-nilai sosial adat yang pada intinya baik dan
dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas[11].
Transformasi tidak hanya bermaksud menjelaskan dan mengubah realitas
sosial, tapi juga memberi interpretasi, mengarahkan dan membawa perubahan-perubahan
mendasar kedalam kehidupan umat Islam. Transformasi berbeda dengan rekayasa
karena transformasi merupakan perubahan yang bersifat alamiah dan keharusan
sejarah yaitu adanya proses dialektis dalam kesadaran masyarakat.
Perbedaan itu terlihat karena rekayasa lebih bersifat artifisial karena
tuntutan satu golongan atau stratifikasi sosial tertentu. Rekayasa bisa
menimbulkan revolusi atau perubahan secara mendadak sedangkan transformasi
bersifat evolusi/bertahap.
Paradigma transformasi menginginkan agar perubahan sosial dalam suatu masyarakat hendaknya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri secara demokratis. Transformasi juga difahami dalam kaitannya dangan doktrin atau ajaran moral dan etika Islam, karena perubahan-perubahan kearah sistem ekonomi atau kondisi ekonomi yang Islami memerlukan proses transformasi[12]
Paradigma transformasi menginginkan agar perubahan sosial dalam suatu masyarakat hendaknya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri secara demokratis. Transformasi juga difahami dalam kaitannya dangan doktrin atau ajaran moral dan etika Islam, karena perubahan-perubahan kearah sistem ekonomi atau kondisi ekonomi yang Islami memerlukan proses transformasi[12]
Adanya cita-cita atau kehendak atau perubahan yang diidamkan masyarakat
dalam sebuah transformasi pada hakikatnya adalah perubahan yang didasarkan pada
cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi dan transeden. Kontowijoyo memaparkan
maksud dari ketiga hakikat tersebut, yaitu, “humanisasi/emansipasi ditujukan
untuk memanusiakan manusia, liberasi ditujukan untuk pembebasan bangsa dari
kekejamaan, kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan pelimpahan, dan
transenden adalah menambahkan dimensi transenden dalam budaya.
2.
Inisiasi
Secara istilah, seperti yang ditulis oleh Henrik Bognan dalam Western
Esotericism and Rituals of Initiation menjelaskan, inisiasi berasal
dari bahasa Latin, initiare, yang berarti “memulai”. Ada juga yang mengartikan bahwa asal katanya dari inisiate (bahasa Inggris), yang berarti mengawali, memulai ke
sesuatu yang baru[13].
Inisiasi berasal
dari kata bahasa Latin, initium, yang berarti masuk atau permulaan,
secara harafiah
berarti masuk ke dalam[14]. Dapat juga diartikan bahwa inisiasi adalah permulaan suatu kehidupan baru dalam tatanan hidup baru. Inisiasi
sebenarnya hanyalah istilah berguna dalam pembukaan jiwa. Dapat dilihat, banyak
orang disibukkan oleh begitu banyak jenis hambatan, baik terlihat maupun tidak,
jadi yang disebut inisiasi adalah proses untuk membuka gerbang kebijaksanaan
dan membiarkannya mengalir melalui dunia ini.
Dalam makalah ini penulis mendiskripsikan bahwa inisiasi program
trafnsformasi nilai-nili Islami di lembaga pendidikan maksudnya lembaga
pendidikan yang di dalamnya ada pendidik dan peserta didik agar membuat rencana
program yang baru untuk memulai tatanan
hidup dan kebiasaan serta aktifitas
dengan nilai-nilai yang islami.
3.
Nilai
Nilai dapat dimaknakan oleh para ahli dengan berbagai macam pengertian, sehingga terdapat beberapa
pengertian. Adanya perbedaan pengertian tentang nilai ini dapat dimaklumi oleh para
ahli itu sendiri karena nilai tersebut sangat erat hubungannya dengan
pengertian-pengertian dan aktivitas manusia yang komplek dan sulit ditentukan
batasannya. Bahkan, karena mendapat kesulitan sehingga dianggap bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak
dapat didefinisikan, tetapi hanya dapat dialami dan dipahami secara langsung.
Menurut EM Zul Fajri
Ratu Aprilia Senja bahwa nilai-nilai
adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan[15],
sedangkan Nilai-nilai menurut Bertens merupakan sesuatu yang menarik bagi kita,
sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan
diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik[16].
Sidi Gazalba sebagaimana dikutif Chabib Toha, mengartikan nilai sebagai
berikut: Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan
benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut
pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak
dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi [17].Sedangkan
Menurut Louis O. Kattsof nilai diartikan sebagai berikut:
1.
Nilai merupakan kualitas empiris
yang tidak dapat didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara
langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak
semata-mata subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti yang terletak pada
esensi objek itu.
2. Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada
dalam kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika
berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan. Pengertian ini
hampir sama dengan pengertian antara garam dan emas tersebut di atas.
3. Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian
nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.
4. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah ada
sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai
itu bersifat objektif dan tetap[18].
Senada oleh Darajat, Una (dalam
Thoha, 1996 : 60) menjelaskan bahwa
nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berbeda dalam ruang lingkup sistem
kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan,
atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.
Dari beberapa pengertian tentang nilai di atas dapat difahami bahwa nilai
itu adalah sesuatu yang abstrak, ideal, dan menyangkut persoalan keyakinan
terhadap yang dikehendaki, dan memberikan corak pada pola pikiran, perasaan,
dan perilaku. Dengan demikian untuk melacak sebuah nilai harus melalui
pemaknaan terhadap kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan
sikap seseorang atau sekelompok orang.
Dengan demikian pendidik
tidak hanya mentranferkan keilmuan (knowledge),
tetapi juga menstransformasikan nilai-nilai (value) pada peserta didik.[19]
4.
Islam
Isi ajaran Islam yang diserukan Nabi Muhammad dapat
diketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diakui keabsahannya oleh para
ulama hadits. Islam yang dibawa Nabi Muhammad merupakan hidayah yang sempurna
bagi seluruh umat manusia. Allah menurunkan Islam ini secara sempurna dan
menyeluruh sehingga tidak ada satu persoalan pun yang menyangkut kehidupan
manusia yang tidak diatur. Islam memuat aspek hukum –halal-haram, mubah-makruh,
fardhu-sunnah—juga menyangkut masalah akidah, ibadah, politik, ekonomi, perang,
damai, perundangan, dan semua konsep hidup manusia.
5.Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan saat ini sangat penting eksistensinya
bagi kelancaran proses pendidikan khususnya dalam kegitan belajar mengajar, Apalagi lembaga
pendidikan itu dikaitkan dengan konsep Islam, lembaga pendidikan Islam
merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman
melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita umat Islam.
Keluarga, masjid, pondok
pesantren dan madrasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mutlak
diperlukan disuatu negara secara umum atau disebuah kota secara khususnya,
karena lembaga-lembaga itu ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan
sesuatu yang sangat berharga, begitu juga para pencetak sumber daya manusia
yang berkualitas dan mantap dalam aqidah keislaman.[20]
Lembaga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bakal dari
sesuatu[21].
Asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan,
badan atau organisasi yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang
keilmuan sedangkan
menurut Ensiklopedi
Indonesia, lembaga pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola
demi mencapai hasil pendidikan yang diinginkan[22].
Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam alat-alat pendidikan,
jadi badan/lembaga pendidikan yaitu organisasi atau kelompok manusia yang
karena sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya
pendidikan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan wajar.
Secara terminology lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat
berlangsungnya proses pendidikan Islam, lembaga pendidikan itu mengandung
konkirit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan
adanya norma- norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab
pendidikan itu sendiri[23].
D. Metodologi
Penelitian
Metode Penelitian makalah ini adalah dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Metode deskriptif
analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk
memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian,
memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh menerangkan
hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Sukmadinata mengungkapkan
bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar
dan ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang
ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia[24].
Adapun
studi kasus (case study) merupakan metode untuk menghimpun dan
menganalisis data berkenaan dengan sesuatu kasus. Studi kasus merupakan suatu
penelitian yang dilakukan terhadap suatu "kesatuan sistem". Kesatuan
ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat
oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Studi kasus umumnya menghasilkan
gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisa kasus dalam satu
jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu
peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup
terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan. Sesuai dengan kekhasannya,
bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas. Maka persoalan
pemilihan sampel yang menggunakan pendekatan tersebut tidak sama dengan
persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif. Sebagai implikasinya,
penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak dapat digeneralisasikan,
oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif dengan variasi metode
studi kasus, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang
dirumuskan di awal untuk diuji kebenarannya, hal ini sesuai dengan yang
dungkapkan oleh Arikunto bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan
penelitian non hipotesis. Kalaupun dalam perjalannnya terdapat hipotesis, ia
mencuat sebagai bagian dari upaya untuk membangun dan mengembangkan teori
berdasarkan data lapangan (grounded theory)[25].
Pendekatan kualitatif interaktif
sengaja dipilih karena penulis menganggap bahwa karakteristiknya sangat cocok
dengan masalah yang menjadi fokus penelitian.
Terdapat beberapa
karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut :
1.
Latar alamiah; secara ontologis suatu objek harus
dilihat dalam konteksnya yang alamiah, dan pemisahan anasir-anasirnya akan
mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu.
2.
Manusia sebagai instrumen; Peneliti
menggunakan dirinya sebagai pengumpul data utama. Benda-benda lain sebagai
manusia tidak dapat menjadi
instrumen karena tidak
akan mampu memahami
dan meyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya.
3.
Pemanfaatan pengetahuan non-proporsionak Peneliti
naturalistis melegitimasi penggunaan intuisi, perasaan, firasat dan pengetahuan
lain yang tak terbahaskan (tacit
knowledge) selain pengetahuan proporsional (propostional knowledge) karena pengetahuan jenis pertama
itu banyak dipergunakan dalam proses interaksi antara peneliti dan responden.
4.
Metode-metode kualitatif, Peneliti
kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang
lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi.
5.
Sampel purposif; Pemilihan sampel secara purposif
atau teoretis disebabkan peneliti ingin meningkatkan cakupan dan jarak data
yang dicari demi mendapatkan realitas yang berbagai-bagai.
6.
Analiais data secara induktif, Metode induktif
dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti
mengidentifikasi realitas yang berbagai-bagai dilapangan, membuat inteaksi
antara peneliti dan responden lebih eksplisit, nampak, dan mudah dilakukan,
serta memungkinkan identifikasi aspek-aspek yang saling mempengaruhi.
7.
Teori dilandaskan pada data di lapangan; Para peneliti
naturalistis mencari teori yang muncul dari data. Mereka tidak berangkat dari
teori apriori karena teori ini
tidak akan mampu menjelaskan berbagai temuan (realitas dan nilai) yang akan
dihadapi di lapangan.
8.
Desain penelitian mencuat secara alamiah; Para peneliti
memilih desain penelitian muncul, mencuat, mengalir secara bertahap, bukan dibangun
di awal penelitian. Desain yang muncul merupakan akibat dari fungsi interaksi
antara peneliti dan responden.
9.
Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti
naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden untuk memahami makna
dan interpretasi mereka ihwal data yang memang di peroleh dari mereka.
10.
Cara pelaporan kasus; Gaya pelaporan
ini lebih cocok ketimbang cara pelaporan saintifik yang lazim pada penelitian
kuantitatif, sebab pelaporan kasus lebih mudah diadaptasikan terhadap deskripsi
realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti.
11.
Interpretasi idiograflk; Data yang
terkumpul termasuk kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiograflk, yaitu
secara kasus, khusus, dan kontekstual. tidak secara nomotetis, yakni
berdasarkan hukum-hukum generalisasi.
12.
Aplikasi tentatif; Peneliti kualitatif kurang
berminat (ragu-ragu) untuk membuat klaim-klaim aplikasi besar dari temuannya
karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam.
13.
Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah teritorial
penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh fokus penelitian yang memang
mencuat ke permukaan. Fokus demikian memungkinkan interaksi lebih mantap antara
peneliti dan responden pada konteks tertentu.
14.
Keterpercayaan dengan kriteria khusus; Istilah-istilah
seperti internal validity, external
validity, reliability dan objectivity
kedengaran asing bagi para peneliti naturalistik, karena memang
bertentangan dengan aksioma-aksioma naturalistik. Keempat istilah tersebut
dalam panelitian naturalistik diganti dengan credibility, transfer ability,
dependability, dan conjirmability."[26]
E. Pembahasan
1. Ada beberapa hambatan
dalam transformasi nilai-nilai Islam di lembaga Pendidikan antara lain adalah:
a) Tidak
didukung oleh pengelola dan pemilik lembaga pendidikan.
b) Pendidik dan peserta didik belum memahami
secara mendalam tentang pentingnya nilai-nilai Islam di
lembaga pendidikan.
c) Minimnya pengetahuan dan wawsan akan nilai-nilai
Islam.
d) Pendidik belum mampu menghubungkaitkan materi yang
diajarkan dengan nilai-nilai Islam
apalagi jika kurikulum belum menyentuh nilai-nilai Islam.
e) Tidak ada
program, visi dan misi yang berhubungan dengan transformasi nilai-nilai Islam.
f) Lingkungan religius di lembaga pendidikan tidak mendukung.
g) Tidak adanya kegiatan, pelatihan atau
kegiatan yang bermuatan nilai-nilai Islami.
h) Tidak terbiasanya pendidik dan peserta untuk bertingkah laku dan ucapan yang
Islami.
2. Upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan dalam trasformasi
nilai-nilai Islam di lembaga pendidikan kepada peserta didik baik daik itu
siswa maupun mahasiswa, antara lain:
Dengan melakukan beberapa pendekatan untuk mewujudkan kampus atau sekolah
yang memiliki nilai-nilai Islami antara lain:
1.
Pendekatan
dalam bentuk kegiatan kurikuler (kegiatan Belajar mengajar secara tatap muka di
kelas).
Maksudnya pendidik menginisiasi dan berusaha atau menghubungkan materi yang disampaikan kepada peserta didik dengan nilai-nilai agama. Contohnya
Pelajaran Biologi, Allah menciptkan 5 jari dalam tubuh manusia mempunyai makna persatuan dan kebersamaan dalam membangun
sekolah atau masjid, seperti ibu jari
diartikan sebagai orang yang cerdas sebagai orang ahli dalam arsitektur bangunan, jari telunjuk diartikan sebagai
orang kaya yang mampu membeli alat dan bahan bangunan, jari tengah diartikan
jari yang lebih tinggi dari yang lainnya dimaknai sebagai
orangtua yang mempunyai pengalaman dalam membangun rumah atau sekolah,
sedangkan jari manis adalah pemuda sebagai kader generasi penerus dan terakhir
adalah jari kelingking adalah adalah orang yang hanya mampu bekerja dalam membangun suatu bangunan, maka nilai
kebersamaan dan persatuan ini sangat
dibutuhkan di masyarakat dan contoh lain pendidik memulai dan
menutup kegiatan belajar mengajar dengan membaca doa bersama peserta didik.
2.
Pendekatan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler.
Maksudnya
membentuk budaya atau tradisi lingkungan yang agamis. Contohnya
jika bertemu antar warga sekolah dan kampus
dengan membudayakan 3S (Senyum, Sapa dan Salam) sedangkan contoh lain
membuat tulisan – tulisan yang bernilai agamis contoh: Islam itu Indah dan mencintai keindahan, Barang siapa yang sabar akan beruntung, Yang Bersungguh-sungguh akan
berhasil, Kebersihan sebagian dari Iman dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam menginisiasi dan mengaktualisasi
nilai-nilai Islami di lembaga pendidikan baik sekolah maupun kampus, pentingnya
melihat beberapa aspek yang perlu dilakukan seperti:
1. Tingkah laku dan Perbuatan
Nilai-nilai
Islami yang dapat dilakukan oleh warga
sekolah atau kampus di antaranya
memberikan suri tauladan yang baik, mengadakan silaturahmi, budaya salam, sapaa, silaturahim dan
penampilan, memupuk sikap saling toleransi, persaudaraan dan menghormati dan
berprasangka baik terhadap sesama, berpakaian yang
menutup aurat dan menjaga keindahan, tabayyun dalam segala hal dan lain
sebagainya.
2. Fisik
Aktualisasi
nilai-nilai Islam diwujudkan dalam sekolah atau kampus dapat dilakukan
pelaksanaan ibadah, tulisan yang islami, surat keputusan atau peraturan.
3. Aktifitas maupun Kegiatan.
Aktualisasi
nilai-nilai Islam diwujudkan dalam sekolah atau kampus dapat dilakukan
Pelaksanaan kegiatan pelatihan
dalam rangka melakukan pembinaan tentang nilai-
nilai keislaman seperti Kegiatan hari
besar Islam (Maulid Nabi Muhammad SAW, Tahun Baru Islam, pengajian mingguan atau bulanan, pelatihan,
loka karya Melakukan pengajian rutin dalam
seminggu sekali.
F. Kesimpulan.
Dalam membangun inisiasi program transformasi di lembaga
pendidikan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu waktu
yang panjang, keteladanan dan dukungan dari para pengelola, penganjur agama, guru/dosen, orangtua sampai pemerintah serta lingkungan yang mendukung. Di sinilah pentingnya menekankan agar pendidik
dan peserta selalu berbuat dan
beraktifitas dengan berlandaskan ilmu dan agama yang berorintasi pada nilai-nilai
islami. Hal tersebut dapat dimulai dengan pembinaan sejak usia dini oleh
orangtua di rumah dan dilanjutkan di lembaga pendidikan sehingga menjadi pada
generasi yang berkarakter islami dengan tetap taat agama, di samping itu akan hidup lebih
bermakna dan bermanfaat di dunia dan di akhirat akan mendapat ganjaran dari
Allah. Begitu pula sebaliknya, jika melanggar aturan agama dengan tidak
melaksanakan nilai-nilai islami maka akan menjadikan hidup terombang-ambing dalam ketidak-jelasan, dan
kelak di akhirat mendapat siksa.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepsi
Islam, Bandung: Rosda Karya, 1992.
Bertens (Paul Suparno) Reformasi
pendidikan, Yogyakarta:
Lentera. 2001.
Chalijah Hasan, Dimensi-dimensi Pendidikan, Surabaya: Al-Ikhlas,
1994.
Dawam
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
EM Zul Fajri Ratu Aprilia Senja, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publiser.
Hendropuspito, Sosiologi Agama
,1984.
Komaruddin Hidayat, Agama dan Transformasi sosial, Jurnal
Katalis, Indonesia, 1984.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi, Jakarta: Mizan
,1999.
Moeslim Abdurrahman, Islam
Transformatif, Pustaka Firdaus.1995
Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda, 2008.
Purwanti,LY, Bagaimana Menanamkan Pendidikan Nilai Pada Anak,
Paradigma.Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbilrgan, 2006
Pasal 31 ayat (3)
Sistem
Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Media
Wacana Press, 2003.
S.Wojowasito
dan Tito Wasito, Kamus Indonesia Inggris, Indonesian English Dictionary ,
Penerbit: Jakarta: Cypress, Penerbit Hasta
Bandung,
1982.
[1] Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional di Universitas Muhammadiyah Metro Lampung, pada tanggal 21 November 2015
[2]
Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Manajemen Pendidikan dan
Dosen Tetap Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas
Muhammadiyah Metro Lampung dan Dosen STAIN Jurai Siwo Metro Lampung.
[3]
Beberapa hasil studi
berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif
(Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan
sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai
(Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry &
Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980),
kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin,
1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual
(Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi
diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983). Hasil-hasil studi
yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung
‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang
terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya
pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya
pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro
social (Gunter, 1984).
[7]S.Wojowasito dan
Tito Wasito, Kamus Indonesia Inggris, Indonesian English Dictionary ,
Penerbit: Jakarta: Cypress, Penerbit Hasta
Bandung,
1982, h. 241
[8] Komaruddin Hidayat, Agama dan
Transformasi sosial, Jurnal Katalis, Indonesia, 1984, h.285.
[9] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h.98.
[10] Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Interpretasi Untuk Aksi, Jakarta: Mizan ,1999, h. 18
[11] Hendropuspito, Sosiologi Agama ,1984,
h. 56, selain itu dalam pendekatan lain, transformasi yang dilakukan pada agama
berarti mengubah bentuk kehidupan masyarakat lama ke dalam bentuk kehidupan baru. Ini berarti pula
mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru, yang berdasarkan
pengamatan analitis diketahui bahwa kehidupan masyarakat lama dibentuk oleh
nilai-nilai adat yang diwariskan dari angkatan sebelumnya yang berupa pola-pola
berfikir, serta pola-pola kelakuan yang harus ditaati sedangkan pendapat lain Collins
College Dictionary, Harper Collins Publishers, 1995, h. 885 mengatakan
bahwa Transformatif berasal dari kata transform. Kata ini dalam bahasa
Inggris memiliki banyak arti di antaranya: 1) to change completely in form
or function; 2) to change so as to make better or more attractive; 3) to change
the form of …without changing its value.
[12] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Pustaka
Firdaus.1995, h.225
[13] Henrik Bognan, Western
Esotericism and Rituals of Initiation, 2007, p.23
[16]Bertens sebagaimana
yang dikutip oleh Paul Suparno: Reformasi pendidikan, Yogyakarta : Lentera.
2001, h. 76.
[17] Chabib Toha, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 60
[18] Louis Kattsof, Pengantar
Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986 h.333.
[20] Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren, Agenda yang Belum
Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008, h.2.
[21] Pius Partanto & Dahlan, Kamus ilmiyah Populer ,Surabaya: Arkola,
2001, h.412.
[22]http://darshenie.blogspot.com/2012/09/pengembangan-lembaga-pendidikan-islam-20.html,
diakses tanggal 15 November 2015
[26] Ibid,
h.73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar