Kamis, 11 Februari 2016

INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DI LEMBAGA PENDIDIKAN INDONESIA Dr. M. Ihsan Dacholfany, M.Ed






INTERNALISASI  NILAI-NILAI  PENDIDIKAN ISLAM
DI LEMBAGA PENDIDIKAN INDONESIA[1]
Dr. M. Ihsan Dacholfany, M.Ed[2]


ABSTRAK

Bangsa Indonesia telah dilanda dengan faham sekuler dan liberal serta kebebasan hingga masuk ke lembaga pendidikan, akibatkan nilai-nilai Islam yang ada di lembaga pendidikan terhapus secara perlahan, maka perlunya program internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah  yang merupakan filter dan penghalang bagi masuknya faham tersebut. Harapnnya semua unsur lembaga pendidikan, mulai dari pengelola, tenaga pendidik, peserta didik, karyawan yang ada di lembaga pendidikan termasuklah pemerintah dan orangtua dengan penuh kesabaran, pembiasaan dan perlu proses yang bertahap dalam mencapai tujuan, visi dan misi untuk  menginternalisasikan nilai-nilai Pendidikan Islam di lembaga pendidikan dan hal tersebut  hendaknya mendapat respon dan dukungan segala pihak dalam melaksanakan  program yang ada dan diikuti secara kompak dan bersama-sama dalam bentuk  tindakan dan   kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas.












A.    Pendahuluan

Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan nilai sebab lebih banyak mengutamakan aspek nilai, baik nilai ketuhanan maupun nilai kemanusiaan dan nilai etika dan estetika dan lainnya yang dapat  ditanamkan atau ditumbuhkembangkan ke dalam diri peserta didik sehingga dapat melekat pada dirinya dan menjadi kepribadiannya, namun sayangnya ada juga yang menganggap bahwa pendidikan agama Islam belum memadai dan kurang relevan dengan tuntunan zamannya.
           Banyak hal yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di  lembaga pendidikan dan norma agama yang terjadi di Indonesia   pada peserta didik baik di sekolah, dalam  lingkungan atau luar sekolah seperti tawuran, melawan guru, aborsi, pelecehan, free sex, pencurian, kelompok atau gank yang tidak terdidik dan lain sebagainya, ini akibat dari masuknya faham sekuler, liberal dan kebebasan di lembaga pendidikan,  maka proses Internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam di lembaga pendidikan menjadi sangat penting bagi peserta didik agar  dapat difahami dan  diamalkan dan serta  ditaati akan ajaran dan nilai-nilai pendidikan Islam dalam kehidupannya, dengan harapan  tujuan pendidikan agama Islam dapat tercapai. Keinginanan atau  usaha  dari lembaga pendidikan agar  dapat menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan Islam kepada diri peserta didik menjadi hal yang urgent, maka  salah satu usaha tersebut adalah dengan kegiatan dan aturan serta  pembiasaan di dalam kelas atau lingkungan lembaga pendidikan dengan menciptakan kegiatan dan suasana  religius di  lembaga pendidikan tersebut sebab   kegiatan-kegiatan keagamaan dan praktik-praktik keagamaan yang dilaksanakan secara terprogram dan rutin (pembiasaan) diharapkan dapat mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai ajaran pendidikan  Islam secara baik kepada peserta didik atau karyawan.
Internalisasi nilai-nilai Pendidikan Islam  yang bersumber pada al-Qur-an dan al- Sunnah merupakan ruhnya lembaga pendidikan Islam khususnya, oleh sebab itu cara dan bentuk pendidikan seyogyanya dengan mengembangkan dan memberikan kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai pendidikan Islam seperti kejujuran, kebersihan, lemah lembut, kasih sayang, kebaikan, kebijakan, kebenaran, keikhlasan, kesabaran, dan lain sebagainya, Secara tidak langsung pendidikan Islam  berguna untuk meningkatkan keyakinan, ketakwaan, persatuan, kebersamaan, ketaatan, maka setiap kegiatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas yang dilakukan, seyogyanya selalu diintegrasikan dengan nilai-niali pendidikan Islam sehingga mampu membina dan mendidik peserta didik yang memiliki sifat yang baik dan benar secara  perilaku maupun ucapan yang dapat diinternalisasikan dengan pengalaman, pengetahuan, wawasan dan ilmu yang dimiliki dengan nilai-nilai yang dipercayai dan dipedomani dalam rangka menyelesaikan problema atau masalah yang dihadapi serta dapat diaplikasikan nilai-nilai pendidikan Islam di dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa Kendala yang di hadapi lembaga Pendidikan Islam dalam internalisasi nilai-nilai Islam ?
2.    Apa usaha yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan dalam dalam internalisasi nilai-nilai Islam ?

C.    Kajian Teori
1.Internalisasi
Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses, dalam kaidah bahasa Indonesia akhiran-isasi mempunyai definisi proses sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui pembinaan, bimbingan dan sebagainya[3]. Jadi teknik pembinaan agama yang dilakukan melalui internalisasi adalah pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai relegius (agama) yang dipadukan dengan nilai-niali pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi satu karakter dan  watak peserta didik.
Dalam kerangka psikologis, internalisasi diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standart tingkah laku, pendapat dan seterusnya di dalam kepribadian. Freud yakin bahwa superego, atau aspek moral kepribadian berasal dari internalisasi sikap-sikap orang tua[4].
Menurut Muhaimin bahwa dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik atau anak asuh ada tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi yaitu:
a.       Tahap Transformasi Nilai: Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh.
b.      Tahap Transaksi Nilai : Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbal-balik.
c.       Tahap Transinternalisasi : Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif [5].
Dalam hal ini,  jika dikaitkan dengan perkembangan manusia, proses internalisasi harus berjalan sesuai dengan tugas-tugas perkembangan. Internalisasi merupakan sentral proses perubahan kepribadian yang merupakan dimensi kritis pada perolehan atau perubahan diri manusia, termasuk di dalamnya pempribadian makna (nilai) atau implikasi respon terhadap makna.
   2. Nilai
Nilai dapat dimaknakan  oleh para ahli dengan berbagai macam pengertian, sehingga terdapat beberapa pengertian. Adanya perbedaan pengertian tentang nilai ini dapat dimaklumi oleh para ahli itu sendiri karena nilai tersebut sangat erat hubungannya dengan pengertian-pengertian dan aktivitas manusia yang komplek dan sulit ditentukan batasannya. Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika dan biasa juga disebut filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek khidupannya[6]
Nilai pada dasarnya sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusian[7]. Menurut EM Zul Fajri Ratu Aprilia Senja bahwa  nilai-nilai adalah sifat-
sifat yang penting bagi kemanusiaan[8], sedangkan Nilai-nilai menurut Bertens merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik[9].

Sidi Gazalba sebagaimana dikutip oleh Chabib Toha, mengartikan nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.[10]. Sedangkan Menurut Louis O. Kattsof nilai diartikan sebagai berikut:
1.    Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-mata subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti yang terletak pada esensi objek itu.
2.    Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian antara garam dan emas tersebut di atas.
3.    Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.
4.    Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah ada sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat objektif dan tetap[11].
Dari beberapa pengertian tentang nilai di atas dapat difahami bahwa nilai itu adalah sesuatu yang abstrak, ideal, dan menyangkut persoalan keyakinan terhadap yang dikehendaki, dan memberikan corak pada pola pikiran, perasaan, dan perilaku. Dengan demikian untuk melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap seseorang atau sekelompok orang.
Penulis sepakat apa yang disampaikan oleh Ahmad Tafsir, bahwa  pendidik tidak hanya mentranferkan keilmuan (knowledge), tetapi juga menstransformasikan nilai-nilai (value) pada peserta didik.[12]

3. Pengertian Pendidikan Islam
Di dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan yaitu tarbiyah dan ta’dib, kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut Naquib al-Atas tarbiyah secara semantic tidak khusus  ditunjukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat ditunjukan kepada sepsies lain, seperti mineral, tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memilihara, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakan[13]
Menurut Abdul Fatah Jalal mngatakan bahwa pendidikan adalah proses pemberikan pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian (tazkiyah) atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya[14].
Selanjutnya Al-Ghozali berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan dunia dan akherat[15], sedangkan Abdullah Fahad menyatakan bahwa pendidikan Islam mengarah pada dua tujuan: Persiapan untuk hidup akherat dan membentuk perorangan dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menunjang kesuksesanya[16].
Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya, isi ajaran agama Islam yang diserukan Nabi Muhammad SAW dapat diketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diakui keabsahannya oleh para ulama hadits. Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan hidayah yang sempurna bagi seluruh umat manusia. Allah menurunkan Islam ini secara sempurna dan menyeluruh sehingga tidak ada satu persoalan pun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur. Islam memuat aspek hukum halal-haram, mubah-makruh, fardhu-sunnah juga menyangkut masalah akidah, ibadah, pendidikan, politik, ekonomi, perang, damai, perundangan, dan semua konsep hidup manusia.
Jika diperhatikan rumusan tujuan yang telah digariskan oleh para ahli pendidikan Islam tersebut maupun yang telah tertera pada al-Qur’an dan al-Hadist nyatalah bahwa pendidian Islam tersebut bukanlah sekedar mencari kesenangan dunia atau materi semata, akan tetapi menyangkut masalah dunia dan akhirat secara berimbang. Sikap seorang muslim terhadap kehidupan dunia dijelaskan oleh Al-Nadwi: mengenai sikapnya terhadap dunia adalah sikap dari seorang yang memandang bukan tujuan terakhir dan tujuan utama, puncak kebahgian dan kemajuan, ia menganggapnya hanyalah sebagai tahap penyebrangan yang harus dilalui dan sebagai jalan untuk mencapai keberuntungan terbesar kehidupan abadi serta kenikmatan yang disenangi[17].
  
     4. Lembaga Pendidikan
Keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mutlak diperlukan disuatu negara secara umum atau di sebuah kota secara khususnya, karena lembaga-lembaga itu ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga, begitu juga para pencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan mantap dalam akidah keislaman.[18]
Lembaga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bakal dari sesuatu[19]. Asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, lembaga pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai hasil pendidikan yang diinginkan[20].
Secara terminologi lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam, lembaga pendidikan itu mengandung konkirit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma- norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri [21].
Dengan demikian, menurut penulis  dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan sesungguhnya harus sesuai dengan  standar nasional pendidikan (SNP) yaitu standar Pembiyaan, Sarana Prasarana, Kurikulum, Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan,   jadi badan/lembaga pendidikan tersebut memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan agar proses pendidikan dapat berjalan baik dan  wajar sesuai yang diharapkan.

D.  Metodologi Penelitian
Metode Penelitian makalah ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Sukmadinata mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar dan ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia[22].

          Adapun studi kasus (case study) merupakan metode untuk menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan sesuatu kasus. Studi kasus merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu "kesatuan sistem". Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisa kasus dalam satu jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan. Sesuai dengan kekhasannya, bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas. Maka persoalan pemilihan sampel yang menggunakan pendekatan tersebut tidak sama dengan persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif. Sebagai implikasinya, penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak dapat digeneralisasikan, oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif dengan variasi metode studi kasus, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang dirumuskan di awal untuk diuji kebenarannya, hal ini sesuai dengan yang dungkapkan oleh Arikunto bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Kalaupun dalam perjalannnya terdapat hipotesis, ia mencuat sebagai bagian dari upaya untuk membangun dan mengembangkan teori berdasarkan data lapangan (grounded theory)[23].
          Pendekatan kualitatif interaktif sengaja dipilih karena penulis menganggap bahwa karakteristiknya sangat cocok dengan masalah yang menjadi fokus penelitian. Terdapat beberapa karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut :
1.        Latar alamiah; secara ontologis suatu objek harus dilihat dalam konteksnya yang alamiah, dan pemisahan anasir-anasirnya akan mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu.
2.        Manusia sebagai instrumen; Peneliti menggunakan dirinya sebagai pengumpul data utama. Benda-benda lain sebagai manusia tidak dapat menjadi   instrumen   karena   tidak   akan   mampu   memahami   dan meyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya.
3.        Pemanfaatan pengetahuan non-proporsionak Peneliti naturalistis melegitimasi penggunaan intuisi, perasaan, firasat dan pengetahuan lain yang tak terbahaskan (tacit knowledge) selain pengetahuan proporsional (propostional knowledge) karena pengetahuan jenis pertama itu banyak dipergunakan dalam proses interaksi antara peneliti dan responden.
4.        Metode-metode kualitatif, Peneliti kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi.
5.        Sampel purposif; Pemilihan sampel secara purposif atau teoretis disebabkan peneliti ingin meningkatkan cakupan dan jarak data yang dicari demi mendapatkan realitas yang berbagai-bagai.
6.        Analiais data secara induktif, Metode induktif dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti mengidentifikasi realitas yang berbagai-bagai dilapangan, membuat inteaksi antara peneliti dan responden lebih eksplisit, nampak, dan mudah dilakukan, serta memungkinkan identifikasi aspek-aspek yang saling mempengaruhi.
7.        Teori dilandaskan pada data di lapangan; Para peneliti naturalistis mencari teori yang muncul dari data. Mereka tidak berangkat dari teori apriori karena teori ini tidak akan mampu menjelaskan berbagai temuan (realitas dan nilai) yang akan dihadapi di lapangan.
8.        Desain penelitian mencuat secara alamiah; Para peneliti memilih desain penelitian muncul, mencuat, mengalir secara bertahap, bukan dibangun di awal penelitian. Desain yang muncul merupakan akibat dari fungsi interaksi antara peneliti dan responden.
9.        Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden untuk memahami makna dan interpretasi mereka ihwal data yang memang di peroleh dari mereka.
10.    Cara pelaporan kasus; Gaya pelaporan ini lebih cocok ketimbang cara pelaporan saintifik yang lazim pada penelitian kuantitatif, sebab pelaporan kasus lebih mudah diadaptasikan terhadap deskripsi realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti.
11.    Interpretasi idiograflk; Data yang terkumpul termasuk kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiograflk, yaitu secara kasus, khusus, dan kontekstual. tidak secara nomotetis, yakni berdasarkan hukum-hukum generalisasi.
12.    Aplikasi tentatif; Peneliti kualitatif kurang berminat (ragu-ragu) untuk membuat klaim-klaim aplikasi besar dari temuannya karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam.
13.    Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah teritorial penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh fokus penelitian yang memang mencuat ke permukaan. Fokus demikian memungkinkan interaksi lebih mantap antara peneliti dan responden pada konteks tertentu.
14.    Keterpercayaan dengan kriteria khusus; Istilah-istilah seperti internal validity, external validity, reliability dan objectivity kedengaran asing bagi para peneliti naturalistik, karena memang bertentangan dengan aksioma-aksioma naturalistik. Keempat istilah tersebut dalam panelitian naturalistik diganti dengan credibility, transfer ability, dependability, dan conjirmability."[24]

E.     Pembahasan
Dari penjelasan di atas, penulis berusaha mengkaji dan meniliti dari permasalahan yang ada yaitu:
1.      Kendala yang dihadapi lembaga Pendidikan Islam dalam usaha meninternalisasi nilai-nilai Islam ke lembaga pendidikan, di antaranya adalah:
a.       Tidak ada tujuan, program, visi dan misi lembaga pendidikan yang berhubungan dengan internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam.
b.      Adanya fluktuasi, dikotomis,  kesenjangan dan antara lembaga pendidikan umum di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional dan lembaga pendidikan agama di bawah naungan Kementrian Agama dalam penanaman nilai-nilai Pendidikan  Islam di kedua lembaga pendidikan tersebut.
c.       Pengelola atau tenaga pendidik di Lembaga Pendidikan belum memahami atau tidak tahu  bagaimana cara menginternalisasikan materi atau pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dengan nilai-nilai pendidikan  Islam.
d.      Belum atau Tidak mendapat respon atau dorongan dari pengelola / pengurus yayasan atau kepala lembaga pendidikan atau  dan  para pendidik tentang internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam.
e.       Pendidik di lembaga pendidikan hanya sebatas mengajar namun tidak mendidik, pengertian mengajar adalah aktifitas  pendidik memberikan atau menyampaikan  ilmu dan wawasan pengetahuan tanpa mengawal atau mengontrol peserta didik  dari segi perkembangan maupun pengamalan  ilmu yang diberikan. Lebih dari mengajar, mendidik adalah kegiatan yang tidak sebatas menyampaikan  ilmu dan wawasan namun juga juga menekankan perbaikan dan pembenahan peserta didik menjadi insan yang sempurna dan mulia.
f.       Pengelola, Kepala lembaga pendidikan  atau pendidik  yang tidak mempunyai latar belakang islami dan kurangnya pengetahuan dan wawasan akan nilai-nilai Islam
g.      Suasana dan Lingkungan islami di lembaga pendidikan.tidak mendukung.
h.      Tidak adanya kegiatan, pelatihan atau kegiatan di lembaga pendidikan yang berhubungan dengan  nilai-nilai pendidikan Islami.
i.        Tidak ada suri tauladan dan  terbiasanya pendidik dan peserta untuk bertindak dan ucapan yang Islami.
j.        Tidak terwujudnya kebersamaan antara pengelola, kepala lembaga pendidikan, pendidik baik dosen maupun  guru dan peserta didik dalam melakukan kegiatan atau aktifitas  dalam rangka mendukung dan mendorong internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam di lembaga pendidikan tersebut.

2.      Usaha yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan dalam dalam internalisasi nilai-nilai Pendidikan Islam.
        Proses internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam di lembaga Pendidikan Islam tidak dapat dilakukan secara otomatis atau  instan, namun secara bertahap sedikit demi sedikit dan dilakukan secara terus-menerus atau secara berkelanjutan. Dalam mengiternalisasikan nilai-nilai pendidikan Islam di lembaga pendidikan Islam  dapat dilakukan berbagai cara, tergantung dari pengelola lembaga pendidikan  tersebut dalam mengatur, mengelola dan mengemasnya dengan baik.
      Dalam internalisasi  nilai-nilai Pendidikan  Islami bagi peserta didik, pendidik maupun karyawan  di lembaga pendidikan, dapat diaksanakan dengan beberapa bentuk, antara lain dalam:
a.       Bentuk Pelaksanaan Kegiatan.
Internalisasi nlai-nilai pendidikan Islam dapat dilakukan dalam pelaksanaan khalaqoh/kegiatan Islam atau Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) seperti Tahun Baru Islam,  workshop. Pesantren Romadhon,  Loka karya, diskusi dan lain sebagainya dalam rangka meningkatkan keimanan, ketakwaan dan wawasan keislaman, seprti contoh yang selalu dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Metro Lampung dengan mengadakan kegiatan pengajian rutin setiap hari Jum’at pagi  bagi pendidik dan karyawan, sedangka hari Rabu Pagi bagi mahasiswa-mahasiswinya.
b.      Bentuk Nyata (Fisik)
Pembinaan Internalisasi  nilai-nilai pendidikan Islam nilai-nilai Islam kepada peserta didik, pendidik maupun karyawan dapat diaplikasikan dengan kegiatan ibadah sholat, zakat, santunan, aturan ataupun pamlet / tulisan yang bernilai  islami.
c.       Bentuk Tindakan atau Perbuatan.
Internalisasi nilai-nilai pendidikan Islami  yang dapat dilakukan dengan membiasakan segala tindakan atau perbuatan peserta didik, pendidik maupun karyawan dengan cara saling menghargai dan menghormati silaturahmi, tauladan yang baik, budaya salam, bersyukur, ikhlas dalam segala perbuatan, prasangka baik, berpakaian yang islami dengan  menutup aurat dan menjaga keindahan dan lain sebagainya.
               
Pengelola Lembaga pendidikan hendaknya selalu dan berusaha memberikan arahan atau intruksi kepada para tenaga pendidik baik itu guru atau dosen  di dalam kelas dengan cara:
1.      Di dalam Kelas
a.       Tenaga Pendidik menyajikan materi atau kurikulum yang berhubungan atau menghubungkaitkan tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang berkenaan  dengan etika, estetika dan akhlak.
b.      Tenaga Pendidik mengadakan bimbingan dan diskusi kepada peserta yang membahas tentang kasus, permasalahan atau informasi yang berkembang khususnya nilai-nilai pendidikan Islam yang berhubungan dengan  etika, estetika dan akhlak.
c.       Tenaga pendidik berusaha memasukkan nilai-nilai Pendidikan Islam di dalam materi pelajaran.
d.      Tenaga Pendidik mengajak peserta menemukan suatu perbuatan atau kisah  yang mengandung unsur–unsur nilai (baik positif maupun negatif) yang berdasarkan ajaran atau norma dan selanjutnya akan ditemukan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan oleh peserta didik.
e.       Tenaga Pendidik melakukan pendekatan melalui pembelajaran, pengalaman atau contoh dengan cara  menyajikan materi dengan tujuan peserta didik  dapat menemukan kisah atau cerita  dan perumpamaan-perumpamaan dalam suatu peristiwa, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi.
f.       Tenaga pendidik menyarankan  peserta didik untuk membaca teks dan melihat tayangan media yang memiliki nilai-nilai pendidikan Islam.
g.      Diharapkan tenaga Pendidik dan peserta didik sebelum memulai kegiatan belajar mengajar (KBM) dan mengakhirinya dengan berdoa atau membaca al-Qur’an.


2.      Di Luar Kelas
a.       Membuat peraturan dalam usaha  internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam, seperti dilarang merokok kecuali tempat tertentu, memakai pakaian busana muslim-muslimah seperti memakai jilbab. membuang sampai pada tempatnya untuk menjaga kebersihan dan keindahan.
b.      Membiasakan diri semua warga di lembaga pendidikan untuk Senyum, Sapa dan Salam setiap bertemu.
c.       Membuat suasana atau lingkungan yang memiliki nilai-nilai pendidikan Islam seperti tulisan-tulisan di pamlet seperti: kebersihan sebagian dari iman, Mulailah perbuatan yang baik dengan basmalah dan mengakhiri dengan hamdalah, pagi-pagi menjelang masuk kelas atau istrahat  didengarkan lagu-lagu islami atau  bacaan al-Qur’an
d.      Membuat ruangan khusus berupa mushola atau masjid dengan tempat wudhu dan toiletnya  sebagai sarana ibadah untuk melakuan sholat jamaah, sholat dhuha, baca al-Qur”an,  praktek sholat, mengurus jenazah dan lain sebagainya.
F.     Kesimpulan
Salah satu ruang yang menjadi sarana untuk mencetak generasi bangsa yang beriman dan berilmu adalah lembaga pendidikan, maka lembaga pendidikan sebagai suatu instansi yang diharapkan  oleh pemerintah, orangtua dan masyarakat agar mampu melakukan internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam berdasarkan al-Qur;an dan as-Sunnah, baik di dalam kelas mapun di luar kelas dalam bentuk tindakan, fisik dan beberapa kegiatan islami lainnya secara bersama-sama  dalam  mewujudkan tujuan, visi dan misi tersebut, walaupun demikikian belum dapat menghasilkan secara keseluruhan, tentunya  perlu proses, pembiasaan dan dilakukan secara bertahap melaksanakan dan diharapkan  mendapat dukungan dan respon setiap warga di lembaga pendidikan tersebut, mulai dari pengelola, tenaga pendidik dan peserta didik.



DAFTAR  PUSTAKA

Abu Hasan Ali al-Husni al-Nadwi, Peraturan Antara Alam Pikiran Islam Dengan Pikiran Barat, Bandung PT. Al-Maarif, 1983.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepsi Islam, Bandung: Rosda Karya, 2002.
Abdul Fatah Jalil dalam Bukhar Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2010.
Abddullah Fayad dalam Abd. Al-Ghoni Abud, Al-fikr at-Tarbawi Inda Al-Ghazali, Dar al-Fikr al-Arabi, 1982.

Bertens dan Paul Suparno: Reformasi pendidikan, Yogyakarta : Lentera. 2001.
Chaplin, James  P, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

EM Zul Fajri Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publiser, 2014.  

Fatihah Hasan Sulaiman, Mazahib fi al-Tarbiyah Bahtsun fi Mazhab al-Tarbiyah Inda Al-Ghazali, Mesir maktabah Nahdiyah, 1964.

Hasan Langgulung, Pemikiran Pendidikan Islam,  Bandung: PT  Al-Maarif, 1980.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2009.
Louis Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986 .

Muhaimin, Srategi Belajar Mengajar,  Surabaya: Citra Media,  2006.

Nana Syaodih,  Metode Penelitian Pendidikan.  Bandung: Rosda,  2008.
Pius Partanto dan Dahlan, Kamus ilmiyah Populer ,Surabaya: Arkola, 2001.

Said Agil Husain Almunawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’an dalam sistem pendidikan Islam, Ciputat : Ciputat Press, 2005.

Shcd Muhammad Al-Naquib Al-Atas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terjemah Haidar Bagir, Bandung Mizan, 1984.

W.JS Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai pustaka, 1999, h. 667.

Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren, Agenda yang Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008.




[1]  Makalah disampaikan pada acara seminar Internasional  di Universitas Muhammadiayah Lampung (UML), tanggal 28 Desember 2015
[2] Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Manajemen Pendidikan  dan Dosen Tetap FAI Universitas Muhammadiyah Metro Lampung..
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989, h.336.
[4] Chaplin, James  P, Kamus Lengkap Psikologi., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 , h.256
[5] Muhaimin, Srategi Belajar Mengajar,  Surabaya: Citra Media,  2006,  h.153
[6] Said Agil Husain Almunawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’an dalam sistem pendidikan Islam, Ciputat : Ciputat Press, 2005, h. 3.
[7] W.JS Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai pustaka, 2009, h. 677.
[8] EM Zul Fajri Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publiser, 2011, h.590.
[9]Bertens sebagaimana yang dikutip oleh Paul Suparno: Reformasi pendidikan, Yogyakarta : Lentera. 2001, h. 76.
[10] Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 60
[11] Louis Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986 h.333.
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepsi Islam, Bandung: Rosda Karya, 2002,  h.74.
[13] Shcd Muhammad Al-Naquib Al-Atas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terjemah Haidar Bagir, Bandung Mizan, 1984, h. 66.
               [14] Abdul Fatah Jalil dalam Bukhar Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah,2010, h.23-24. Selain itu menurut Hasan Langgulung dalam bukunya  Pemikiran Pendidikan Islam,  bahwa ada3 macam  tujuan pendidikan yaitu tujuan tertinggi atau terakhir yaitu tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan lain, sekalipun bertingkat-tingkat di bawah tujuan lain yang kurang dekat dan kurang umum daripadanya, Tujuan ‘am atau tujuan umum yaitu perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan untuk mencapainya dan terakhir adalah tujan khas atau khusus yaitu perubahan-perubahan yang diinginkan yang bersifat cabang atau bagian-bagian yang termasuk dibawah tiap-tiap tujuan pendidikan. (Bandung: PT  Al-Maarif, 1980, h. 405-425
[15] Fatihah Hasan Sulaiman, Mazahib fi al-Tarbiyah Bahtsun fi Mazhab al-Tarbiyah Inda Al-Ghazali, Mesir maktabah Nahdiyah, 1964, h. 11
[16] Abdullah Fayad dalam Abdul. Al-Ghoni Abud, Al-fikr at-Tarbawi Inda Al-Ghazali, Dar al-Fikr al-Arabi, 1982, h.113
[17] Abu Hasan Ali al-Husni al-Nadwi, Peraturan Antara Alam Pikiran Islam Dengan Pikiran Barat, Bandung PT. Al-Maarif, 1983, h. 196.
[18] Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren, Agenda yang Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008, h.2.
[19] Pius Partanto dan Dahlan, Kamus ilmiyah Populer ,Surabaya: Arkola, 2001, h.412.
         [21] Ibid.
       [22] Nana Syaodih,  Metode Penelitian Pendidikan.  Bandung: Rosda,  2008, h.72
[23] Ibid, h.68
[24] Ibid, h.73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar