INTERNALISASI NILAI-NILAI
PENDIDIKAN ISLAM
DI LEMBAGA PENDIDIKAN INDONESIA[1]
Dr. M. Ihsan Dacholfany, M.Ed[2]
ABSTRAK
Bangsa
Indonesia telah dilanda dengan faham sekuler dan liberal serta kebebasan hingga
masuk ke lembaga pendidikan, akibatkan nilai-nilai Islam yang ada di lembaga
pendidikan terhapus secara perlahan, maka perlunya program internalisasi nilai-nilai
pendidikan Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan filter dan penghalang bagi
masuknya faham tersebut. Harapnnya semua unsur lembaga pendidikan, mulai dari
pengelola, tenaga pendidik, peserta didik, karyawan yang ada di lembaga
pendidikan termasuklah pemerintah dan orangtua dengan penuh kesabaran,
pembiasaan dan perlu proses yang bertahap dalam mencapai tujuan, visi dan misi
untuk menginternalisasikan nilai-nilai
Pendidikan Islam di lembaga pendidikan dan hal tersebut hendaknya mendapat respon dan dukungan segala
pihak dalam melaksanakan program yang
ada dan diikuti secara kompak dan bersama-sama dalam bentuk tindakan dan
kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas.
A.
Pendahuluan
Pendidikan
Agama Islam merupakan pendidikan nilai sebab lebih banyak mengutamakan aspek
nilai, baik nilai ketuhanan maupun nilai kemanusiaan dan nilai etika dan
estetika dan lainnya yang dapat ditanamkan atau ditumbuhkembangkan ke dalam
diri peserta didik sehingga dapat melekat pada dirinya dan menjadi
kepribadiannya, namun sayangnya ada juga yang menganggap bahwa pendidikan agama
Islam belum memadai dan kurang relevan dengan tuntunan zamannya.
Banyak hal yang tidak pantas dan
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di
lembaga pendidikan dan norma agama yang terjadi di Indonesia pada
peserta didik baik di sekolah, dalam
lingkungan atau luar sekolah seperti tawuran, melawan guru, aborsi,
pelecehan, free sex, pencurian, kelompok atau gank yang tidak terdidik
dan lain sebagainya, ini akibat dari masuknya faham sekuler, liberal dan
kebebasan di lembaga pendidikan, maka proses
Internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam di lembaga pendidikan menjadi sangat
penting bagi peserta didik agar dapat
difahami dan diamalkan dan serta ditaati akan ajaran dan nilai-nilai pendidikan
Islam dalam kehidupannya, dengan harapan tujuan pendidikan agama Islam dapat tercapai. Keinginanan
atau usaha dari lembaga pendidikan agar dapat menginternalisasikan nilai-nilai
pendidikan Islam kepada diri peserta didik menjadi hal yang urgent, maka
salah satu usaha tersebut adalah dengan kegiatan
dan aturan serta pembiasaan di dalam
kelas atau lingkungan lembaga pendidikan dengan menciptakan kegiatan dan suasana
religius di lembaga pendidikan tersebut sebab kegiatan-kegiatan keagamaan dan
praktik-praktik keagamaan yang dilaksanakan secara terprogram dan rutin
(pembiasaan) diharapkan dapat mentransformasikan dan menginternalisasikan
nilai-nilai ajaran pendidikan Islam
secara baik kepada peserta didik atau karyawan.
Internalisasi nilai-nilai Pendidikan Islam yang bersumber pada
al-Qur-an dan al- Sunnah merupakan ruhnya lembaga pendidikan
Islam khususnya, oleh sebab itu cara dan bentuk pendidikan seyogyanya dengan mengembangkan
dan memberikan kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai pendidikan Islam
seperti kejujuran, kebersihan, lemah lembut, kasih sayang, kebaikan, kebijakan,
kebenaran, keikhlasan, kesabaran, dan lain sebagainya, Secara tidak langsung
pendidikan Islam berguna untuk
meningkatkan keyakinan, ketakwaan, persatuan, kebersamaan, ketaatan, maka
setiap kegiatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas yang dilakukan,
seyogyanya selalu diintegrasikan dengan nilai-niali pendidikan Islam sehingga
mampu membina dan mendidik peserta didik yang memiliki sifat yang baik dan benar
secara perilaku maupun ucapan yang dapat
diinternalisasikan dengan pengalaman, pengetahuan, wawasan dan ilmu yang dimiliki
dengan nilai-nilai yang dipercayai dan dipedomani dalam rangka menyelesaikan
problema atau masalah yang dihadapi serta dapat diaplikasikan nilai-nilai
pendidikan Islam di dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Kendala yang di hadapi lembaga
Pendidikan Islam dalam internalisasi nilai-nilai Islam ?
2.
Apa usaha yang dapat dilakukan
oleh lembaga pendidikan dalam dalam internalisasi nilai-nilai Islam ?
C. Kajian Teori
1.Internalisasi
Secara etimologis, internalisasi menunjukkan
suatu proses, dalam kaidah bahasa Indonesia akhiran-isasi mempunyai definisi
proses sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan sebagai penghayatan,
pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui pembinaan,
bimbingan dan sebagainya[3].
Jadi teknik pembinaan agama yang dilakukan melalui internalisasi adalah
pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai relegius (agama) yang
dipadukan dengan nilai-niali pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu
dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi satu karakter dan watak peserta didik.
Dalam kerangka psikologis, internalisasi
diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standart tingkah laku,
pendapat dan seterusnya di dalam kepribadian. Freud yakin bahwa superego, atau
aspek moral kepribadian berasal dari internalisasi sikap-sikap orang tua[4].
Menurut Muhaimin bahwa dalam proses
internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik atau anak asuh ada
tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi yaitu:
a.
Tahap Transformasi Nilai: Tahap
ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan
nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi
verbal antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh.
b.
Tahap Transaksi Nilai : Suatu
tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau
interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi
timbal-balik.
c.
Tahap Transinternalisasi : Tahap
ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya
dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi
pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif [5].
Dalam hal ini, jika dikaitkan
dengan perkembangan manusia, proses internalisasi harus berjalan sesuai dengan
tugas-tugas perkembangan. Internalisasi merupakan sentral proses perubahan
kepribadian yang merupakan dimensi kritis pada perolehan atau perubahan diri
manusia, termasuk di dalamnya pempribadian makna (nilai) atau implikasi respon
terhadap makna.
2. Nilai
Nilai dapat dimaknakan oleh para ahli dengan berbagai macam
pengertian, sehingga terdapat beberapa pengertian. Adanya perbedaan pengertian
tentang nilai ini dapat dimaklumi oleh para ahli itu sendiri karena nilai
tersebut sangat erat hubungannya dengan pengertian-pengertian dan aktivitas
manusia yang komplek dan sulit ditentukan batasannya. Secara
filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika dan biasa juga disebut
filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan
perilaku manusia dalam berbagai aspek khidupannya[6]
Nilai pada dasarnya sifat-sifat atau hal-hal yang
penting atau berguna bagi kemanusian[7]. Menurut EM Zul Fajri Ratu Aprilia Senja bahwa nilai-nilai adalah sifat-
sifat yang
penting bagi kemanusiaan[8],
sedangkan Nilai-nilai menurut Bertens merupakan sesuatu yang menarik bagi kita,
sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan
diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik[9].
Sidi Gazalba sebagaimana dikutip oleh Chabib Toha, mengartikan nilai
adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit,
bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian
empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki,
disenangi dan tidak disenangi.[10].
Sedangkan Menurut Louis O. Kattsof nilai diartikan sebagai berikut:
1. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara langsung
kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-mata
subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti yang terletak pada esensi objek
itu.
2.
Nilai sebagai objek dari
suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran
dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang
memiliki kepentingan. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian antara garam
dan emas tersebut di atas.
3.
Sesuai dengan pendapat Dewey,
nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh
situasi kehidupan.
4.
Nilai sebagai esensi nilai
adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah ada sejak semula, terdapat dalam
setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat objektif dan
tetap[11].
Dari beberapa pengertian
tentang nilai di atas dapat difahami bahwa nilai itu adalah sesuatu yang
abstrak, ideal, dan menyangkut persoalan keyakinan terhadap yang dikehendaki,
dan memberikan corak pada pola pikiran, perasaan, dan perilaku. Dengan demikian
untuk melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan lain
berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap seseorang atau sekelompok
orang.
Penulis sepakat apa yang
disampaikan oleh Ahmad Tafsir, bahwa pendidik tidak hanya mentranferkan keilmuan (knowledge), tetapi juga
menstransformasikan nilai-nilai (value)
pada peserta didik.[12]
3. Pengertian Pendidikan Islam
Di
dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan yaitu tarbiyah dan
ta’dib, kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut
Naquib al-Atas tarbiyah secara semantic tidak khusus ditunjukan
untuk mendidik manusia, tetapi dapat ditunjukan kepada sepsies lain, seperti
mineral, tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia
mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memilihara,
membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakan[13].
Menurut Abdul Fatah Jalal mngatakan bahwa pendidikan
adalah proses pemberikan pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab,
dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian (tazkiyah) atau
pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu
berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta
mempelajari segala yang bermanfaat baginya[14].
Selanjutnya
Al-Ghozali berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam yang paling utama ialah
beribadah dan taqarrub kepada Allah dan kesempurnaan insani
yang tujuannya kebahagiaan dunia dan akherat[15],
sedangkan Abdullah Fahad menyatakan bahwa pendidikan Islam mengarah pada dua
tujuan: Persiapan untuk hidup akherat dan membentuk perorangan dalam ilmu
pengetahuan dan keterampilan untuk menunjang kesuksesanya[16].
Islam adalah
agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya, isi ajaran agama Islam yang
diserukan Nabi Muhammad SAW dapat diketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
telah diakui keabsahannya oleh para ulama hadits. Islam yang dibawa Nabi
Muhammad SAW merupakan hidayah yang sempurna bagi seluruh umat manusia. Allah
menurunkan Islam ini secara sempurna dan menyeluruh sehingga tidak ada satu
persoalan pun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur. Islam memuat
aspek hukum halal-haram, mubah-makruh, fardhu-sunnah juga menyangkut masalah
akidah, ibadah, pendidikan, politik, ekonomi, perang, damai, perundangan, dan
semua konsep hidup manusia.
Jika
diperhatikan rumusan tujuan yang telah digariskan oleh para ahli pendidikan
Islam tersebut maupun yang telah tertera pada al-Qur’an dan al-Hadist nyatalah
bahwa pendidian Islam tersebut bukanlah sekedar mencari kesenangan dunia atau
materi semata, akan tetapi menyangkut masalah dunia dan akhirat secara
berimbang. Sikap seorang muslim terhadap kehidupan dunia dijelaskan oleh
Al-Nadwi: mengenai sikapnya terhadap dunia adalah sikap dari seorang yang
memandang bukan tujuan terakhir dan tujuan utama, puncak kebahgian dan
kemajuan, ia menganggapnya hanyalah sebagai tahap penyebrangan yang harus
dilalui dan sebagai jalan untuk mencapai keberuntungan terbesar kehidupan abadi
serta kenikmatan yang disenangi[17].
4. Lembaga
Pendidikan
Lembaga
pendidikan saat ini sangat penting eksistensinya bagi kelancaran proses pendidikan
khususnya dalam kegitan belajar mengajar, Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan
konsep Islam, lembaga pendidikan Islam merupakan suatu wadah di mana pendidikan
dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita
umat Islam.
Keluarga, masjid, pondok
pesantren dan madrasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mutlak
diperlukan disuatu negara secara umum atau di sebuah kota secara khususnya,
karena lembaga-lembaga itu ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan
sesuatu yang sangat berharga, begitu juga para pencetak sumber daya manusia
yang berkualitas dan mantap dalam akidah keislaman.[18]
Lembaga menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah bakal dari sesuatu[19]. Asal
mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan,
badan atau organisasi yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang
keilmuan sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, lembaga pendidikan
yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai hasil pendidikan yang
diinginkan[20].
Secara terminologi lembaga
pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat berlangsungnya proses
pendidikan Islam, lembaga pendidikan itu mengandung konkirit berupa sarana dan
prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma- norma dan
peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri [21].
Dengan demikian,
menurut penulis dapat disimpulkan bahwa
lembaga pendidikan sesungguhnya harus sesuai dengan standar nasional pendidikan (SNP) yaitu
standar Pembiyaan, Sarana Prasarana, Kurikulum, Tenaga Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, jadi badan/lembaga pendidikan tersebut memikul
tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan agar proses pendidikan dapat berjalan baik dan wajar sesuai yang diharapkan.
D.
Metodologi
Penelitian
Metode Penelitian makalah ini adalah dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Metode deskriptif
analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk
memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian,
memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh menerangkan
hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Sukmadinata mengungkapkan
bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar
dan ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang
ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia[22].
Adapun
studi kasus (case study) merupakan metode untuk menghimpun dan
menganalisis data berkenaan dengan sesuatu kasus. Studi kasus merupakan suatu
penelitian yang dilakukan terhadap suatu "kesatuan sistem". Kesatuan
ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang
terikat oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Studi kasus umumnya
menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisa
kasus dalam satu jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu
lembaga, satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek
lain-lain yang cukup terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan. Sesuai
dengan kekhasannya, bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang
terbatas. Maka persoalan pemilihan sampel yang menggunakan pendekatan tersebut
tidak sama dengan persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif. Sebagai
implikasinya, penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak
dapat digeneralisasikan, oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif
dengan variasi metode studi kasus, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan
hipotesis yang dirumuskan di awal untuk diuji kebenarannya, hal ini sesuai
dengan yang dungkapkan oleh Arikunto bahwa pada umumnya penelitian deskriptif
merupakan penelitian non hipotesis. Kalaupun dalam perjalannnya terdapat
hipotesis, ia mencuat sebagai bagian dari upaya untuk membangun dan
mengembangkan teori berdasarkan data lapangan (grounded theory)[23].
Pendekatan
kualitatif interaktif sengaja dipilih karena penulis menganggap bahwa
karakteristiknya sangat cocok dengan masalah yang menjadi fokus penelitian.
Terdapat beberapa karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut :
1.
Latar alamiah; secara ontologis suatu
objek harus dilihat dalam konteksnya yang alamiah, dan pemisahan
anasir-anasirnya akan mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu.
2.
Manusia sebagai instrumen; Peneliti
menggunakan dirinya sebagai pengumpul data utama. Benda-benda lain sebagai
manusia tidak dapat menjadi
instrumen karena tidak
akan mampu memahami
dan meyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya.
3.
Pemanfaatan pengetahuan non-proporsionak Peneliti naturalistis melegitimasi penggunaan intuisi, perasaan, firasat
dan pengetahuan lain yang tak terbahaskan (tacit knowledge) selain pengetahuan proporsional (propostional knowledge) karena
pengetahuan jenis pertama itu banyak dipergunakan dalam proses interaksi antara
peneliti dan responden.
4.
Metode-metode kualitatif, Peneliti kualitatif
memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah
diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi.
5.
Sampel purposif; Pemilihan
sampel secara purposif atau teoretis disebabkan peneliti ingin meningkatkan
cakupan dan jarak data yang dicari demi mendapatkan realitas yang
berbagai-bagai.
6.
Analiais data secara induktif, Metode
induktif dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan
peneliti mengidentifikasi realitas yang berbagai-bagai dilapangan, membuat
inteaksi antara peneliti dan responden lebih eksplisit, nampak, dan mudah
dilakukan, serta memungkinkan identifikasi aspek-aspek yang saling
mempengaruhi.
7.
Teori dilandaskan pada data di lapangan; Para peneliti naturalistis mencari teori yang muncul dari data. Mereka
tidak berangkat dari teori apriori karena
teori ini tidak akan mampu menjelaskan berbagai temuan (realitas dan nilai)
yang akan dihadapi di lapangan.
8.
Desain penelitian mencuat secara alamiah; Para peneliti memilih desain penelitian muncul, mencuat, mengalir secara
bertahap, bukan dibangun di awal penelitian. Desain yang muncul merupakan
akibat dari fungsi interaksi antara peneliti dan responden.
9.
Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden
untuk memahami makna dan interpretasi mereka ihwal data yang memang di peroleh
dari mereka.
10.
Cara pelaporan kasus; Gaya
pelaporan ini lebih cocok ketimbang cara pelaporan saintifik yang lazim pada
penelitian kuantitatif, sebab pelaporan kasus lebih mudah diadaptasikan
terhadap deskripsi realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti.
11.
Interpretasi idiograflk; Data yang
terkumpul termasuk kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiograflk, yaitu
secara kasus, khusus, dan kontekstual. tidak secara nomotetis, yakni
berdasarkan hukum-hukum generalisasi.
12.
Aplikasi tentatif; Peneliti
kualitatif kurang berminat (ragu-ragu) untuk membuat klaim-klaim aplikasi besar
dari temuannya karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam.
13.
Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah teritorial penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh fokus
penelitian yang memang mencuat ke permukaan. Fokus demikian memungkinkan
interaksi lebih mantap antara peneliti dan responden pada konteks tertentu.
14.
Keterpercayaan dengan kriteria khusus; Istilah-istilah seperti internal validity, external
validity, reliability dan objectivity
kedengaran asing bagi para peneliti naturalistik, karena memang
bertentangan dengan aksioma-aksioma naturalistik. Keempat istilah tersebut dalam
panelitian naturalistik diganti dengan credibility, transfer ability,
dependability, dan conjirmability."[24]
E.
Pembahasan
Dari penjelasan di atas, penulis berusaha mengkaji
dan meniliti dari permasalahan yang ada yaitu:
1. Kendala yang dihadapi lembaga Pendidikan
Islam dalam usaha meninternalisasi nilai-nilai Islam ke lembaga pendidikan, di
antaranya adalah:
a. Tidak ada tujuan, program, visi dan misi lembaga
pendidikan yang berhubungan dengan internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam.
b. Adanya fluktuasi,
dikotomis, kesenjangan dan antara lembaga
pendidikan umum di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional dan lembaga
pendidikan agama di bawah naungan Kementrian Agama dalam penanaman nilai-nilai
Pendidikan Islam di kedua lembaga
pendidikan tersebut.
c. Pengelola atau tenaga pendidik di
Lembaga Pendidikan belum memahami atau tidak tahu bagaimana cara menginternalisasikan materi atau
pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dengan nilai-nilai pendidikan Islam.
d. Belum atau Tidak mendapat respon atau dorongan dari pengelola
/ pengurus yayasan atau kepala lembaga pendidikan atau dan para pendidik tentang internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam.
e.
Pendidik
di lembaga pendidikan hanya sebatas mengajar namun tidak mendidik, pengertian mengajar
adalah aktifitas pendidik memberikan
atau menyampaikan ilmu dan wawasan
pengetahuan tanpa mengawal atau mengontrol peserta didik dari segi perkembangan maupun pengamalan ilmu yang diberikan. Lebih dari mengajar,
mendidik adalah kegiatan yang tidak sebatas menyampaikan ilmu dan wawasan namun juga juga menekankan perbaikan
dan pembenahan peserta didik menjadi insan yang sempurna dan mulia.
f. Pengelola,
Kepala lembaga pendidikan atau pendidik yang tidak mempunyai latar belakang islami dan
kurangnya pengetahuan
dan wawasan akan nilai-nilai Islam
g.
Suasana
dan Lingkungan islami di lembaga pendidikan.tidak mendukung.
h.
Tidak
adanya kegiatan, pelatihan atau kegiatan di lembaga pendidikan yang berhubungan
dengan nilai-nilai pendidikan Islami.
i.
Tidak ada
suri tauladan dan terbiasanya pendidik
dan peserta untuk bertindak dan ucapan yang Islami.
j.
Tidak
terwujudnya kebersamaan antara pengelola, kepala lembaga pendidikan, pendidik
baik dosen maupun guru dan peserta didik
dalam melakukan kegiatan atau aktifitas dalam rangka mendukung dan mendorong internalisasi
nilai-nilai pendidikan Islam di lembaga pendidikan tersebut.
2.
Usaha yang dapat dilakukan oleh
lembaga pendidikan dalam dalam internalisasi nilai-nilai Pendidikan Islam.
Proses internalisasi nilai-nilai pendidikan
Islam di lembaga Pendidikan Islam tidak dapat dilakukan secara otomatis atau instan, namun secara bertahap sedikit demi
sedikit dan dilakukan secara terus-menerus atau secara berkelanjutan. Dalam
mengiternalisasikan nilai-nilai pendidikan Islam di lembaga pendidikan Islam dapat dilakukan berbagai cara, tergantung dari
pengelola lembaga pendidikan tersebut
dalam mengatur, mengelola dan mengemasnya dengan baik.
Dalam
internalisasi nilai-nilai
Pendidikan Islami bagi peserta didik,
pendidik maupun karyawan di lembaga
pendidikan, dapat diaksanakan dengan beberapa bentuk, antara lain dalam:
a. Bentuk Pelaksanaan
Kegiatan.
Internalisasi nlai-nilai pendidikan Islam dapat
dilakukan dalam pelaksanaan khalaqoh/kegiatan Islam atau Peringatan Hari Besar
Islam (PHBI) seperti Tahun Baru
Islam, workshop.
Pesantren Romadhon, Loka karya, diskusi
dan lain sebagainya dalam rangka meningkatkan keimanan, ketakwaan dan wawasan
keislaman, seprti contoh yang selalu dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah
Metro Lampung dengan mengadakan kegiatan pengajian rutin setiap hari Jum’at
pagi bagi pendidik dan karyawan,
sedangka hari Rabu Pagi bagi mahasiswa-mahasiswinya.
b. Bentuk Nyata
(Fisik)
Pembinaan Internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam nilai-nilai
Islam kepada peserta didik, pendidik maupun karyawan dapat diaplikasikan dengan
kegiatan ibadah sholat, zakat, santunan, aturan ataupun pamlet / tulisan yang
bernilai islami.
c. Bentuk Tindakan
atau Perbuatan.
Internalisasi nilai-nilai pendidikan Islami yang dapat dilakukan dengan membiasakan
segala tindakan atau perbuatan peserta didik, pendidik maupun karyawan dengan
cara saling menghargai dan menghormati silaturahmi, tauladan yang baik, budaya
salam, bersyukur, ikhlas dalam segala perbuatan, prasangka baik, berpakaian yang islami dengan menutup aurat dan menjaga keindahan dan lain
sebagainya.
Pengelola Lembaga pendidikan hendaknya
selalu dan berusaha memberikan arahan atau intruksi kepada para tenaga pendidik
baik itu guru atau dosen di dalam kelas
dengan cara:
1. Di
dalam Kelas
a. Tenaga
Pendidik menyajikan materi atau kurikulum yang berhubungan atau
menghubungkaitkan tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang berkenaan dengan etika, estetika dan akhlak.
b. Tenaga
Pendidik mengadakan bimbingan dan diskusi kepada peserta yang membahas tentang kasus,
permasalahan atau informasi yang berkembang khususnya nilai-nilai pendidikan
Islam yang berhubungan dengan etika,
estetika dan akhlak.
c. Tenaga
pendidik berusaha memasukkan nilai-nilai Pendidikan Islam di dalam materi
pelajaran.
d. Tenaga
Pendidik mengajak peserta menemukan suatu perbuatan atau kisah yang mengandung unsur–unsur nilai (baik
positif maupun negatif) yang berdasarkan ajaran atau norma dan selanjutnya
akan ditemukan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan oleh
peserta didik.
e. Tenaga Pendidik
melakukan pendekatan melalui
pembelajaran, pengalaman atau contoh dengan cara menyajikan materi dengan tujuan
peserta didik dapat menemukan kisah atau cerita
dan perumpamaan-perumpamaan dalam
suatu peristiwa, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi.
f. Tenaga
pendidik menyarankan peserta didik untuk
membaca teks dan melihat
tayangan media yang memiliki nilai-nilai pendidikan Islam.
g. Diharapkan
tenaga Pendidik dan peserta didik sebelum memulai kegiatan belajar mengajar
(KBM) dan mengakhirinya dengan berdoa atau membaca al-Qur’an.
2. Di
Luar Kelas
a. Membuat
peraturan dalam usaha internalisasi nilai-nilai
pendidikan Islam, seperti dilarang merokok kecuali tempat tertentu, memakai
pakaian busana muslim-muslimah seperti memakai jilbab. membuang sampai pada
tempatnya untuk menjaga kebersihan dan keindahan.
b. Membiasakan
diri semua warga di lembaga pendidikan untuk Senyum, Sapa dan Salam setiap
bertemu.
c. Membuat
suasana atau lingkungan yang memiliki nilai-nilai pendidikan Islam seperti
tulisan-tulisan di pamlet seperti: kebersihan sebagian dari iman, Mulailah
perbuatan yang baik dengan basmalah dan mengakhiri dengan hamdalah,
pagi-pagi menjelang masuk kelas atau istrahat
didengarkan lagu-lagu islami atau
bacaan al-Qur’an
d. Membuat
ruangan khusus berupa mushola atau masjid dengan tempat wudhu dan
toiletnya sebagai sarana ibadah untuk
melakuan sholat jamaah, sholat dhuha, baca al-Qur”an, praktek sholat, mengurus jenazah dan lain
sebagainya.
F. Kesimpulan
Salah
satu ruang yang menjadi sarana untuk mencetak generasi bangsa yang beriman dan
berilmu adalah lembaga pendidikan, maka lembaga pendidikan sebagai suatu
instansi yang diharapkan oleh pemerintah,
orangtua dan masyarakat agar mampu melakukan internalisasi nilai-nilai
pendidikan Islam berdasarkan al-Qur;an dan as-Sunnah, baik di dalam kelas mapun
di luar kelas dalam bentuk tindakan, fisik dan beberapa kegiatan islami lainnya
secara bersama-sama dalam mewujudkan tujuan, visi dan misi tersebut,
walaupun demikikian belum dapat menghasilkan secara keseluruhan, tentunya perlu proses, pembiasaan dan dilakukan secara
bertahap melaksanakan dan diharapkan mendapat dukungan dan respon setiap warga di
lembaga pendidikan tersebut, mulai dari pengelola, tenaga pendidik dan peserta
didik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Hasan Ali al-Husni al-Nadwi, Peraturan
Antara Alam Pikiran Islam Dengan Pikiran Barat, Bandung PT. Al-Maarif,
1983.
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepsi
Islam, Bandung: Rosda Karya, 2002.
Abdul Fatah Jalil dalam Bukhar
Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2010.
Abddullah
Fayad dalam Abd. Al-Ghoni Abud, Al-fikr at-Tarbawi Inda Al-Ghazali,
Dar al-Fikr al-Arabi, 1982.
Bertens dan Paul Suparno: Reformasi
pendidikan, Yogyakarta : Lentera. 2001.
Chaplin, James P, Kamus
Lengkap Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
EM Zul Fajri
Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Difa Publiser, 2014.
Fatihah Hasan Sulaiman, Mazahib
fi al-Tarbiyah Bahtsun fi Mazhab al-Tarbiyah Inda Al-Ghazali, Mesir
maktabah Nahdiyah, 1964.
Hasan Langgulung, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: PT Al-Maarif, 1980.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2009.
Louis Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1986 .
Muhaimin, Srategi Belajar Mengajar, Surabaya: Citra Media, 2006.
Nana
Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan.
Bandung: Rosda, 2008.
Pius Partanto dan Dahlan, Kamus ilmiyah Populer ,Surabaya: Arkola, 2001.
Said
Agil Husain Almunawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’an dalam sistem
pendidikan Islam, Ciputat : Ciputat Press, 2005.
Shcd Muhammad Al-Naquib
Al-Atas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terjemah Haidar Bagir,
Bandung Mizan, 1984.
W.JS
Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai pustaka,
1999, h. 667.
Tidjani Djauhari, Masa
Depan Pesantren, Agenda yang Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing,
2008.
http://darshenie/pengembangan-lembaga-pendidikan-islam-diakses
tanggal15November 2015
[1] Makalah disampaikan pada acara
seminar Internasional di Universitas
Muhammadiayah Lampung (UML), tanggal 28 Desember 2015
[2] Penulis adalah Ketua
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan
dan Dosen Tetap FAI Universitas Muhammadiyah Metro Lampung..
[3] Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1989, h.336.
[4] Chaplin, James P, Kamus
Lengkap Psikologi., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 , h.256
[5] Muhaimin, Srategi Belajar Mengajar, Surabaya: Citra Media, 2006, h.153
[6] Said Agil Husain
Almunawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’an dalam sistem pendidikan Islam,
Ciputat : Ciputat Press, 2005, h. 3.
[7] W.JS Purwadarmita, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai pustaka, 2009, h. 677.
[8] EM Zul Fajri Ratu
Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Difa Publiser, 2011, h.590.
[9]Bertens sebagaimana yang
dikutip oleh Paul Suparno: Reformasi pendidikan, Yogyakarta : Lentera.
2001, h. 76.
[11]
Louis Kattsof, Pengantar Filsafat,
terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986 h.333.
[12]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Persepsi Islam, Bandung: Rosda Karya, 2002,
h.74.
[13] Shcd
Muhammad Al-Naquib Al-Atas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terjemah
Haidar Bagir, Bandung Mizan, 1984, h. 66.
[14]
Abdul Fatah Jalil dalam Bukhar Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta :
Amzah,2010, h.23-24. Selain itu menurut Hasan Langgulung dalam bukunya Pemikiran Pendidikan Islam, bahwa ada3 macam tujuan pendidikan yaitu tujuan tertinggi atau terakhir yaitu
tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan lain, sekalipun bertingkat-tingkat di bawah
tujuan lain yang kurang dekat dan kurang umum daripadanya, Tujuan ‘am atau tujuan umum yaitu
perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan untuk mencapainya dan terakhir
adalah tujan khas atau khusus yaitu
perubahan-perubahan yang diinginkan yang bersifat cabang atau bagian-bagian
yang termasuk dibawah tiap-tiap tujuan pendidikan. (Bandung: PT Al-Maarif,
1980, h. 405-425
[15] Fatihah
Hasan Sulaiman, Mazahib fi al-Tarbiyah Bahtsun fi Mazhab al-Tarbiyah
Inda Al-Ghazali, Mesir maktabah Nahdiyah, 1964, h. 11
[16] Abdullah Fayad dalam Abdul. Al-Ghoni
Abud, Al-fikr at-Tarbawi Inda Al-Ghazali, Dar al-Fikr al-Arabi,
1982, h.113
[17] Abu Hasan Ali al-Husni al-Nadwi, Peraturan
Antara Alam Pikiran Islam Dengan Pikiran Barat, Bandung PT. Al-Maarif,
1983, h. 196.
[18]
Tidjani
Djauhari, Masa Depan Pesantren, Agenda
yang Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008, h.2.
[19]
Pius Partanto dan Dahlan, Kamus ilmiyah
Populer ,Surabaya: Arkola, 2001, h.412.
[20]http://darshenie/pengembangan-lembaga-pendidikan-islam-,
diakses tanggal 15 November 2015
[23]
Ibid, h.68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar