Kamis, 11 Februari 2016

MANAJEMEN MUTU PEMBELAJAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM M IHSAN DACHOLFANY


M IHSAN DACHOLFANY
JURNAL NER UNINUS BANDUNG


Latar Belakang
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pendidikan memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber daya manusia dan insan yang berkualitas. Secara kuantitas, kemajuan pendidikan di Indonesia cukup menggembirakan, namun secara kualitas, perkembangannya masih belum merata.
Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Merupakan sesuatu yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Merupakan sesuatu yang mustahil pula, terjadi proses pendidikan yang bermutu jika tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula.
Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia, seperti administrator, guru, konselor, dan tata usaha yang bermutu dan profesional. Hal tersebut didukung pula oleh sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas, media, serta sumber belajar yang memadai, baik mutu maupun jumlahnya, dan biaya yang mencukupi, manajemen yang tepat, serta lingkungan yang mendukung.
Mutu pendidikan bersifat menyeluruh, menyangkut semua komponen, pelaksana, dan kegiatan pendidikan, atau disebut sebagai mutu total atau “Total Quality”. Adalah sesuatu yang tidak mungkin, hasil pendidikan yang bermutu dapat dicapai hanya dengan satu komponen atau kegiatan yang bermutu.
 Kegiatan pendidikan cukup kompleks, satu kegiatan, komponen, pelaku, waktu, terkait, dan membutuhkan dukungan dari kegiatan, komponen, pelaku, serta waktu lainnya.
Saat ini, mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Kita semua mengakui, saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan SMA atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Para siswa yang tidak siap menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, akhirnya hanya akan menjadi beban masyarakat.
Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial saja. Banyak masalah mutu dihadapi dalam dunia pendidikan, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, bimbingan dan latihan dari guru, serta mutu profesionalisme dan kinerja guru.
Mutu-mutu tersebut terkait dengan manajerial para pimpinan pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.
Makalah di bawah ini akan membahas tentang manajemen mutu pembelajaran di lembaga pendidikan Islam dengan harapan agar kita sebagai pelaku pendidikan bisa memanaj dan mengembangkan lembaga pendidikan Islam bertolak dari teori-teori manajemen pendidikan serta mampu menjadi pemimpin yang dapat memberdayakan lembaga pendidikan terutama dalam merespon perubahan yang semakin dinamis dan kompleks. (Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata dkk, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah, Konsep, Prinsip, dan Instrumen)
Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebenarnya memiliki cakupan yang cukup luas, seperti yang dikemukakan Zarkowi Soejoeti (1986), pendidikan Islam didefinisikan dalam tiga pengertian. Pertama, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian yang sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian tersebut di atas. (Marno, M.PdI., Islam by Management and Leadership Tinjauan Teoritis dan Empiris Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, 2007, hal 92-93).
Lembaga pendidikan Islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga sosial, baik yang permaen maupun yang berubah-ubah. Lembaga ini mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya, serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dalam naungannya, sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri (Dr. Abdul Mujib, M.Ag. dan Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, edisi pertama, Jakarta: Kencana Prenada Medika, hal 223).
Sementara itu menurut Muhaimin (2002: 104), ditilik dari aspek program dan praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan, terutama di Indonesia, setidak-tidaknya dapat dibagi ke dalam lima jenis, yaitu: (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah, dan pendidikan lanjutan seperti IAIN/STAIN atau Perguruan Tinggi Islam yang bernaung di bawah Departemen Agama; (3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam, (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja; dan (5) pendidikan Islam dalam keluarga atau tempat-tempat ibadah, dan/atau forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim dan sebagainya. (Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002, 104)
Manajemen Mutu Pembelajaran
Mutu merupakan sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan. Mutu bukanlah benda magis atau sesuatu yang rumit. Mutu didasarkan pada akal sehat. Mutu menciptakan lingkungan bagi pendidik, orang tua, pejabat pemerintah, wakil-wakil masyarakat dan pemuka bisnis untk bekerja bersama guna memberikan kepada para siswa sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi tantangan masyarakat, bisnis dan akademik sekarang dan masa depan. Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan.
Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan ”kekuatan perubahan” yang memukul sistem pendidikan bangsa kita. Pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita sebenarnya sudah ada dalam komunitas pendidikan kita sendiri.
Kesulitan utama yang dihadapi para profesional pendidikan sekarang ini adalah ketidakmampuannya menghadapi ”sistem yang gagal” sehingga menjadi tabir bagi para profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang akan memperbaiki mutu pendidikan.
Sekolah mesti belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para profesional pendidikan harus membantu para siswa mengembangkan ketrampilan yang akan mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan sekolah masih memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat bersedia memberi dana yang lebih besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam perbaikan mutu pendidikan.
Mutu pendidikan akan meningkat bila administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim, kooperasi, akuntabilias dan pengakuan. (Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke-4, 2007, hal. 2, 75, 77).
Pembelajaran terkait dengan bagaimana (how to) membelajarkan siswa atau bagaimana membuat siswa dapat belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk mempelajari apa (what to) yang teraktualisasikan dalam kurikulum sebagai kebutuhan (needs) peserta didik.
Karena itu, pembelajaran berupaya menjabarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam kurikulum dengan menganalisis tujuan pembelajaran dan karakteristik isi bidang studi yang terkandung di dalam kurikulum. Selanjutnya, dilakukan kegiatan untuk memilih, menetapkan, dan mengembangkan cara-cara (strategi) pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai kondisi yang ada, agar kurikulum dapat diaktualisasikan dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar terwujud dalam diri peserta didik. (Muhaimin, M.A. Paradigma Pendidikan Islam.
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, 2002, hal 146)
Pencapaian keberhasilan belajar tidak hanya menjadi tanggung jawab siswa, tetapi guru ikut bertanggung jawab dalam menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Berpusat pada Siswa
Setiap siswa pada dasarnya berbeda, dan telah ada dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience) dan cara belajar (learning style) yang berbeda antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. Oleh karena itu guru harus mengorganisasikan kegiatan pembelajaran, kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, media dan sumber belajar dan cara penilaian yang disesuaikan dengan karakteristik individual siswa. Karenanya kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru harus mendorong siswa agar dapat mengembangkan potensi, bakat serta minat yang dimilikinya secara optimal dan maksimal.
2.      Pembalikan Makna Belajar
Dalam konsep tradisional belajar hanya diartikan penerimaan informasi oleh peserta didik dari sumber belajar dalam hal ini guru sehingga merupakan transfer of knowledge. Dalam kurikulum berbasis kompetesi makan belajar tersebut harus dibalik dimana belajar diartikan merupakan proses aktivitas dan kegiatan siswa dalam membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi dan atau pengalaman.
Dan pada dasarnya proses membangun pengetahuan dan pemahaman dapat dilakukan sendiri oleh siswa dengan persepsi, pikiran (entering behavior) serta perasaan siswa.
Konsekwensi logis pembalikan makna belajar ini menghendaki partisipasi guru dalam bentuk bertanya, meminta kejelasan, dan bila diperlukan menyajikan situasi yang bertentangan dengan pemahaman siswa dengan harapan siswa tertantang untuk memperbaiki sendiri pemahamannya. Selain itu guru lebih banyak berperan membimbing siswa dalam belajar serta menempatkan diri sebagai fasilitator pembelajaran dengan menempatkan siswa yang harus bertanggung jawab dalam membangun pengetahuannya sendiri.
        3.  Belajar dengan Melakukan
          Aktivitas siswa dalam belajar akan sangat ideal bila dilakukan dalam kegiatan nyata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan menemukan serta mempraktekkannya sendiri. Dengan cara ini, siswa tidak akan mudah melupakan apa yang diperolehnya selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya dengan cara mencari dan menemukan serta mempraktekkan sendiri akan tertanam dalam hati sanubari dan pikiran siswa karena ia belajar secara aktif dengan cara melakukan.
       4.   Mengembangkan Kemampuan Sosial, Kognitif dan Emosional.
Dalam kegiatan pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam suasana interaksi dengan orang lain seperti antar siswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan masyarakat. Dengan interaksi yang intensif siswa akan mudah untuk membangun pemahamannya. Guru harus mendorong terjadinya proses sosialisasi pada diri siswa masing-masing, dimana siswa belajar saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan dan agar siswa terdorong untuk saling membangun pengertian yang diselaraskan dengan pengetahuan dan tindakannya.
       5.  Mengembangkan Keingintahuan, Imajinasi, dan Fitrah Bertuhan
Siswa terlahir dengan memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi yang merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri dan kreatif serta fitrah bertuhan yang merupakan cikal bakal manusia untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan pemahaman ini kegiatan pembelajaran perlu mengembangkan dan memperhatikan rasa ingin tahu dan imajinasi siswa serta diarahkan pada pengesahan rasa keagamaan sesuai dengan tingkatan usia siswa.
      6.  Mengembangkan Keterampilan Pemecahan Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang harus dipecahkan. Karenanya diperlukan keterampilan dalam memecahkan masalah. Untuk itu seseorang harus belajar melalui pendidikan dan pengajaran. Karenanya dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang kepada siswa untuk mencari dan menemukan masalah, serta melakukan pemecahan dan mengambil kesimpulan. Dalam hal ini guru dapat menggunakan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk dapat memperoleh keterampilan dasar pemecahan yaitu: mengobservasi, mengklafikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan serta memperoleh keterampilan pemecahan masalah secara terintegrasi yang meliputi: mengidentifikasi variabel, mendefinisikan variabel secara operasional, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan mengolah data, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk distribusi frekwensi, menghubungkan antar variabel, analisis terhadap data penelitian, merancang penelitian dan melakukan atau melaksanakan percobaan.
       7.  Mengembangkan Kreatifitas Siswa
Kreativitas merupakan kemampuan mengkombinasikan atau menyempurnakan sesuatu berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang sudah ada yang akan menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatanya.
Pembelajaran yang menuntut siswa berpikir kreatif, yaitu kemampuan berdasarkan data dan informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.
   8.  Mengembangkan Kemampuan Menggunakan Ilmu Pengetahuan dan  Teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya sehingga siswa perlu mengenal dan mampu menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini, serta tidak gagap terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberikan kesempatan dan peluang kepada siswa memperoleh informasi dari sumber belajar dan media pembelajaran yang menggunakan teknologi serta diarahkan untuk mengenal dan mampu menggunakan multi media yang dapat digunakan dalam penyajian materi pembelajaran. Untuk itu cara yang dapat digunakan agar siswa mengenal dan mampu menggunakan teknologi adalah dengan cara memberikan tugas yang mengharuskan siswa berhubungan langsung dengan teknologi, misalnya membuat laporan tentang materi tertentu dari televisi, radio atau bahkan internet.
       9.  Menumbuhkan Kesadaran sebagai Warga Negara yang Baik.
Siswa perlu memperoleh wawasan dan kesadaran berbangsa dan bernegara, sehingga kegiatan pembelajaran perlu memberikan wawasan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, patriotisme dan semangat cinta tanah air yang dapat membekali siswa agar menjadi warga masyarakat dan negara yang bertanggung jawab serta memiliki semangat nasionalisme dan kebangsaan.
      10. Belajar Sepanjang Hayat
Dalam Islam, menuntut ilm diwajibkan bagi setiap muslim mulai dari buaian sampai liang lahad. Siswa memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat dalam rangka memupuk dan mengembangkan ketahanan fisik dan mentalnya sehingga pembelajaran diarahkan agar siswa berpikir positif mengenai siapa dirinya, mengenali dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya serta mensyukuri atas segala rahmat, nikmat serta karunia yang telah dianugerahkan Tuhan kepada dirinya.
      11.   Perpaduan Kemandirian dan Kerjasama
Siswa perlu diberi pengertian dan pemahaman untuk belajar berkompetisi secara sehat, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Hal ini perlu dikembangkan oleh guru dengan pemberian tugas-tugas individu untuk menumbuhkan kemandirian dan semangat berkompetisi maupun tugas kelompok untuk menumbuhkan kerjasama dan solidaritas.
(Drs. Darwyn Syah, M.Pd dkk, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, hal 289-295)

Manajemen Mutu Pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam
Secara kelembagaan, terutama dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai pendidikan Islam sebenarnya lebih diwarnai oleh dua model pendidikan, yakni pendidikan dalam bentuk pesantren dan pendidikan madrasah.
     1.    Manajemen Mutu Pembelajaran di Pondok Pesantren
Pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikelola secara konvensional dan dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dan Kyai sebagai sentra utama serta masjid sebagai pusat lembaganya. Sejak awal pertumbuhannya, pesantren mempunyai bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi yang berlaku bagi semua pesantren. Namun demikian dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pesantren tampak adanya pola umum, yang diambil dari makna peristilahan pesantren itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu  pola tertentu.
Pondok pesantren pada awalnya merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang diberikan dengan cara non klasikal (sistem pesantren), di mana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke 12 s/d abad ke 16).
2.      Namun pada beberapa dasawarsa terakhir ini terjadi pergeseran yang dialami oleh pesantren. Beberapa indikator pergeseran tersebut antara lain:
a. Kyai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Santri dapat belajar dari banyak sumber. Sejak 10 tahun terakhir ini banyak buku-buku pembaharuan pemikiran dalam Islam yang ditulis dalam buku bahasa Indonesia baik oleh para cendekiawan muslim Indonesia maupun merupakan terjemahan dari buku-buku yang ditulis oleh sarjana-sarjana Islam di luar negeri yang dapat dibaca oleh santri-santri dan ustadz.

b.      Dewasa ini hampir seluruh pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal, yaitu madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi.
c.       Seiring dengan pergeseran pola tersebut, santri membutuhkan ijazan dan penguasaan bidang keterampilan atau keahlian yang jelas yang dapat mengantarkannya untuk menguasai lapangan kehidupan tertentu. Dalam era modern tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian atau keterampilan yang relevan untuk kebutuhan kerja masa depan mereka. Untuk itu di kalangan santri terdapat kecenderungan yang semakin kuat untuk mempelajari sains dan teknologi pada lembaga-lembaga pendidikan formal, baik di madrasah maupun sekolah umum untuk memperoleh keahlian dan keterampilan yang dimaksud, tetapi mereka juga ingin tetap belajar di pesantren untuk mendalami agama.
3.      Manajemen Mutu Pembelajaran di Madrasah.
Keberadaan madrasah seperti sekarang ini merupakan akumulasi berbagai macam budaya dan tradisi pendidikan yang berkembang di Indonesia. Mulai dari tradisi pra-sejarah atau tradisi asli, tradisi Hindu-Budha, tradisi Islam, dan tradisi barat atau modern. Oleh sebab itu madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya bangsa Indonesia yang telah menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif, dan dalam waktu yang cukup panjang itu telah memainkan peran tersendiri dalam panggung pembentukan peradaban bangsa.
Sebelum terbentuk sistem madrasah, pada awalnya proses pendidikan dan pengajaran dilaksanakan di masjid dan pesantren. Setelah terbuka dan semakin kuatnya proses pembentukan Intellectual Webs (jaringan intelektual) di kalangan umat Islam dengan Haramain sebagai sumber tempat yang ”asli”, nuansa mistik yang kental di pondok pesantren lambat laun semakin berkurang dan bergerak ke arah proses ortodoksi.
 Di sisi lain juga terjadi proses perubahan isi pembelajaran di dalam format-format pembelajarannya dengan tumbuh dan berkembangnya pola pembelajaran pelajaran Islam yang dikelola dengan sistem Madrasi.
Dilihat dari pengelolaannya, pendidikan sistem madrasah ini memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal.
Pengelolaan sistem madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan pelajaran-pelajaran tentang pengetahuan Islam yang penyampaiannya dilakukan secara bertingkat-tingkat dengan memperhitungkan rentang waktu yang dibutuhkan, sehingga secara teknis, sistem madrasi berusaha mengorganisasikan kegiatan kependidikannya dengan sistem kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan.
Dari waktu ke waktu format madrasah semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keislaman terus mengalami perubahan, seiring dengan semakin kuatnya kontak dengan dunia luar terutama dengan negara-negara Islam dan juga dipengaruhi oleh kolonialisasi di nusantara ini yang berabad-abad lamanya.
           
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dua dekade terakhir ini, madrasah mengalami polarisasi pengembangan seiring dengan tuntutan zamannya. Berbagai macam kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan madrasah ini, antara lain ditetapkannya Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) pada tahun 1987 yang kemudian diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada tahun 1994. Pada tahun yang sama (1994) juga ditetapkan dan dikeluarkan kurikulum madrasah yang baru sebagai standarisasi kurikulum di madrasah dengan beberapa perubahan seiring dengan perkembangan dan tantangan dan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agar madrasah secara kualitas mempunyai mutu yang sama dengan lulusan sekolah umum, maka dibentuklah madrasah model, yakni madrasah negeri yang memiliki standar tertentu dari segi sarana dan prasana, jumlah dan kualitas gurunya, serta siswa yang terseleksi. Madrasah model ini diharapkan dapat memberikan imbas pada madrasah lain yang sekian ribu banyaknya.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ), sehingga sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah, memiliki potensi dan peluang besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa depan. Kecenderungan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Terjadi mobilitas sosial yakni munculnya masyarakat menengah baru terutama kaum intelektual yang memiliki peran besar dalam proses transformasi sosial, misalnya di bidang pendidikan yang akan berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas pendidikan yang sesuai dengan aspirasinya baik cita-citanya maupun status sosialnya. Karena itu lembaga pendidikan yang mampu merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.
2.      Munculnya kesadaran baru dalam beragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan yang berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya.
3.      Arus globalisasi dan modernisasi yang demikian cepat perlu disikapi secara arif. Modernisasi dengan berbagai macam dampaknya perlu disiapkan manusia-manusia yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan (IMTAQ). Kelemahan di salah satu kompetensi tersebut menjadikan perkembangan anak tidak seimbang, yang pada akhirnya akan menciptakan pribadi yang pincang (split personality).
Dengan demikian agar mutu pembelajaran di lembaga pendidikan Islam bisa dimanaj dengan baik, maka ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan oleh para pelaku di lembaga pendidikan Islam tersebut, antara lain:
1.    Perencanaan
Perencanaan adalah proses penentuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien dan seefektif mungkin. Dalam setiap perencanaan selalu terdapat tiga kegiatan yang meskipun dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dalam proses perencanaan yaitu:
a.        Perumusan tujuan yang ingin dicapai
b.        Pemilihan program untuk mencapai tujuan itu
c.        Identifikasi dan pengarahan sumber yang jumlahnya selalu terbatas.
2. Pengorganisasian

Pengorganisasian merupakan proses membagi kerja ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, membebankan tugas-tugas itu kepada orang yang sesuai dengan kemampuannya, dan mengalokasikan sumber daya, serta mengkoordinasikannya dalam rangka efektivitas pencapaian tujuan organisasinya.
3. Pemimpinan.
Pemimpin pada hakekatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya.
Dalam lembaga pendidikan Islam yang dimaksud pemimpin adalah Kyai dalam pondok pesantren dan ustadz dalam madrasah.
4.  Pengawasan
Pengawasandiperlukan untuk melihat sejauh mana hasil tercapai. Pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dasar tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu:

1)        Menetapkan standar pelaksanaan
2)         Pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan standar
3)        Menentukan kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan rencana.


DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata dkk, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah, Konsep, Prinsip, dan Instrumen.

Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke-4, 2007.

Marno, M.PdI., Islam by Management and Leadership Tinjauan Teoritis dan Empiris Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, 2007.

Dr. Abdul Mujib, M.Ag. dan Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, edisi pertama, Jakarta: Kencana Prenada Medika.

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Drs. Darwyn Syah, M.Pd dkk, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

DR. Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, cetakan kedelapan, 2006.

/p> X�!caX¡��mal style='margin-left:36.0pt;text-align:justify;text-indent: -36.0pt;line-height:150%'>Arends, Richard. 19997. Classroom Instruction and Management. Toronto. McGrew-Hill.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikti, Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action research). IBRD OAN No 3979 – IND
Hopkins, David. 1992. A Teacher’s Guide to Classroom Research. 2


[1] Makalah  Disampaikan pada tanggal 9 Januari 2016 di aula Pemda Kota Metro Lampung
[2] Penulis adalah Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Muhammadiyah Metro Lampung, dan dosen STAIN Metro , email : mihsandacholfany@yahoo.com, hp. 081213022488.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar