M
IHSAN DACHOLFANY
JURNAL
NER UNINUS BANDUNG
Latar Belakang
Berdasarkan hasil penelitian,
bahwa pendidikan memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber daya manusia
dan insan yang berkualitas. Secara kuantitas, kemajuan pendidikan di Indonesia
cukup menggembirakan, namun secara kualitas, perkembangannya masih belum
merata.
Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju
pada mutu lulusan. Merupakan sesuatu yang mustahil, pendidikan atau
sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, jika tidak melalui proses pendidikan
yang bermutu pula. Merupakan sesuatu yang mustahil pula, terjadi proses
pendidikan yang bermutu jika tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses
pendidikan yang bermutu pula.
Proses
pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia, seperti administrator,
guru, konselor, dan tata usaha yang bermutu dan profesional. Hal tersebut
didukung pula oleh sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas, media, serta
sumber belajar yang memadai, baik mutu maupun jumlahnya, dan biaya yang
mencukupi, manajemen yang tepat, serta lingkungan yang mendukung.
Mutu
pendidikan bersifat menyeluruh, menyangkut semua komponen, pelaksana, dan
kegiatan pendidikan, atau disebut sebagai mutu total atau “Total Quality”.
Adalah sesuatu yang tidak mungkin, hasil pendidikan yang bermutu dapat dicapai
hanya dengan satu komponen atau kegiatan yang bermutu.
Kegiatan pendidikan cukup kompleks, satu
kegiatan, komponen, pelaku, waktu, terkait, dan membutuhkan dukungan dari
kegiatan, komponen, pelaku, serta waktu lainnya.
Saat ini,
mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan
pemerintahan. Kita semua mengakui, saat ini memang ada masalah dalam sistem
pendidikan. Lulusan SMA atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan
masyarakat. Para siswa yang tidak siap menjadi warga negara yang bertanggung
jawab dan produktif itu, akhirnya hanya akan menjadi beban masyarakat.
Para siswa
itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang
akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial saja. Banyak masalah
mutu dihadapi dalam dunia pendidikan, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran,
bimbingan dan latihan dari guru, serta mutu profesionalisme dan kinerja guru.
Mutu-mutu
tersebut terkait dengan manajerial para pimpinan pendidikan, keterbatasan dana,
sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, serta dukungan dari pihak-pihak
yang terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen-komponen
pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.
Makalah di
bawah ini akan membahas tentang manajemen mutu pembelajaran di lembaga
pendidikan Islam dengan harapan agar kita sebagai pelaku pendidikan bisa
memanaj dan mengembangkan lembaga pendidikan Islam bertolak dari teori-teori
manajemen pendidikan serta mampu menjadi pemimpin yang dapat memberdayakan
lembaga pendidikan terutama dalam merespon perubahan yang semakin dinamis dan
kompleks. (Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata dkk, Pengendalian Mutu Pendidikan
Sekolah Menengah, Konsep, Prinsip, dan Instrumen)
Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebenarnya
memiliki cakupan yang cukup luas, seperti yang dikemukakan Zarkowi Soejoeti
(1986), pendidikan Islam didefinisikan dalam tiga pengertian. Pertama,
pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya
didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai
Islam. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian yang sekaligus
menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang
diselenggarakan. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian
tersebut di atas. (Marno, M.PdI., Islam by Management and Leadership Tinjauan
Teoritis dan Empiris Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Lintas
Pustaka Publisher, 2007, hal 92-93).
Lembaga
pendidikan Islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan
lembaga-lembaga sosial, baik yang permaen maupun yang berubah-ubah. Lembaga ini
mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya, serta mempunyai
struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dalam naungannya,
sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri (Dr. Abdul Mujib,
M.Ag. dan Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, edisi
pertama, Jakarta: Kencana Prenada Medika, hal 223).
Sementara itu
menurut Muhaimin (2002: 104), ditilik dari aspek program dan praktik pendidikan
Islam yang dilaksanakan, terutama di Indonesia, setidak-tidaknya dapat dibagi
ke dalam lima jenis, yaitu: (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan
madrasah, dan pendidikan lanjutan seperti IAIN/STAIN atau Perguruan Tinggi Islam
yang bernaung di bawah Departemen Agama; (3) pendidikan umum yang bernafaskan
Islam, (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga
pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja; dan (5)
pendidikan Islam dalam keluarga atau tempat-tempat ibadah, dan/atau forum-forum
kajian keislaman, majelis ta’lim dan sebagainya. (Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2002, 104)
Manajemen Mutu Pembelajaran
Mutu
merupakan sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan.
Mutu bukanlah benda magis atau sesuatu yang rumit. Mutu didasarkan pada akal
sehat. Mutu menciptakan lingkungan bagi pendidik, orang tua, pejabat
pemerintah, wakil-wakil masyarakat dan pemuka bisnis untk bekerja bersama guna
memberikan kepada para siswa sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi
tantangan masyarakat, bisnis dan akademik sekarang dan masa depan. Bila mutu
pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional
pendidikan.
Manajemen
mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat
beradaptasi dengan ”kekuatan perubahan” yang memukul sistem pendidikan bangsa
kita. Pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita
sebenarnya sudah ada dalam komunitas pendidikan kita sendiri.
Kesulitan
utama yang dihadapi para profesional pendidikan sekarang ini adalah
ketidakmampuannya menghadapi ”sistem yang gagal” sehingga menjadi tabir bagi
para profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru
pendidikan yang akan memperbaiki mutu pendidikan.
Sekolah mesti
belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para profesional
pendidikan harus membantu para siswa mengembangkan ketrampilan yang akan mereka
butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan
sekolah masih memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat
bersedia memberi dana yang lebih besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam
perbaikan mutu pendidikan.
Mutu
pendidikan akan meningkat bila administrator, guru, staf dan anggota dewan
sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim,
kooperasi, akuntabilias dan pengakuan. (Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis
Mutu Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cetakan ke-4, 2007, hal. 2, 75, 77).
Pembelajaran
terkait dengan bagaimana (how to) membelajarkan siswa atau bagaimana membuat
siswa dapat belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk
mempelajari apa (what to) yang teraktualisasikan dalam kurikulum sebagai
kebutuhan (needs) peserta didik.
Karena itu,
pembelajaran berupaya menjabarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam
kurikulum dengan menganalisis tujuan pembelajaran dan karakteristik isi bidang
studi yang terkandung di dalam kurikulum. Selanjutnya, dilakukan kegiatan untuk
memilih, menetapkan, dan mengembangkan cara-cara (strategi) pembelajaran yang
tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai kondisi yang
ada, agar kurikulum dapat diaktualisasikan dalam proses pembelajaran sehingga
hasil belajar terwujud dalam diri peserta didik. (Muhaimin, M.A. Paradigma
Pendidikan Islam.
Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, 2002, hal 146)
Pencapaian keberhasilan belajar tidak hanya menjadi tanggung jawab siswa, tetapi guru ikut bertanggung jawab dalam menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pencapaian keberhasilan belajar tidak hanya menjadi tanggung jawab siswa, tetapi guru ikut bertanggung jawab dalam menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Berpusat pada Siswa
Setiap siswa pada dasarnya berbeda, dan telah ada dalam dirinya minat
(interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman
(experience) dan cara belajar (learning style) yang berbeda antara siswa yang
satu dengan siswa lainnya. Oleh karena itu guru harus mengorganisasikan
kegiatan pembelajaran, kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar,
media dan sumber belajar dan cara penilaian yang disesuaikan dengan
karakteristik individual siswa. Karenanya kegiatan pembelajaran yang
dikembangkan oleh guru harus mendorong siswa agar dapat mengembangkan potensi,
bakat serta minat yang dimilikinya secara optimal dan maksimal.
2.
Pembalikan Makna Belajar
Dalam konsep tradisional belajar hanya diartikan penerimaan informasi
oleh peserta didik dari sumber belajar dalam hal ini guru sehingga merupakan
transfer of knowledge. Dalam kurikulum berbasis kompetesi makan belajar tersebut
harus dibalik dimana belajar diartikan merupakan proses aktivitas dan kegiatan
siswa dalam membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi dan atau
pengalaman.
Dan pada dasarnya proses membangun pengetahuan dan pemahaman dapat
dilakukan sendiri oleh siswa dengan persepsi, pikiran (entering behavior) serta
perasaan siswa.
Konsekwensi logis pembalikan makna belajar ini menghendaki partisipasi
guru dalam bentuk bertanya, meminta kejelasan, dan bila diperlukan menyajikan
situasi yang bertentangan dengan pemahaman siswa dengan harapan siswa
tertantang untuk memperbaiki sendiri pemahamannya. Selain itu guru lebih banyak
berperan membimbing siswa dalam belajar serta menempatkan diri sebagai
fasilitator pembelajaran dengan menempatkan siswa yang harus bertanggung jawab
dalam membangun pengetahuannya sendiri.
3. Belajar dengan Melakukan
Aktivitas siswa dalam belajar akan
sangat ideal bila dilakukan dalam kegiatan nyata yang melibatkan dirinya,
terutama untuk mencari dan menemukan serta mempraktekkannya sendiri. Dengan
cara ini, siswa tidak akan mudah melupakan apa yang diperolehnya selama
mengikuti kegiatan pembelajaran. Pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya
dengan cara mencari dan menemukan serta mempraktekkan sendiri akan tertanam dalam
hati sanubari dan pikiran siswa karena ia belajar secara aktif dengan cara
melakukan.
4. Mengembangkan
Kemampuan Sosial, Kognitif dan Emosional.
Dalam kegiatan pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam suasana
interaksi dengan orang lain seperti antar siswa, antara siswa dengan guru, dan
siswa dengan masyarakat. Dengan interaksi yang intensif siswa akan mudah untuk
membangun pemahamannya. Guru harus mendorong terjadinya proses sosialisasi pada
diri siswa masing-masing, dimana siswa belajar saling menghormati dan
menghargai terhadap perbedaan-perbedaan dan agar siswa terdorong untuk saling
membangun pengertian yang diselaraskan dengan pengetahuan dan tindakannya.
5. Mengembangkan
Keingintahuan, Imajinasi, dan Fitrah Bertuhan
Siswa terlahir dengan memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi yang
merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri dan kreatif serta
fitrah bertuhan yang merupakan cikal bakal manusia untuk beriman dan bertakwa
kepada Tuhan. Dengan pemahaman ini kegiatan pembelajaran perlu mengembangkan
dan memperhatikan rasa ingin tahu dan imajinasi siswa serta diarahkan pada
pengesahan rasa keagamaan sesuai dengan tingkatan usia siswa.
6. Mengembangkan Keterampilan
Pemecahan Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan dihadapkan kepada berbagai
permasalahan yang harus dipecahkan. Karenanya diperlukan keterampilan dalam
memecahkan masalah. Untuk itu seseorang harus belajar melalui pendidikan dan
pengajaran. Karenanya dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi yang
menantang kepada siswa untuk mencari dan menemukan masalah, serta melakukan
pemecahan dan mengambil kesimpulan. Dalam hal ini guru dapat menggunakan
pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan pembelajaran yang mengarahkan
siswa untuk dapat memperoleh keterampilan dasar pemecahan yaitu: mengobservasi,
mengklafikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan serta
memperoleh keterampilan pemecahan masalah secara terintegrasi yang meliputi:
mengidentifikasi variabel, mendefinisikan variabel secara operasional, menyusun
hipotesis, mengumpulkan dan mengolah data, membuat tabulasi data, menyajikan
data dalam bentuk distribusi frekwensi, menghubungkan antar variabel, analisis
terhadap data penelitian, merancang penelitian dan melakukan atau melaksanakan
percobaan.
7. Mengembangkan Kreatifitas
Siswa
Kreativitas merupakan kemampuan mengkombinasikan atau menyempurnakan
sesuatu berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang sudah ada yang akan
menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru,
dan sebelumnya tidak dikenal pembuatanya.
Pembelajaran yang menuntut siswa berpikir kreatif, yaitu kemampuan berdasarkan data dan informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.
Pembelajaran yang menuntut siswa berpikir kreatif, yaitu kemampuan berdasarkan data dan informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.
8. Mengembangkan
Kemampuan Menggunakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia dalam
menjalankan kehidupannya sehingga siswa perlu mengenal dan mampu menggunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini, serta tidak gagap terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran
diarahkan untuk memberikan kesempatan dan peluang kepada siswa memperoleh
informasi dari sumber belajar dan media pembelajaran yang menggunakan teknologi
serta diarahkan untuk mengenal dan mampu menggunakan multi media yang dapat
digunakan dalam penyajian materi pembelajaran. Untuk itu cara yang dapat
digunakan agar siswa mengenal dan mampu menggunakan teknologi adalah dengan
cara memberikan tugas yang mengharuskan siswa berhubungan langsung dengan
teknologi, misalnya membuat laporan tentang materi tertentu dari televisi,
radio atau bahkan internet.
9. Menumbuhkan Kesadaran
sebagai Warga Negara yang Baik.
Siswa perlu memperoleh wawasan dan kesadaran berbangsa dan bernegara,
sehingga kegiatan pembelajaran perlu memberikan wawasan nilai-nilai sosial
kemasyarakatan, patriotisme dan semangat cinta tanah air yang dapat membekali
siswa agar menjadi warga masyarakat dan negara yang bertanggung jawab serta
memiliki semangat nasionalisme dan kebangsaan.
10. Belajar Sepanjang Hayat
Dalam Islam, menuntut ilm diwajibkan bagi setiap muslim mulai dari buaian
sampai liang lahad. Siswa memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat dalam
rangka memupuk dan mengembangkan ketahanan fisik dan mentalnya sehingga
pembelajaran diarahkan agar siswa berpikir positif mengenai siapa dirinya,
mengenali dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang
dimilikinya serta mensyukuri atas segala rahmat, nikmat serta karunia yang
telah dianugerahkan Tuhan kepada dirinya.
11. Perpaduan
Kemandirian dan Kerjasama
Siswa perlu diberi pengertian dan pemahaman untuk belajar berkompetisi
secara sehat, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Hal ini perlu
dikembangkan oleh guru dengan pemberian tugas-tugas individu untuk menumbuhkan
kemandirian dan semangat berkompetisi maupun tugas kelompok untuk menumbuhkan
kerjasama dan solidaritas.
(Drs. Darwyn Syah, M.Pd dkk, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan
Agama Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, hal 289-295)
Manajemen Mutu Pembelajaran
di Lembaga Pendidikan Islam
Secara
kelembagaan, terutama dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai pendidikan
Islam sebenarnya lebih diwarnai oleh dua model pendidikan, yakni pendidikan
dalam bentuk pesantren dan pendidikan madrasah.
1. Manajemen Mutu Pembelajaran di Pondok Pesantren
1. Manajemen Mutu Pembelajaran di Pondok Pesantren
Pada dasarnya
pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikelola secara
konvensional dan dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dan Kyai sebagai
sentra utama serta masjid sebagai pusat lembaganya. Sejak awal pertumbuhannya,
pesantren mempunyai bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi
yang berlaku bagi semua pesantren. Namun demikian dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan pesantren tampak adanya pola umum, yang diambil dari makna
peristilahan pesantren itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu pola
tertentu.
Pondok
pesantren pada awalnya merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam
yang diberikan dengan cara non klasikal (sistem pesantren), di mana seorang
kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa
Arab oleh ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke 12 s/d abad ke 16).
2.
Namun pada beberapa dasawarsa terakhir ini terjadi
pergeseran yang dialami oleh pesantren. Beberapa indikator pergeseran tersebut
antara lain:
a. Kyai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Santri dapat belajar dari
banyak sumber. Sejak 10 tahun terakhir ini banyak buku-buku pembaharuan
pemikiran dalam Islam yang ditulis dalam buku bahasa Indonesia baik oleh para
cendekiawan muslim Indonesia maupun merupakan terjemahan dari buku-buku yang
ditulis oleh sarjana-sarjana Islam di luar negeri yang dapat dibaca oleh
santri-santri dan ustadz.
b.
Dewasa ini hampir seluruh pesantren menyelenggarakan
jenis pendidikan formal, yaitu madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi.
c.
Seiring dengan pergeseran pola tersebut, santri
membutuhkan ijazan dan penguasaan bidang keterampilan atau keahlian yang jelas
yang dapat mengantarkannya untuk menguasai lapangan kehidupan tertentu. Dalam
era modern tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi perlu
dilengkapi dengan keahlian atau keterampilan yang relevan untuk kebutuhan kerja
masa depan mereka. Untuk itu di kalangan santri terdapat kecenderungan yang
semakin kuat untuk mempelajari sains dan teknologi pada lembaga-lembaga
pendidikan formal, baik di madrasah maupun sekolah umum untuk memperoleh
keahlian dan keterampilan yang dimaksud, tetapi mereka juga ingin tetap belajar
di pesantren untuk mendalami agama.
3.
Manajemen Mutu Pembelajaran di Madrasah.
Keberadaan madrasah seperti sekarang ini merupakan akumulasi berbagai
macam budaya dan tradisi pendidikan yang berkembang di Indonesia. Mulai dari
tradisi pra-sejarah atau tradisi asli, tradisi Hindu-Budha, tradisi Islam, dan
tradisi barat atau modern. Oleh sebab itu madrasah telah menjadi salah satu
wujud entitas budaya bangsa Indonesia yang telah menjalani proses sosialisasi
yang relatif intensif, dan dalam waktu yang cukup panjang itu telah memainkan
peran tersendiri dalam panggung pembentukan peradaban bangsa.
Sebelum
terbentuk sistem madrasah, pada awalnya proses pendidikan dan pengajaran
dilaksanakan di masjid dan pesantren. Setelah terbuka dan semakin kuatnya
proses pembentukan Intellectual Webs (jaringan intelektual) di kalangan umat
Islam dengan Haramain sebagai sumber tempat yang ”asli”, nuansa mistik yang kental
di pondok pesantren lambat laun semakin berkurang dan bergerak ke arah proses
ortodoksi.
Di sisi lain juga terjadi proses perubahan isi
pembelajaran di dalam format-format pembelajarannya dengan tumbuh dan
berkembangnya pola pembelajaran pelajaran Islam yang dikelola dengan sistem
Madrasi.
Dilihat dari pengelolaannya, pendidikan sistem madrasah ini memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal.
Dilihat dari pengelolaannya, pendidikan sistem madrasah ini memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal.
Pengelolaan
sistem madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan pelajaran-pelajaran
tentang pengetahuan Islam yang penyampaiannya dilakukan secara
bertingkat-tingkat dengan memperhitungkan rentang waktu yang dibutuhkan,
sehingga secara teknis, sistem madrasi berusaha mengorganisasikan kegiatan
kependidikannya dengan sistem kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan.
Dari waktu ke
waktu format madrasah semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keislaman
terus mengalami perubahan, seiring dengan semakin kuatnya kontak dengan dunia
luar terutama dengan negara-negara Islam dan juga dipengaruhi oleh
kolonialisasi di nusantara ini yang berabad-abad lamanya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, terutama dua dekade terakhir ini, madrasah mengalami
polarisasi pengembangan seiring dengan tuntutan zamannya. Berbagai macam
kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan madrasah ini,
antara lain ditetapkannya Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) pada tahun 1987
yang kemudian diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada
tahun 1994. Pada tahun yang sama (1994) juga ditetapkan dan dikeluarkan
kurikulum madrasah yang baru sebagai standarisasi kurikulum di madrasah dengan
beberapa perubahan seiring dengan perkembangan dan tantangan dan semakin
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agar madrasah
secara kualitas mempunyai mutu yang sama dengan lulusan sekolah umum, maka
dibentuklah madrasah model, yakni madrasah negeri yang memiliki standar
tertentu dari segi sarana dan prasana, jumlah dan kualitas gurunya, serta siswa
yang terseleksi. Madrasah model ini diharapkan dapat memberikan imbas pada
madrasah lain yang sekian ribu banyaknya.
Sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, madrasah memegang peran
penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui
pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua
kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki
kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ), sehingga
sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah, memiliki potensi dan peluang
besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa depan. Kecenderungan tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Terjadi
mobilitas sosial yakni munculnya masyarakat menengah baru terutama kaum intelektual
yang memiliki peran besar dalam proses transformasi sosial, misalnya di bidang
pendidikan yang akan berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas pendidikan
yang sesuai dengan aspirasinya baik cita-citanya maupun status sosialnya. Karena itu lembaga pendidikan yang mampu
merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut secara cepat dan cerdas
akan menjadi pilihan masyarakat ini.
2. Munculnya
kesadaran baru dalam beragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat
perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses
re-islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan
yang berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan pendidikan yang
mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya.
3. Arus
globalisasi dan modernisasi yang demikian cepat perlu disikapi secara arif.
Modernisasi dengan berbagai macam dampaknya perlu disiapkan manusia-manusia
yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan (IMTAQ). Kelemahan di salah
satu kompetensi tersebut menjadikan perkembangan anak tidak seimbang, yang pada
akhirnya akan menciptakan pribadi yang pincang (split personality).
Dengan
demikian agar mutu pembelajaran di lembaga pendidikan Islam bisa dimanaj dengan
baik, maka ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan oleh para pelaku di
lembaga pendidikan Islam tersebut, antara lain:
1.
Perencanaan
Perencanaan
adalah proses penentuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan
jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien dan
seefektif mungkin. Dalam setiap perencanaan selalu terdapat tiga kegiatan yang
meskipun dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya dalam proses perencanaan yaitu:
a.
Perumusan tujuan yang ingin dicapai
b.
Pemilihan
program untuk mencapai tujuan itu
c.
Identifikasi dan pengarahan sumber yang jumlahnya
selalu terbatas.
2.
Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan proses membagi kerja ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, membebankan tugas-tugas itu kepada orang yang sesuai dengan kemampuannya, dan mengalokasikan sumber daya, serta mengkoordinasikannya dalam rangka efektivitas pencapaian tujuan organisasinya.
3. Pemimpinan.
Pemimpin pada
hakekatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi
perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan
adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan
tugas-tugas yang harus dilaksanakannya.
Dalam lembaga pendidikan Islam yang dimaksud pemimpin adalah Kyai dalam pondok pesantren dan ustadz dalam madrasah.
Dalam lembaga pendidikan Islam yang dimaksud pemimpin adalah Kyai dalam pondok pesantren dan ustadz dalam madrasah.
4. Pengawasan
Pengawasandiperlukan untuk melihat sejauh
mana hasil tercapai. Pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial
tetap diperlukan bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dasar
tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu:
1)
Menetapkan
standar pelaksanaan
2)
Pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibandingkan
dengan standar
3)
Menentukan
kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan rencana.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. Nana Syaodih Sukmadinata dkk, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah
Menengah, Konsep, Prinsip, dan Instrumen.
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke-4, 2007.
Marno, M.PdI., Islam by Management and Leadership Tinjauan Teoritis dan Empiris Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, 2007.
Dr. Abdul Mujib, M.Ag. dan Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, edisi pertama, Jakarta: Kencana Prenada Medika.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Drs. Darwyn Syah, M.Pd dkk, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
DR. Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, cetakan kedelapan, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikti,
Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah. Penelitian Tindakan Kelas
(Classroom Action research). IBRD OAN No 3979 – IND
Hopkins, David.
1992. A Teacher’s Guide to Classroom Research. 2
[1] Makalah Disampaikan pada tanggal 9 Januari 2016 di
aula Pemda Kota Metro Lampung
[2]
Penulis adalah Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Metro Lampung, dan dosen STAIN Metro , email : mihsandacholfany@yahoo.com, hp.
081213022488.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar